Tiap tahun, Indonesia selalu di tubir bencana. Hal ini lantaran Indonesia secara alamiah diintai oleh ancaman bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation). Secara siklus musim, biasanya sepanjang Januari-April ancaman bahaya hidrometeorologi acap mengintai, seperti badai, banjir, dan longsor.
Indonesia pun berada di jalur rentan gempa teraktif di dunia. Kita dikelilingi Cincin Api Pasifik (ring of fire) dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kendati tata geologi yang demikian membuat Indonesia subur dengan sumber daya alam hayati, namun tak pelak Indonesia pun rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, longsor dan badai.
Erupsi gunung Semeru di Jawa Timur menjelang penghabisan Desember 2021 menyisakan petaka dan pilu yang mendalam. Ada 34 nyawa melayang dan puluhan jiwa lainnya belum ditemukan. Pemukiman warga dan lahan pertanian ditimbun debu tebal erupsi. Hewan-hewan ternak mati ditiban lahar panas. Ada 5.205 warga terdampak. Bencana banjir bandang di Sintang-Kalimantan Barat pun menyisakan petaka bertubi-tubi di Tanah Air. Demikian pun gempa bumi di Nusa Tenggara Timur dengan kekuatan goncangan 7,4 skala Richter.
Tingginya risiko bencana sudah tentu memakan korban material dan sumber daya ekonomi masyarakat. Aneka bencana alam sudah tentu berdampak pada sumbatan sirkulasi ekonomi di kawasan setempat dan terputusnya rantai distribusi menyebabkan pasokan kebutuhan tersumbat dan inflasi. Seturut dampak turunan seperti penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) yang menyebabkan penyakit kulit, diare, dan penyakit menular lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandemi dan siklus bencana musiman seakan membuat masyarakat ditiban bertubi-tubi malapetaka. Dan, sudah tentu pemerintah, baik daerah maupun pusat, selalu memiliki masalah penanganan, mulai dari penanggulangan darurat yang sifatnya segera, recovery, rehabilitasi, dan rekonstruksi pascabencana. Argumentasinya selalu teknokratis, terkait space anggaran darurat yang minim pada kantung APBN/APBD. Demikian juga rantai birokrasi usulan anggaran yang bertele-tele saat sudah terjadi bencana. Hal ini yang membuat pemerintah acap lambat dalam merespons berbagai bencana yang terjadi.
Dengan siklus bencana musiman tersebut, sejatinya kebijakan kontinjensi diperlukan. Terutama, alokasi anggaran untuk daerah-daerah dengan risiko bencana yang tinggi melalui mekanisme pendanaan (funding) cepat tanggap. Dengan demikian, ketika terjadi bencana yang sifatnya musiman, langkah-langkah cepat tanggap bisa dilakukan tanpa perlu terhambat oleh gangguan-gangguan yang sifatnya birokratis.
Blok-blok sektoral birokrasi tidak mesti menjadi hambatan bagi penanganan bencana yang sifatnya cepat tanggap. Hal ini sebagai mitigasi dalam meminimalisasi dampak turunan pascabencana. Jika tidak, dampak pascabencana berisiko lebih berbahaya, setali tiga uang dengan bencana alamnya.
Anggaran Bencana
Pada APBN 2021, alokasi anggaran bencana sebesar Rp 3,7 triliun. Turun 26% dari alokasi dana bencana APBN 2020 sebesar Rp 5 triliun. Dana bencana 2021 sudah terserap sebesar 72,97%. Menurut hemat saya, alokasi APBN untuk penanganan bencana ini terbilang kecil.
Menurut riset CNBC Indonesia, rata-rata nilai kerusakan bencana itu sebesar Rp 18,5 triliun. Artinya, alokasi APBN untuk rata-rata nilai kerusakan bencana itu hanya meng-cover 20%. Hal inilah yang membuat penanggulangan bencana di Indonesia sering menuai masalah dan kritikan. Karena rendahnya anggaran yang diakomodasi APBN untuk penanggulangan bencana dari fase darurat, recovery, rehabilitasi, dan rekonstruksi pascabencana.
Minimnya anggaran bencana menyebabkan infrastruktur penanggulangan dini bencana minim di daerah-daerah dengan risiko bencana tinggi. Selain itu, edukasi dan literasi terkait bencana kepada masyarakat yang menetap di daerah risiko bencana juga minim. Hal inilah yang menyebabkan ketika bencana terjadi masyarakat dan terlebih pemerintah tidak sigap menanggulangi bencana. Korban jiwa dan materi terjadi dalam jumlah besar karena manajemen bencana yang yang bersifat preventif tidak dikelola dengan baik karena minimnya alokasi anggaran yang berdampak pada kesigapan dalam merespons.
Tentu kita menyambut baik niat pemerintah terkait memanfaatkan Pooling Fund Bencana (PFB) sebagai secondary layer funding dalam penanggulangan bencana. Dengan harapan, birokratisasi pada alokasi APBN untuk bencana diakselarasi melalui PFB.
Melalui BLU khusus yang menangani PFB, kita berharap, tata kelola dana penanggulangan bencana di Indonesia bisa jauh lebih baik, mulai dari edukasi pra bencana dan infrastruktur mitigatif hingga penanganan pascabencana. Anggapan bahwa dengan adanya PFB mengurangi beban APBN untuk bencana pun perlu di buang jauh-jauh, karena pada hakikatnya APBN adalah alat untuk mensejahterakan rakyat.
Skema PFB
PFB merupakan salah satu instrumen utama pada Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) yang digunakan juga sebagai salah satu skema pendanaan kolaboratif pada pembiayaan asuransi Barang Milik Negara (BMN)/Barang Milik Daerah (BMD).
PFB dirancang untuk menghimpun dana dari berbagai sumber baik APBN, APBD, saldo kas, pelaku usaha/masyarakat, bantuan internasional serta perolehan lainnya yang sah untuk dikembangkan sebagai pembiayaan pra bencana, tanggap darurat, serta pascabencana secara berkelanjutan.
Sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah Indonesia dalam mengelola PFB, World Bank Group telah menyepakati Program Investment Project Financing with Performance-Based Conditions (IPF-PBCs) dengan memberikan pinjaman senilai USD 500 juta (setara Rp 7,1 triliun) yang akan digunakan untuk memperkuat APBN dalam menanggung dan mengurangi risiko bencana, meningkatkan kapasitas keuangan dan membangun kelembagaan PFB serta memperbaiki tata kelola pendanaan penanggulangan bencana.
Namun jika dipelajari secara seksama, tampaknya sasaran PFB mengarah pada Financing and Insurance terhadap BMN dan BMD dan sistem pengaman sosial dan lingkungan (ESMS). Ini merupakan salah satu prioritas pemerintah dalam strategi PARB. BMN/BMD dimaksud adalah aset dan infrastruktur yang memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi serta berkaitan dengan pelayanan publik dan menunjang tugas dan fungsi pemerintah, seperti gedung kantor, rumah sakit, dan bangunan pendidikan.
Sementara skema PARB/DRFI untuk masyarakat atau rumah tangga, ada perlindungan aset masyarakat dalam bentuk asuransi untuk usaha mikro dan menengah. Semisal untuk usaha tani seperti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) akibat dampak bencana natural degradation atau hydrometeorological hazards. PARB dengan skema AUTP, dapat memberikan jaminan terhadap kerusakan tanaman akibat banjir, kekeringan, serta serangan hama dan penyakit tumbuhan atau organisme pengganggu tumbuhan (OPT).
Skema AUTP ini sudah berjalan sejak 2015. Namun skema AUTP dengan luas lahan β€ 2 ha,dikenakan premi swadaya 20% (sumber: BKF-Menkeu). Ini bukan membantu, sebaliknya membebani rakyat kecil terdampak bencana dengan beban premi AUTP. Biaya dana berupa premi swadaya 20% yang dibebankan pada masyarakat petani terdampak, sejatinya tidak membantu, malah membebani perlu dikaji kembali.
Pengelolaan/pengembangan dana oleh BLU PFB dengan berbagai investasi dan transfer risiko melalui asuransi sejatinya bertujuan untuk menggali sumber pendanaan dari publik untuk membantu masyarakat terdampak bencana. PFB dilihat sebagai bentuk debirokratisasi terhadap sumber dana penanggulangan bencana.
Namun secara mekanis tampak bahwa PFB adalah salah satu instrumen utama pada strategi PARB yang digunakan juga sebagai salah satu skema pendanaan kolaboratif pada pembiayaan asuransi BMN/BMD dan untuk rakyat dengan skema Sistem pengaman sosial dan lingkungan (ESMS) dengan beban premi yang dikenakan pada terdampak seperti dalam skema AUTP.
Menurut hemat saya, investasi PFB tidak perlu membebani masyarakat. Karena hakikatnya pembentukan PFB ini lebih berorientasi kemanusiaan, membantu terdampak bencana, bukan malah membebani.
Abdul Munir Sara Tenaga Ahli DPR Komisi XI, pemerhati kebijakan publik