Saat ini kita berada di pengujung tahun 2021; masih banyak kekurangan dan kesalahan, hingga harapan yang belum dicapai. Ibarat sebuah puzzle masih ada banyak potongan yang berserak belum terselesaikan; hendaknya kita merefleksikan diri, melakukan evaluasi holistik dari hulu hingga ke hilir agar hasilnya menjadi lebih baik. Salah satu fokus utama adalah membenahi cara berhukum di Indonesia yang selalu mengalami stagnasi dan anomali.
Berdasarkan Indeks Negara Hukum yang dirilis oleh World Justice Project (WJP) 2021, Indonesia dalam skala global menempati peringkat 68. Ada penurunan peringkat jika dibandingkan dengan tahun 2020 Indonesia menempati peringkat 59. Kemudian jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia berada jauh di bawah Singapura yang menempati peringkat 17 dan Malaysia menempati peringkat 54.
WJP dalam suveinya menjelaskan ada 8 (delapan) faktor yang mempengaruhi indeks negara hukum, yaitu 1) Constraints on Government Powers; 2) Absence of Corruption; 3) Open Government; 4) Fundamental Right; 5) Orde dan Security; 6) Regulatory Enforcement; 7) Civil Justice; dan 8) Criminal Justice. Adapun dari delapan kategori itu kita bisa memetakan problem yang seringkali terjadi di Indonesia tidak hanya sepanjang 2021, tetapi periode terdahulu.
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan secara serius. Pertama, proses legislasi yang tidak sesuai aturan mainnya. Ada beberapa produk undang-undang yang dihasilkan dari proses legislasi yang menyimpang dari ketentuan UU No 12/2011. Bahkan mendapatkan resistensi dari masyarakat sehingga patut dipertanyakan legitimasinya antara lain UU KPK, UU Minerba, UU MK dan UU Cipta Kerja.
Untuk undang-undang yang terakhir telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi tetap berlaku. Kendati ada ambiguitas dalam putusannya, namun perlu diapresiasi karena untuk kali pertama MK menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap uji formil suatu undang-undang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika diamati belakangan terakhir, kinerja para pembentuk undang-undang patut dikritik karena seringkali alpa untuk membuka ruang bagi masyarakat menyalurkan aspirasinya dalam pembentukan undang-undang. Mahfud MD (2017) membuat dikotomi karakter produk hukum yaitu produk hukum responsif dan konservatif. Secara sederhana dapat dipahami bahwa produk hukum yang responsif memberikan peranan besar dan partisipasi penuh bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Sebaliknya produk konservatif bersifat eksklusif, mengabaikan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Merujuk dikotomi tersebut beberapa produk undang-undang yang diterbitkan belakangan ini cenderung berkarakter konservatif tidak memberikan ruang bagi stakeholder untuk berpartisipasi. Oleh karena itu sudah seyogianya pemerintah bersama DPR perlu berbenah dan taat pada prosedur legislasi yang telah ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, mengingat pula sebagai pelajaran ada satu undang-undang yang secara formil telah dinyatakan inkonstitusional.
Kedua, terjadinya inkonsistensi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Menurunnya akselerasi lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi berimbas pada menurunnya tingkat kepercayaan publik sebagaimana survei yang dilakukan Indikator bahwa kepercayaan publik terhadap KPK menunjukkan grafik yang menurun di tahun 2021. Hal demikian disebabkan beberapa isu, misalnya belum tertangkapnya buronan Harun Masiku, kemudian terbitnya surat perintah penghentian penyidikan dari KPK terhadap Nursalim tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Selain itu tingkat kepercayaan publik semakin tergerus, imbas dari vonis pengadilan terhadap mantan menteri Juliari P. Batubara dalam kasus korupsi bansos Covid-19 yang dinilai terlalu ringan. Meskipun dalam hal ini KPK tidak dapat disalahkan atas vonis 12 tahun yang dianggap ringan oleh sebagian orang, karena keputusan akhir sepenuhnya ditentukan oleh Hakim.
Ketiga, apakah penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum. Berdasarkan hasil survei Indikator, Polri menempati urutan ketiga sebagai institusi yang mendapatkan kepercayaan publik bahkan melewati KPK yang biasanya di posisi teratas. Tetapi hasil survei tersebut tidak dapat dijadikan parameter menilai kinerja polisi mengingat realitas yang terjadi akhir-akhir ini muncul hashtag "PercumaLaporPolisi", buntut dari beberapa kasus penolakan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap laporan korban.
Selain itu munculnya hashtag tersebut akibat dari tidak jelasnya proses hukum di tingkat kepolisian salah satu kasus mengenai pemerkosaan terhadap tiga anak perempuan yang dilakukan oleh ayah kandungnya terjadi Luwu Timur Sulawesi Selatan. Secara formal kasus ini dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.
Kinerja kepolisian semakin dipertanyakan, ketika ada satu kasus yang cukup menyita perhatian publik yakni seorang istri yang dituntut akibat memarahi seorang suami yang suka mabuk-mabukan dengan dasar kekerasan dalam rumah tangga secara psikis. Seharusnya sejak tingkat penyelidikan penyidikan (tahap awal) polisi bisa menilai secara objektif tidak hanya mengedepankan aspek legal formal hukum an sich sehingga mengabaikan keadilan substantif. Namun setelah kasus ini viral dan menimbulkan kegaduhan, akhirnya Valencya diputus bebas, sehingga muncul narasi dan stigma viral dulu di media sosial baru lakukan penindakan.
Oleh karena itu hendaknya Polri segera berbenah dan melakukan evaluasi internal sebagaimana dikatakan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang ingin jajarannya di Polri agar melakukan evaluasi.
Sebenarnya masih ada banyak catatan yang perlu dikemukakan, namun mengingat ada keterbatasan ruang penulisan. Misalnya terkait wacana amandemen UUD NRI 1945 hingga tidak dibahasnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam rapat paripurna. Oleh karena itu, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, besar harapan kita pemerintah fokus khususnya isu-isu hukum, dalam memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum terhadap masyarakat.
Adam Setiawan, S.H., M.H mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda