Saya tidak paham, apa yang membuat orang-orang bergembira menyambut Tahun Baru.
Bukankah Tahun Baru artinya rencana tugas-tugas baru, dan yang namanya tugas baru sama dan sebangun dengan beban yang juga baru? Seberapa hebat mereka, seberapa super mereka, kok bisa-bisanya bergembira menyambut beban?
Benar, sebelum Tahun Baru tiba, ada setumpuk target yang tercapai. Tetapi, bukankah ketercapaian target-target itu bukan milik Tahun Baru, melainkan berada dalam teritori masa yang dikuasai tahun sebelumnya? Dengan kata lain, kesuksesan meraih target-target tersebut adalah milik akhir tahun, bukan milik Tahun Baru.
Saya sendiri melihat bagaimana teman-teman saya menyambut akhir tahun dengan klaim-klaim keberhasilan masing-masing. Karena kebetulan saya tidak tinggal dalam ekosistem dunia profesional, memang bukan target-target penjualan atau target capaian perusahaan yang berseliweran dalam tangkapan mata saya. Yang banyak saya lihat adalah pameran keberhasilan membaca buku, misalnya.
"Wah, tahun ini aku berhasil menyelesaikan 50 buku. Sekitar 30-an buku sastra, sisanya campur-campur antara sejarah, filsafat, dan psikologi."
Wew. Saya minder sekali menyimaknya. Lebih minder lagi ketika yang saya lihat adalah mode ngeluh-tapi-pamer.
"Aduuuh, sebel banget, tahun ini aku cuma bisa menyelesaikan 70 buku. Padahal sejak awal tahun sudah aku target minimal 100 buku. Sedih deh...."
Kasihan sekali dia. Saya sungguh ingin ikut bersedih. Tapi siapalah saya ini, yang membaca dua judul buku tiap bulan saja sudah merasa berprestasi. Apa pun itu, yang pasti saya melihat teman-teman saya itu tengah merayakan akhir tahun, bukan menyambut dengan gembira datangnya Tahun Baru.
Jujur saja, diam-diam saya ingin bertanya: "Eh, eh. Baca buku sebanyak itu sebenarnya output-nya apa? Kenapa cuma bercerita tentang buku-buku yang telah dibaca, dan bukan tentang hasilnya, entah hasil intelektual entah hasil sosial entah hasil spiritual entah hasil material yang terbangun dari berjibun bacaan yang luar biasa itu?"
Tetapi, sesinis apa pun mulut saya, bagaimana pun mereka jauh lebih pantas merayakan akhir tahun daripada saya, yang tak pernah punya target-target jelas, tak pernah bikin resolusi apa-apa untuk menyambut Tahun Baru, bahkan kalau toh menengok lagi tahun yang lama pasti hanya akan muncul perasaan diri yang sia-sia. Ah.
Sungguh, saya masih belum kunjung paham, apa yang membuat orang-orang bergembira menyambut Tahun Baru.
Tahun Baru untuk saya selalu bermakna umur yang juga baru, sebab bulan kelahiran saya cuma beberapa langkah saja dari pergantian tahun. Dan, umur yang baru itu berat.
Saya tidak pernah mengerti di mana asyiknya pertambahan umur, dan kenapa harus ada lagu Happy Birthday. Demi Toutatis, di mana happy-nya orang birthday?
Saya kira, yang pantas untuk happy saat berulang tahun hanyalah anak-anak abege yang sedang bertumbuh, yang akan merasa semakin matang dengan pertumbuhan mereka, hingga tiba di titik mekar-mekarnya. Lalu perasaan happy itu semestinya mentok pada hitungan umur 19 atau 20.
Pada tahun-tahun selanjutnya, tak ada alasan menjadikan umur yang bertambah sebagai momen kebahagiaan, sebab yang datang adalah beban hidup yang baru, tanggung jawab yang baru, tekanan-tekanan realitas yang juga baru, yang mungkin tak pernah mereka bayangkan saat menyanyikan Happy Birthday ketika pesta sweet seventeen. Benar, kan? Coba jelaskan dengan argumen yang paling rasional, di mana bikin happy-nya usia 21 atau 25?
Lebih-lebih lagi ketika umur sudah masuk kepala tiga, apalagi kepala empat, dan mulai menyaksikan kawan-kawan seiring mulai ada yang bertumbangan, entah karena diabetes, jantung, atau korona. Dalam situasi batin seperti itu, umur yang bertambah artinya imajinasi akan porsi waktu yang semakin mepet, peluang yang semakin sedikit, dan tenaga yang semakin melemah.
Mungkin Anda mau menyangkal kata-kata saya. Tapi coba ingat-ingat, seberapa sering kita merasa bangga karena disebut-sebut awet muda? Atau, seberapa kerap kita agak malu karena ketahuan sudah tua, jauh lebih tua daripada lawan bicara kita, padahal sebelumnya kita merasa sepantaran belaka?
Saya berkali-kali merasakannya. Dan saya akhirnya sadar, saya malu karena satu hal: sebab saya mendadak menjadi tua karena belum banyak berbuat apa-apa.
Saya pribadi akan merasa lebih happy, lebih bergembira, ketika yang terjadi bukan Tahun Baru yang tiba-tiba muncul dan umur yang tiba-tiba bertambah. Melainkan waktu yang merayap pelaaan, lambaaat, dan dalam waktu yang bergerak lambat itu saya bisa melakukan banyak sekali hal.
Jika itu terjadi pun, saya mungkin akan merayakan hari-hari yang bisa saya jalani, namun tetap saja saya sulit menemukan alasan kenapa saya harus menyukai datangnya Tahun Baru. Tahun Baru tetap akan menjadi momen mengerikan ketika saya harus menekuri waktu yang merayap cepat dan penuh kesia-siaan, produktivitas yang rendah dan energi yang semakin lemah, dan karena itu saya bersikukuh untuk tidak akan mengucapkan Happy New Year.
Kalau toh terpaksa, saya lebih memilih mengucapkan Selamat Tahun Baru. Artinya, Tahun Baru sudah datang, ini momen yang menyeramkan, semoga kita semua selamat. Amin.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)