Semut, Kulkas, dan Ketakutan Manusia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Semut, Kulkas, dan Ketakutan Manusia

Jumat, 31 Des 2021 12:00 WIB
Syaeful Cahyadi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
7 Cara Mengusir Semut dengan Mudah Pakai Bahan Alami
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Milan Krasula
Jakarta -

Catatan ini bermula dari sebuah rasa jengkel. Musababnya memang sepele, tapi kadang bikin hidup manusia runyam: semut. Ia bisa bikin alat elektronik rusak, dinding jadi kotor, atau merusak cita rasa kala datang ke makanan. Dan itulah yang barusan saya alami.

Hari itu, ibu saya masak sawi dan tahu. Bukan masakan istimewa memang. Kami, anak-anaknya, tidak terlalu menyukainya. Adik saya memilih menggoreng ikan sendiri. Sementara saya menikmatinya sebagai bagian dari rasa hormat --sebuah prinsip saya sejak dulu untuk sebisa mungkin makan masakan rumah.

Lalu, pada jam makan siang, saya jumpai mangkuk sayur itu sudah dikerubungi semut. Saya sungguh heran, bagaimana mungkin semut mendekati sayur yang minim rasa manis itu. Saya sempat marah-marah sebelum ibu berkata, "Sudah tidak apa-apa, sana masak lagi kalau memang sudah tidak bisa dimakan sayurnya. Toh sekarang memang lagi musim semut."

Ya, musim semut, demikian sebut ibu. Musim tatkala semut-semut berdatangan dalam jumlah banyak dan mengerubungi benda-benda yang pada waktu biasa jarang tersentuh hewan itu. Pada musim begini, teh baru setengah jam diseduh saja bisa didatangi semut. Semut-semut itu kemudian membawa saya teringat dengan kulkas, benda di samping meja makan. Tempat ibu menyimpan aneka makanan, terutama di musim semut begini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

***

Tahun ini, terhitung tahun keenam keluarga kami memiliki kulkas hasil hadiah. Dulunya, bapak sangat ingin membeli benda itu, tapi selalu dilarang oleh ibu. Alasannya sangat khas ibu-ibu. Uang buat beli kulkas mending buat kebutuhan lain, begitu katanya. Toh bertahun-tahun lalu, keluarga kecil kami memang jauh lebih sederhana dibandingkan hari ini.

ADVERTISEMENT

Bagi pasangan petani padi seperti mereka, uang senilai 1,5 juta demi benda bernama kulkas tentu saja tidak sedikit. Sebagai gambaran, uang itu harus didapatkan dari hasil panen padi di sawah sekitar 1000 meter persegi. Itu pun jika hasil panen sedang bagus, tanpa adanya gangguan hama yang membuat hasil panen menurun drastis. Bisa saja kami membeli kulkas, tapi artinya kami tidak ada modal lagi untuk musim tanam selanjutnya. Pilihan yang sulit.

Maka, kulkas adalah kemewahan yang bertahun-tahun lamanya bertahan di angan-angan semata. Kisah-kisah seperti minum es pada tengah hari panas dan menyimpan es krim berjam-jam otomatis tidak pernah bisa kami temui.

Kembali lagi ke masalah semut. Dahulu, saat keluarga kami belum punya kulkas, ibu selalu punya cara menyelamatkan makanan di kala musim semut datang. Dihitung dari rumah kami dibangun pada tahun 2000 dan baru punya kulkas pada 2015, maka 15 tahun sudah ibu melewati musim menyebalkan itu. Mulai dari menggunakan wadah berisi air di kaki meja, memberi alas piring berisi air di mangkuk makanan, hingga menggunakan berbagai obat pembasmi semut.

Jika sudah begitu, ibu juga akan selalu punya cara menyimpan makanan. Entah itu digantung atau diletakkan di area yang dipercaya tidak ada semutnya. Jika diingat, musim semut menjadi lebih susah jika bertepatan dengan banyak acara. Jika begini, di rumah akan terdapat banyak makanan dan ibu akan semakin pusing dengan ancaman semut-semut itu.

Bagi saya, mengenang masa sebelum punya kulkas bukan sekadar soal mengenang masa kecil di rumah sederhana ini. Kembali ke masa itu, bagi saya, juga sebuah tamparan bagi aneka ketakutan dan keresahan di usia dewasa seperti sekarang. Ketakutan soal hal-hal duniawi. Sepemahaman saya pula, banyak rekan-rekan sebaya saya punya keresahan serupa.

"Gimana ya kalau besok aku nggak bisa menyediakan yang terbaik untuk keluargaku?, "Gimana ya kalau besok aku tidak mampu menyekolahkan anakku di sekolah terbaik?" dan aneka jenis pertanyaan lain. Ketakutan sekaligus kekhawatiran yang dilandasi bukan semata soal ketidakberanian. Lebih jauh lagi, itu semua dipengaruhi berbagai kondisi di sekitar si manusia. Bahkan, karena itu pula, beberapa rekan saya memilih menunda pernikahan.

Saya cukup yakin, kedua orangtua saya juga dahulu tidak pernah membayangkan akan punya kulkas --benda yang menyelamatkan makanan kami pada musim semut. Bagi mereka, mungkin, tugas mereka sebagai pasangan dalam keluarga adalah bertahan hidup dan memberi makan keluarga, sebisa dan semampunya. Apa mau dikata? Mereka hanya petani sederhana dengan sawah yang tidak luas dan tidak punya banyak pilihan.

Namun, saya yakin, mereka tidak pernah mengalami ketakutan andai kata kelak di rumah tangga keduanya ada hal-hal di luar perhitungan dan membutuhkan biaya tidak sedikit. Tumbuh besar di lingkungan desa membuat mereka sedikit banyak bersikap sumeleh, berserah. Mereka tidak pernah ingin kaya. Sebaliknya, doa mereka yang saya tahu adalah ingin selalu dicukupkan. Sehingga, ketika ada suatu hal mereka bisa membiayainya. "Sedikit tapi cukup lebih baik daripada banyak tapi kurang," demikian ajaran ibu saya.

Musim semut dan kulkas benar-benar menampar perhitungan logika saya. Saya baru benar-benar ingat, dahulu saat kami belum punya kulkas, belum pernah rasanya semua makanan kami dikerubungi semut. Memang ada yang mereka datangi, tapi tidak semua. Belum pernah rasanya kami kelaparan karena, misal, semua makanan menjadi sia-sia akibat semut. Padahal waktu itu kami belum punya kulkas.

Saya ingat, suatu malam saat saya masih kecil, bapak mendapatkan nasi kotak berisi lauk pauk dan 4 tusuk sate dari sebuah acara rapat. Oleh ibu, 4 tusuk sate itu disimpan dengan cara dimasukkan ke plastik, ditali kencang, lalu digantung supaya esok pagi bisa untuk sarapan anak-anaknya. Kala itu saya sempat khawatir, bagaimana jika makanan itu dikerubungi semut dan saya gagal sarapan dengan sate. Nyatanya, semut-semut mengerubungi makanan sisa hari itu, hanya berjarak 2 meter dari tempat sate digantung. Dan sate itu aman-aman saja.

***

Adegan menjelang makan siang hari itu juga mengingatkan saya bahwa sejatinya manusia sebagai makhluk paling sempurna akan selalu punya ketakutan. Takut tidak lulus kuliah, takut tidak bisa menikah, takut miskin, dan bahkan takut dengan hewan kecil bernama semut. Namun, kadang, kita semua lupa bahwa tidak semua hal bisa dilogika dan tidak semua hal pula patut ditakutkan.

Saya mengingat, jika saja dihitung secara angka, bapak dan ibu saya perlu uang puluhan juta demi membesarkan kedua anaknya. Jika dihitung berdasarkan penghasilan mereka sebagai petani, angka itu sungguh tidak mungkin didapatkan. Saya juga ingat, mereka pernah kesulitan kala gagal panen dan harus membayar biaya sekolah kami, anak-anaknya.

Namun, itu semua nyatanya tidak pernah bisa membawa keluarga kami ke jurang kemiskinan. Serta, setahu saya, tidak pula setelah kejadian itu orangtua saya terlilit utang dalam jumlah besar.

Satu hal menyadarkan saya, semesta punya mekanismenya sendiri dalam bekerja. Beberapa hal, mungkin, bisa dilogikakan oleh manusia. Ketakutan akan suatu hal, perhitungan dan skenario supaya itu tidak terjadi, dan kemudian menyusun langkah taktis. Namun, ada banyak hal pula yang sejatinya tidak perlu ditakutkan. Mereka hanya perlu dijalani dengan sepenuh hati sembari berusaha sebaik manusia bisa.

Tamparan tentang eksistensi dan ketakutan saya --sebagai manusia-- siang itu didatangkan dengan hal sederhana. Bukan lewat pesan panjang ala motivator ekonomi, tetapi lewat semut. Hewan kecil yang ada di sekitar saya. Kadang, kedatangannya susah ditebak logika. Kadang, kita terlalu disibukkan dengan keserakahan dan ketakutan, hingga kita lupa bahwa ada kuasa lain di luar tangan manusia.

"Sudah biar saja, mereka kan juga butuh makan, yang penting tidak makan semua saja," tukas ibu saat melihat saya masih mengamati semut-semut itu.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads