Saya tidak mendengar suara kembang api atau suara ramai-ramai karena saya tidur gasik pada malam tahun baru. Memang saya ini tipe orang yang tidak pernah membuat resolusi atau target untuk tahun depan. Selain memang bukan jenis orang yang kompetitif, saya jarang menarget sesuatu. Tapi walau begitu, saya suka melihat orang-orang yang menulis targetnya di dinding media sosialnya. Salah satu target orang-orang yang pasti muncul di linimasa media sosial saya adalah target membaca buku. Ya, mau bagaimanapun sirkel saya masih mambu-mambu literasi.
Pada akhir tahun pasti ada saja posting-an orang-orang yang mengeluh karena tidak tercapai targetnya dalam membaca buku. Ada yang menargetkan minimal 50 buku setahun, tapi hanya bisa separuhnya. Ada yang menargetkan membaca buku minimal 10 buku per bulan, tapi hanya bisa menyelesaikan dua buku. Kebanyakan menyalahkan diri sendiri dengan berbagai alasan. Saya sendiri kalau soal membaca tidak pernah menarget. Suka-suka saya.
Tahun 2020 mood membaca sedang oke-okenya dan kebetulan banyak buku-buku bagus yang terbit, sebulan bisa membaca buku 10-40 buku. 40 buku, lebih dari jatah hari dalam satu bulan. Beberapa buku bahkan sempat saya ulas dan dimuat di media daring. Saya juga sempat menerbitkan satu buku cerita anak berbahasa Jawa yang Alhamdulillah kok laris sekali. Baik secara penjualan, publikasi maupun apresiasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebalikannya, pada tahun 2021, saya sedang tidak mood membaca dan sedikit buku yang membuat saya tertarik untuk membacanya. Bahkan sempat beberapa bulan tidak menyentuh buku sama sekali meski saya sempat menerbitkan satu buku cerita anak lagi, kali ini berbahasa Indonesia. Saya tidak pernah menghitung secara pasti berapa buku yang sudah saya baca, tapi sepertinya tahun 2021 tidak genap 20 buku yang saya baca. Selain memang sedang tidak mood, saya juga sedang mengalami trust issue dengan dunia literasi. Ketika melihat buku, saya teringat beberapa orang yang dikenal sebagai penulis top yang selalu terlihat keren dengan tulisannya, eh ujung-ujungnya melakukan perbuatan yang melecehkan manusia lainnya. Lebih sakit hati kalau mereka adalah orang-orang yang saya kenal dekat.
Ya, tentu saja saya paham, buku-buku itu tidak bersalah, yang salah adalah orangnya. Saya toh nanti juga akan membaca lagi. Tapi memang saya mewajarkan diri ketika mengalami periode no book. Tidak harus membaca buku terus-terusan dan itu tidak apa-apa. Kecuali kalau kita dibayar untuk mengulas buku tiap minggunya, ya mau tidak mau harus membaca terus.
Tahun 2021 saya malah lebih banyak nonton anime, baik yang ditonton lagi atau yang belum pernah ditonton. Sebenarnya sudah sejak kecil saya suka membaca manga dan menonton anime. Dulu kakak saya pernah berjualan komik baru dan bekas. Kadang-kadang saya main ke kontrakannya dan tidur di lautan komik. Saya mengenal banyak serial yang bagus juga ketika membaca manga bekas jualan kakak saya.
Ketika kuliah saya punya kenalan adik tingkat seorang otaku yang punya banyak file anime di hard disk-nya. Referensi saya tentang anime bertambah. Tapi setelah lulus, saya sempat vakum beberapa tahun selain karena punya kesibukan baru, juga sempat minder bergaul karena dianggap aneh karena sudah dewasa kok tontonannya anime. Tapi tahun 2021, saya sudah tidak peduli lagi. Lha emang kenapa kalau mbak-mbak umur 30-an masih suka menonton anime dan berkhayal jadi istrinya Kakashi Hatake atau Gojo Satoru? Wong tiap hari juga sudah melakukan sesuatu selayaknya orang dewasa. Beres-beres rumah, kerja, dan bayar cicilan, misalnya. Nonton anime tidak mereduksi kedewasaan itu sendiri. Orang dewasa juga butuh hiburan setelah menjalani keseharian hidup yang melelahkan.
Kembali lagi ke masalah target membaca buku. Saya tidak sengaja menemukan posting-an di Twitter yang berisi tangkapan layar percakapan dua orang tentang buku. Kurang lebih seperti ini isi tangkapan layar tersebut, "Buku bacaanmu kayak gimana? Kalau aku sukanya buku-buku berat seperti Madilog atau bukunya Habermas. Kalau novel romantis gitu gak doyan soalnya menye-menye dan gak ada manfaatnya buat dibaca."
Saya pun ngakak melihat tweet tersebut. Mungkin dia adalah tipe-tipe cah anyaran yang sedang giat-giatnya "berdakwah" atau memang ya orangnya sudah wataknya begitu. Kalau dia tipe cah anyaran memang wajar, sedang memasuki fase semangat-semangatnya menganggap apa yang dia pikir adalah yang paling yoih dan orang lain lebih rendah daripada dirinya. Selain itu yang membuat saya ngakak adalah, ketika menulis fiksi dewasa, saya lebih banyak menulis cerita menye-menye. Haha ternyata yang saya tulis tidak berguna dan adiluhung, meski sebenarnya saya juga sudah membaca Madilog dan bukunya Habermas.
Soal bacaan, saya setuju ketika seseorang sebaiknya memang tidak membatasi diri mau membaca apa ketika sedang senang-senangnya membaca agar tidak menganggap genre buku yang dibacanya lebih adiluhung daripada yang dibaca orang lain. Saya sendiri biasa saja ketika orang membaca bukunya TL, fiksi-fiksi islami berlabel pembangun jiwa, dan buku-buku roman picisan remaja yang sering dibuat bahan olok-olokan.
Saya dulu ketika masih sekolah bacaannya juga bukunya TL dan buku semacamnya. Sekarang saya memang sudah tidak membaca buku semacam itu karena sudah bertambah referensi dan perubahan selera saja. Tapi tidak menampik bahwa buku-buku semacam itu dulu adalah buku-buku yang dulu membuat saya semangat membaca.
Ketika saya mendapat tugas untuk menemani teman belanja kebutuhan buku anak-anak SMA di pondok pesantren di dekat tempat tinggal saya, saya nurut saja ketika mereka minta dibelikan buku-bukunya TL, tapi syaratnya mereka juga harus membaca buku-buku rekomendasi dari saya, agar bacaan mereka lebih beragam. Sebenarnya kita bisa mengajak orang lain membaca buku bagus tanpa merendahkan selera dia sebelumnya.
Tiap orang pasti punya perjalanan membaca buku dan menulis yang terkadang memang sudah tidak relevan dengan masa sekarang. Tapi mau bagaimanapun itu adalah proses. Saya sering tertawa sendiri ketika membaca tulisan saya dulu yang norak, aneh, bertentangan dengan gaya menulis dan prinsip hidup sekarang. Dulu saya suka membaca buku-buku teenlit, metropop, fiksi islami bermuatan dakwah, bahkan buku motivasi. Tapi sekarang saya malah malas membaca buku-buku motivasi karena sudah merasa tidak relevan dengan hidup saya yang justru penuh dengan demotivasi. Ya, dulu karena adanya hanya buku-buku tersebut dan kurang referensi buku lain. Ketika pindah ke kota lain yang lebih banyak komunitas menulisnya, bacaan semakin bertambah.
Dulu juga mengalami masa-masa membaca agar diterima sirkel pergaulan meski sebenarnya kurang suka buku yang dibaca. Sebagai contoh, saya kurang bisa menikmati karya Haruki Murakami dan Eka Kurniawan. Saya membaca karena itu seperti buku wajib yang harus dibaca kalau mau nyambung ngobrol. Saya sendiri justru sebenarnya lebih suka membaca karya Genki Kawamura, Yosichi Shimada, dan Ratih Kumala. Saya memang lebih suka membaca novel semacam Gadis Kretek atau Kronik Betawi daripada karya-karya Eka Kurniawan. Meskipun mereka suami-istri, tapi tetap gaya menulisnya berbeda dan saya memang lebih cocok dengan karya Ratih Kumala.
Tapi saya tidak merasa berbeda, minder, atau apa karena kurang menikmati karya yang banyak orang suka. Tidak merasa lebih baik juga. Biasa saja. Ada juga karya-karya penulis yang memang saya suka tanpa peduli komentar orang lain seperti Mahbub Djunaidi, Linda Christanty, Mahfud Ikhwan, Djokolelono, Iksaka Banu, Agustinus Wibowo, Reda Gaudiamo, penulis Amerika Latin macam Luis Sepuvelda, dan lain-lain.
Mengejek bacaan atau tontonan orang lain sebenarnya malah membuat orang semakin keki untuk menerima "dakwah" kita. Film Yuni memang bagus, tapi kalau kita menjadi "si paling Yuni" dan mengejek tontonan orang lain malah orang semakin malas untuk menonton Yuni. Seperti tweet yang saya bicarakan tadi, mau mengajak orang baca Madilog ya tidak terus mengejek yang suka baca genre romansa yang katanya tidak berguna, malah hal tersebut membuat orang semakin sebal dengan Madilog.
Kalau mau mengajak penonton fanatik Spiderman untuk menonton Yuni ya jangan diserang Spiderman-nya. Bisa lho dengan kalimat begini, "Wah Spiderman lagi seru-serunya ya? Eh ada film yang nggak kalah menariknya lho, judulnya Yuni, masih bisa ditonton kok di bioskop." atau, "Wah suka baca romansa ya? Romansa memang sesuatu yang nggak habis untuk dibicarakan dalam hidup kita ya. Aku tu ada lho tokoh yang bikin penasaran kisah romansanya gimana. Itu lho Tan Malaka yang menulis Madilog, sudah baca bukunya belum?"
Saya pernah sekilas membaca tweet orang yang mengaku membaca buku-buku berat ini mengejek orang-orang yang suka membaca komik atau manga. Padahal orang yang mengaku membaca buku-buku berat yang entah berapa kilo itu sebenarnya ya sah-sah saja lho kalau mau baca manga atau nonton anime. Di anime sendiri sebenarnya kalau jeli juga ada sisipan sastranya. Sebagai contoh di anime horror Mieruko-chan, ketika Toono-sensei menyuruh muridnya membaca petikan cerita pendek, pembaca sastra pasti ngeh kalau itu potongan cerita Rashomon-nya Akutagawa Ryounosuke.
Di anime Kimi no Suizou wo Tabetai (I Want to Eat Your Pancreas), tokoh utama Sakura Yamauchi menyukai buku Le Petit Prince (The Little Prince) karya Antoine de Saint-Exupery. Sebelum ia meninggal, buku itu dia hadiahkan kepada Haruki Shiga, orang yang dicintainya. Ada visualisasi percakapan mereka seperti dalam buku Le Petit Prince. Penggemar buku ini pasti ngeh sekali kalau itu adalah adegan anak kecil dan planet-planet yang menjadi latar cerita tersebut.
Saya pengikut aliran biasa wae, jadi ya tidak terlalu tertarik dengan kerumitan target membaca, genre bacaan orang, dikotomi sastra dan non sastra, nanti sastra sendiri masih ada yang membedakan lagi jadi sastra serius dan pop, ah tidak penting bagi saya. Seimbang saja, kalau sedang serius ya baca buku-buku serius, sedang ingin yang ringan ya baca yang ringan, sedang ingin nangis ya baca yang mengharukan, sedang ingin ngakak ya cari yang lucu-lucu.
Tidak ada yang tidak berguna. Lha wong berapa tahun saya menulis dan sekarang menulis kolom rutin seminggu sekali, belum ada yang membicarakan saya di base literasi, malahan kemarin saya menemukan ada yang membahas tulisan saya di base anime Naruto. Jangan-jangan saya memang lebih cocok jadi ninja daripada jadi sastrawan. Haha. Yareyare.
Gondangrejo, 02 Januari 2022
Impian Nopitasari penulis
(mmu/mmu)