Setelah mengalami proses maju mundur dipastikan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) batal dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR (deticom, 16/12). Tentu, kenyataan itu seolah memaksa publik menelan pil pahit di tengah tingginya harapan berbagai kompleksitas dari kasus kekerasan seksual mampu ditangani secara lebih baik. Pasalnya, kenyataan bahwa peraturan yang ada termasuk KUHP sejauh ini tidak mampu menangkap kompleksitas kekerasan seksual.
Tertundanya pengesahan tingkat kedua draf RUU TPKS ini juga menjadi ironi di tengah tingginya kejadian kekerasan seksual di Indonesia. Masih segar dalam ingatan terkait kasus predator seks Herry Wirawan yang mencabuli 21 muridnya hingga beberapa di antaranya melahirkan anak. Kemudian ada juga kasus pencabulan yang dilakukan oleh guru agama di Tasikmalaya terhadap 9 muridnya. Belum selesai sampai di situ, guru agama di Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, melakukan tindak pencabulan terhadap 15 siswanya yang masih di bawah umur.
Sayangnya, RUU yang merupakan 'senjata' korban untuk melawan pelaku kekerasan seksual tersebut justru diputuskan tidak masuk dalam Rapat Paripurna penutupan masa persidangan II DPR tahun sidang 2021-2022. Ironisnya, alasan tidak dimasukannya RUU TPKS ke dalam rapat paripurna lantaran DPR ingin memutuskan RUU TPKS sesuai mekanisme yang ada sehingga pelaksanaannya nanti bisa berjalan dengan baik dan benar.
Alasan itu menurut hemat saya seolah kurang menunjukkan keberpihakan para wakil rakyat di parlemen terhadap korban kekerasan seksual selama ini. Karena setelah bertahun-tahun ujungnya antiklimaks. Mustinya, di tengah kedaruratan masalah kekerasan seksual di Indonesia apalagi dengan pimpinan DPR yang dijabat perempuan lebih mengedepankan politik kemanusiaan ketimbang sebatas mekanisme aturan atau pun berdalih masih adanya sejumlah penolakan dari beberapa fraksi.
Padahal, tanpa adanya perlindungan yang memadai dari hukum, insiden kekerasan seksual ini dipastikan bakal terus terjadi. Buruknya lagi, bahkan seringkali korban tidak berani melaporkan pelaku pada pihak berwajib. Alasannya cukup beragam mulai dari takut dan rasa malu. Ditambah kejadian beberapa tahun belakangan, para korban pelecehan dan kekerasan seksual, malah mendapatkan hukuman pidana yang diajukan oleh para pelaku, dengan dalih pencemaran nama baik.
Tidak berhenti di situ, laporan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan sepanjang tahun 2020 ada sebanyak 299.911 perempuan menjadi korban kekerasan. Tragisnya, mengacu data tersebut sejumlah 11.637 orang diantaranya merupakan korban kekerasan seksual yang mana mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Sehingga, menghadirkan RUU TPKS ini sudah selayaknya menjadi sebuah gerakan bersama agar negara mampu melindungi korban kekerasan seksual yang semakin meningkat bukan sebaliknya.
Singkirkan Ego
Belum disetujuinya RUU TPKS dari beberapa fraksi di parlemen tentu patut disesali. Apalagi, jika diamati secara jelas perdebatan yang terjadi tidak dikaitkan dengan substansi RUU TPKS melainkan kental dengan sentimen politik dan agama. Tentu, hal itu teramat purba ketimbang memberikan ruang bagi korban untuk menyuarakan agar RUU TPKS dapat menjadi produk hukum yang layak dan baik.
Seharusnya pula, para wakil rakyat bisa sejenak menyingkirkan ego masing-masing dan fokus dalam perumusan hukum RUU TPKS yang merujuk pada landasan filosofis, yuridis dan sosiologis, bukan sentimen politik tertentu. Bukankah mereka pasti paham selama ini kasus kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP hanya dicap sebagai kejahatan kesusilaan. Padahal, dalam tindakan kekerasan seksual juga ada kejahatan kemanusiaan yang dilanggar.
Kasus kekerasan seksual bahkan memiliki rubrik berita sendiri di situs berita Indonesia, dan terdapat berita hariannya. Hal ini membuktikan, jumlah kasusnya di Indonesia sangat tinggi per harinya. Maka, mengakhiri kekerasan dengan menghadirkan payung perlindungan hukum bukan sebatas kampanye tetapi sebuah kerja nyata setiap elemen negara untuk melindungi kelompok masyarakat yang sering menjadi obyek kekerasan adalah keharusan.
Sebab itu, dalam perdebatan yang berlangsung para wakil rakyat harusnya tidak memasukkan isu-isu yang tidak relevan di luar kekerasan seksual. Sehingga RUU TPKS, mampu menjadi jawaban atas kekosongan hukum dalam kasus-kasus tindak kekerasan seksual di tanah air. Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender (2020) menunjukkan, mayoritas masalah kekerasan seksual di Indonesia berakhir tanpa kepastian. Sebab 57 persen korban kekerasan seksual mengaku tak ada penyelesaian dalam kasus tersebut alias kosong.
Politik Kemanusiaan
Hal yang penting yang dibutuhkan sekarang adalah para pemangku kepentingan harus mengedepankan sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat untuk menjadi dasar hadirnya Undang-Undang TPKS dalam upaya melindungi kelompok masyarakat yang rentan dari ancaman tindak kekerasan seksual.
Ada sebuah warisan yang sangat inspiratif dan kontekstual dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk direfleksikan serta dilakoni dalam kehidupan kita hari ini. Terutama, saat kondisi interaksi sosial politik kita disesaki banyak kepentingan baik dari kepentingan ideologi, kelompok konservatif dan budaya patriarki yakni prinsip kemanusiaan lebih penting daripada politik.
Jika melihat fenomena perdebatan perumusan RUU TPKS politik kita sangat jauh dari rasa kemanusiaan. Kita dapat melihat fenomena dimana manusia tega mengorbankan sesamanya dalam kubangan trauma berkepanjangan karena menjadi korban kekerasan seksual. Bukankah sebagaimana meminjam pendapat Aristoteles politik merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan bukan menghamba terhadap kekuasaan atau malah memperkeruh suasana.
Selain faktor silang pendapat di DPR penyebab ditundanya pengesahan RUU TPKS adalah masih perlu waktu menampung masukan publik atau pakar. Namun, disini menyitir pendapat Pakar Hukum Tata Negara Atang Irawan (2021) dalam RUU TPKS dinilai telah memenuhi tiga landasan yaitu landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.
Secara filosofis, isi RUU TPKS tersebut sudah mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar berdirinya negara, melindungi setiap warga negara dari berbagai ancaman yang dihadapinya. Kemudian, UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur secara komprehensif mengenai harmonisasi dan sinkronisasi dalam proses pembentukan undang-undang seperti RUU TPKS.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan seharusnya potensi bentrok (chaos) dengan UU lain dapat teratasi, dan RUU TPKS tidak perlu menunggu pembahasan RUU KUHP karena derajatnya sama. Lalu, menurut hemat penulis dalam sistem hukum di Indonesia tidak mengenal undang-undang payung sebaliknya antara RUU TPKS dan RUU KUHP memiliki materi yang berbeda sehingga dipastikan tidak terjadi bentrok.
Namun demikian, jika Ketua DPR Puan Maharani menyebut batal masuknya RUU TPKS dalam rapat paripurna dan menjadi inisiatif DPR hanyalah permasalahan waktu karena belum ada waktu yang pas untuk dilakukan rapat Bamus dengan pimpinan DPR. Lantas, mau sampai kapan, apakah menunggu jumlah korban kekerasan seksual mencapai jutaan orang, generasi bangsa tumbang akibat menanggung beban trauma tidak berkesudahan?
M Nafiul Haris alumnus Fisipol Universitas Wahid Hasyim Semarang
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini