Bersama keluh kesahnya tadi, si penjahit juga menyertakan beberapa foto berisi pengantin dan keluarga besarnya yang mengenakan kebaya berwarna biru. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya postingan itu mendapat banyak respons.
Bisa diduga, kebanyakan warganet mengutuki perbuatan keluarga itu sembari menambahkan embel-embel, "Makanya kalau tidak sanggup membayar, nggak usah sok bergaya," atau cemoohan beraroma serupa lainnya. Sementara si penjahit tidak mendapat kepastian pembayaran atas jasanya.
Fenomena berseragam keluarga di acara pernikahan bukan hal yang asing bagi warga Indonesia, terutama komunitas Batak. Pesta pernikahan memang salah satu yang dirayakan habis-habisan, bahkan kalau perlu berutang. Ada yang dipertaruhkan dalam penyelenggaraan pesta pernikahan, yakni gengsi keluarga.
Gengsi yang kerap ditukar tempat sebagai nama baik ini adalah nilai besar yang harus diperjuangkan. Orang tidak perlu tahu mengenai dapur yang morat-marit. Yang penting harus terlihat wah di hadapan para tamu undangan.
Ya, demi melihat resepsi pernikahan anak si Anu yang meriah, tak jarang orangtua menuntut anaknya untuk melangsungkan pernikahan yang minimal sama mewahnya bahkan kalau bisa melebihi seronoknya. Tampaknya terjadi semacam lingkaran setan untuk beradu siapa yang paling pantas dinobatkan sebagai keluarga dengan pesta termewah. Orangtua menuntut, anak cuma bisa menurut.
Seperti kasus keluarga di Pematang Siantar tadi, mungkin sebenarnya keluarga itu sanggup saja jika tak berseragam kebaya warna biru. Tapi atas nama kebiasaan atau gengsi atau demi menghindari daripada jadi bahan cemoohan. Maka, dipaksakanlah melakukan sesuatu yang memang lazim di lingkungan sosial, tanpa mempertimbangkan apakah secara keuangan sanggup atau tidak.
***
Beberapa minggu sebelumnya kebetulan saya membaca buku yang berjudul Wanting tulisan Luke Burgis. Sebuah buku yang memberi penjelasan tentang teori mimetik. Sebuah teori yang berhubungan dengan faktor pengambil keputusan kita sebagai makhluk sosial.
Dalam buku itu, si penulis menjabarkan sebuah teori yang berangkat dari sebuah pemikiran yang dituangkan oleh Rene Girard. Bahwa keinginan kita secara tidak kita sadari dibentuk oleh model di sekitar kita, entah itu selebriti, influencer atau bahkan teman kita sendiri.
Dasar keinginan mimetik adalah keinginan yang dibentuk melalui model keinginan. Manusia bergantung pada orang lain untuk memodelkan keinginan tertentu baginya. Bahaya dari menemukan model keinginan baru adalah selalu ada yang lain. Dan, jika kita tidak memiliki batasan yang kuat, maka kita dapat ditarik ke berbagai arah yang berbeda. Tidak berkesudahan. Itulah bahayanya.
Kita beranggapan bahwa ketika mengambil keputusan, kita benar-benar menggunakan logika yang rasional. Tapi ternyata kata buku itu, kita tidak sepenuhnya rasional. Karena kita adalah makhluk sosial. Kita sebenarnya tidak memiliki penilaian yang sepenuhnya tepat tentang bagaimana keinginan sesama manusia membentuk keinginan kita sendiri. Batas antara keinginan murni dan kecenderungan meniru orang lain menjadi sangat tipis, kadang bias.
Saya sendiri sering terjebak dengan fenomena mimetik ini. Melihat postingan teman si sosial media mengenakan baju yang cantik, langsung timbul keinginan untuk memiliki baju serupa. Melihat koleksi panci milik teman di grup Whatsapp kantor, seketika saya mencari di marketplace. Melihat pencapaian orang lain dalam bidang akademis, misalnya, tahu-tahu saya terpacu untuk melanjutkan kuliah.
Pernahkah Anda merasakan hal serupa? Tiba-tiba sudah menerima paket berisi barang yang sebenarnya tidak diperlukan, tapi dibeli karena melihat tren di sosial media? Atau, dalam konteks yang lebih luas lagi, pernahkah melihat di jalan raya berseliweran mobil merek keluaran Jepang dengan tipe dan model yang sama? Tidak menutup kemungkinan mengapa mobil itu menjadi pilihan sejuta umat, karena kita merasa aman memilikinya sebab banyak orang lain pun sudah memilikinya.
Namun apakah ini juga yang menjadi penyebab mengapa merek mobil dari negara lain seperti Korea, Amerika Serikat, atau Malaysia dengan spek yang hampir sama dan harga yang tidak jauh berbeda menjadi kurang laku? Karena perilaku konsumen yang lebih merasa aman jika membeli mobil dengan merek yang populer? Sampai pada suatu titik, saya merenung. Jangan-jangan keribetan yang sering kita hadapi berangkat dari akar masalah ini; keinginan kita untuk menjadi sama dengan orang lain.
Kembali ke soal keluarga viral tadi. Warganet yang menyalahkan mereka atas keputusan itu mungkin belum memahami akar persoalannya. Bahwa sebenarnya mereka punya andil juga dalam pembentukan pengambilan keputusan untuk berseragam kebaya. Mungkin jika tak berseragam kebaya, mereka akan menjadi cemoohan. Sehingga pesta pernikahan yang selaiknya menjadi acara bahagia, bisa saja berubah menjadi bahan ghibah sampai bertahun-tahun kemudian.
Sebelum menghakimi sesuatu, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri? Jangan-jangan, kita sebenarnya menjadi bagian dari akar masalah itu.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini