Merajut Asa, Melangkah ke 2022
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merajut Asa, Melangkah ke 2022

Jumat, 31 Des 2021 15:10 WIB
Andreas Maurenis
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kalender Natal dan Tahun Baru. dikhy sasrailustrasidetikfoto
Foto ilustrasi: Dikhy Sasra/detikcom
Jakarta -
Hanya dalam hitungan jam dan kita akan tiba di pengujung langkah. Tahun 2021 akan segera pamit. Meninggalkan jejak juga untaian-untaian kenangan. Ada asa yang telah terajut, juga ada harapan yang belum tersulam. Semua berpadu. Berpacu dalam dekapan dinamika berbangsa. Tahun 2021 menyisakan aneka cerita. Tentang bangsa, tentang ber-Indonesia. Pahit, manis, tawa, dan air mata menjadi satu dan dilewati bersama. Membekas dalam sanubari anak-anak Ibu Pertiwi.

Ada banyak yang perlu dikenang, namun tak sedikit pula yang harus dibenahi. Tahun 2021 menjadi momen kebangsaan yang paling subtil, penuh makna, dan mengharukan terutama persoalan kemanusiaan di tengah terpaan wabah global, pandemi Covid-19. Tentu setiap insan bangsa dipanggil memprioritaskan kemanusiaan dan mengesampingkan egoisme sekaligus memberi optimisme bahwa nilai-nilai kebersamaan sampai kapan pun adalah urgensi.

Ada kenangan-kenangan sejarah yang dilalui. Hari-hari besar ber-Indonesia (HUT Kemerdekaan ke-76, Sumpah Pemuda, Hari Pancasila, Hari Pahlawan, Hari Kebangkitan Nasional) telah memekarkan kuncup-kuncup harapan di tengah kesakitan global, lebih-lebih nasional akibat pandemi. Dalam nuansa hari-hari bersejarah tersebut, tentu ada anamnesis pada yang hilang, entah waktu, pekerjaan bahkan nyawa. Namun kemilau hari-hari bersejarah tak henti memberi optimisme kepada anak-anak bangsa untuk tetap berharap. Untuk hidup dalam solidaritas kemanusiaan yang lintas batas dan lintas kepentingan pada sebuah civilisasi Indonesia.

Momen berbangsa tahun ini tentulah menoreh sejarah termasuk menggores cita-cita di masa depan. Membingkai komitmen bersama menuju Indonesia baru. Komunitas Indonesia baru yang berakar pada suasana kesetiakawanan dan persaudaraan nasional. Sebuah negara yang dipenuhi belarasa tanpa tedeng aling-aling, nafsi-nafsi, dan eksklusifisme kultur. Semua itu merupakan asa. Tetapi, jika menukil Hans Kung (1999:41) warga bangsa harus ingat bahwa "bumi tidak bisa diubah menjadi lebih baik jika kesadaran individu tidak berubah terlebih dahulu."

Maka mengikuti ungkapan Kung, saya yakin bahwa Indonesia tidak akan berubah lebih baik pada 2022 mendatang apabila kesadaran individu warga tidak berubah terlebih dahulu. Wajah Indonesia akan tetap sama seperti tahun 2021 andaikata upaya transformasi kesadaran jauh dari nurani anak-anak bangsa. Harapan akan Indonesia yang humanis dan autentis adalah visi bersama. Karenanya, Tahun 2022 mesti menjadi momen kebangkitan kembali.

Kebangkitan kembali hanya akan berarti dengan adanya metanoia hati, pikiran, dan tindakan. "Pertobatan" dari habitus lama menuju habitus baru adalah panggilan kolektif. Ya, panggilan yang berakar pada refleksi atas berbagai permasalahan filosofis dan praksis yang menggerogoti sendi kehidupan berbangsa di ruang publik, di berbagai tingkatkan. Hal-hal baik dipertahankan dan hal-hal kurang baik, diperbaiki.

Kita tak bisa pungkiri bahwa kesadaran menjadi warga negara sebagian masyarakat Indonesia belum penuh-kokoh. Kesadaran sebagai seorang citizen yang berakar pada Pancasila, UUD 1945, dan dan semboyan sakral Bhineka Tunggal Ika sebagai kontrak sosial-politik belum secara total bertumbuh dan berkembang. Potret runyam dinamika hidup bangsa dalam berbagai aras menjadi fakta yang tak bisa diingkari.

Dalam konteks beragama misalnya, agama cenderung dihayati sebatas ritual bukan substansi, masih sebatas ayat-ayat bukan hakikat sehingga sering terjadi kontradiksi antara rajin ibadah dan perilaku hidup. Hans Kung mungkin tidak terlalu berlebihan ketika merumuskan agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan (Hans Kung, 1986). Masyarakat kehilangan rasa hormat, kerja sama dan pemahaman antarmanusia, antarbudaya, dan antaragama.

Dominasi, kekerasan, intoleransi menjadi nafsu antroposentris modern naif dalam ber-Indonesia sehingga orbitasi cenderung pada pengabaian tanggung jawab primodial ketika berhadapan dengan 'orang lain' (the other). Keberagamaan cenderung berkutat ketat pada persoalan konseptual verbal doktrin daripada menelusuri inti terdalam agama (yaitu spiritualitas) sebagai kerangka pertumbuhan. Dogma seringkali dihayati Sebagai Tuhan itu sendiri tanpa mengerti bahwa konsep-konsep verbal ini hanyalah isyarat-isyarat menuju Realitas Tertinggi yang tak terperi.

Tatanan nasional terusik oleh sejumlah fakta pengabaian martabat manusia, nilai pribadi, dan hak-hak yang melekat padanya. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 mengingatkan bahwa "martabat manusia" dan hak-hak manusia yang setara dan tak terlucuti diakui sebagai titik pijak kebebasan, keadilan, dan perdamaian. Hak-hak ini pun kembali mendapat penegakan dalam konstitusi, UUD 1945.

Konflik, sebagai potret kehidupan, mestinya diselesaikan tanpa kekerasan, menggunakan kerangka keadilan antar negara maupun individu. Dalam petunjuk etik kuno agama-agama, kita menjumpai ungkapan "hormatilah kehidupan." Itu artinya semua orang mempunyai hak untuk hidup, selamat dan mengembangkan kepribadiannya secara bebas sejauh tidak merugikan hak-hak orang lain.

Atas fakta-fakta di atas transformasi kesadaran demikian penting mengingat kenyataan yang serba paradoks terutama hilangnya penghargaan dan pemaknaan atas diversitas sebagai sebuah kekayaan bangsa. Tentu tidak ada kemanusiaan Indonesia yang humanis dan otentik tanpa solidaritas, kerja sama dan belarasa. Harapan bukan sekadar mendaras komitmen masa lalu tetapi menggagas komitmen sosiologis masa depan. Harapan akan Indonesia baru adalah perwujudan komitmen sehati-sejiwa anak bangsa yang sadar pada marwah "bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa satu." Namun perlu diingat, tak ada jalan pintas memulihkan keadaban bangsa.

Kolektivitas dan konektivitas akan sangat berarti pada upaya pemanusiaan Indonesia di tahun mendatang. Tahun 2021 perlu menjadi tahun refleksi sehingga pada 2022 mendatang tumbuh tansformasi kesadaran warga bangsa untuk mendaraskan secara bersama-sama komitmen pada nilai-nilai komunal.

Pertama, mengaklamasikan budaya anti-kekerasan dan hormat pada kehidupan mengingat nilai tertinggi dari eksistensi dan esensi kemanusiaan adalah martabat sebagai yang tak terhingga sehingga mesti dilindungi. Juga pada unsur a-biotik lainya selain manusia. Tidak dibenarkan sebuah eksploitasi atas dasar-dasar kehidupan melainkan pemeliharaan dan perlindungan berkelanjutan. Otentisitas dan humanitas adalah basis masyarakat multikultural. Oleh sebab itu perlu ditumbuhkembangkan.

Kedua, mengembangkan kultur solidaritas dan keadilan dalam bidang-bidang kemasyarakatan. Mental solidaritas dan kerja sama dalam kerangka keadilan dalam bidang-bidang kehidupan mestinya bergema dalam dinamika ke-Indonesia-an kita ketimbang karakteristik barbarian dan penjarahan hak kepemilikan mutlak. Kemanusiaan yang otentik tentu memerlukan tiang penopang layaknya keadilan ekonomi dan politik. Kasih dan kepedulian adalah spirit menumbuhkan keugaharian dan kesederhanaan menuju solidaritas dan kesetiakawanan. Ini adalah usaha nyata menemukan nurani komunal dan dalam kultur ini, semua akan tampak nyata.

Ketiga, menumbuhkan toleransi dan ketulusan. Kebenaran dan kebaikan adalah patokan dari nilai-nilai dan moralitas. Tanpanya, kesetiaan pada sikap toleran dan sikap hati yang tulus untuk menerima kemajemukan hanyalah slogan-slogan serta retorika yang penuh dengan nafsu-nafsu prasangka, penghasutan dan permusuhan. Lalu akan mengerucut pada radikalisme, fanatisme, impersonalitas. Alhasil, keindonesiaan yang otentik dan dan humanis akan teramat jauh untuk digapai. Sikap loyalis dan oportunis akan menggelembung lalu menjadi wajah keadaban kita.

Keempat, komitmen pada kesejajaran hak antara warga laki-laki dan perempuan. Tidak adanya diskriminasi ras, seksisme, budaya patriarki. Artinya, hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak bersifat "patronasi atau eksploitasi namun dibangun atas asas cinta, kerja sama dan saling mempercayai" (Hans Kung, 1999). Hidup perkawinan perlu menjadi wadah pertama tumbuhnya penghargaan atas "keyanglainan", keunikan, dan perbedaan karakteristik dan sifat individu sebagai cerminan besar wajah pluralitas keindonesiaan kita.

Nilai-nilai komunal di atas merupakan PR bersama. Perwujudan transformasi kesadaran hanya akan berhasil melalui keterlibatan langsung dan aktif dari seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Dari Sabang sampai Marauke. Tahun 2021 telah menjadi momen reflektif bagi setiap anak bangsa untuk terus menyulam harapan di tahun 2022. Menyulam sebuah tenunan kebangsaan yang meskipun berwarna-warni, namun tetap otentik dan humanis. Bersyukur untuk 2021, merajut harapan untuk 2022. Indonesia bisa.
(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads