Meski begitu selama berpuluh-puluh tahun, kebijakan pembangunan infrastruktur masih terpusat di pulau Jawa atau diistilahkan sebagai Jawa-sentris. Akibatnya muncul disparitas harga komoditas antara wilayah Jawa dengan luar Jawa. Wilayah yang belum terkoneksi secara baik dari segi infrastruktur sulit bersaing dengan komoditi di pulau Jawa. Biaya logistik yang tinggi membuat harga melambung.
Semangat untuk mendekatkan jarak tempuh antar-wilayah lewat konektivitas sebenarnya sudah digaungkan pemerintah sejak puluhan tahun silam. Upaya tersebut makin dikukuhkan tahun 2011 lewat Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia's Economic Development atau disingkat MP3EI tahun 2011- 2025. Masterplan ini salah satunya memuat strategi pengurangan ekonomi biaya tinggi, antara lain dengan pembangunan jalan tol terintegrasi di beberapa wilayah di Indonesia.
Namun baru di era pemerintah presiden Joko Widodo inilah terjadi percepatan pembangunan infrastruktur jalan tol. Tidak hanya di Jawa, Presiden juga mantap mencanangkan pembangunan jalan tol di luar Jawa. Salah satunya jalan tol Trans-Sumatera yang dikerjakan oleh BUMN Hutama Karya Persero. Sebuah langkah berani yang mengundang pro dan kontra.
Muktamar NU dan Buah Manis Konektivitas
Dalam acara pembukaan muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama, ketua panitia muktamar sempat memuji presiden Joko Widodo atas pembangunan jalan tol di Lampung yang merupakan bagian terintegrasi dari jalan Tol Trans-Sumatera. Pernyataan ini sejatinya adalah cermin dari apa yang dirasakan bukan hanya oleh masyarakat Lampung, tapi juga ribuan peserta muktamar.
Bukan rahasia lagi kalau jalur darat menjadi favorit bagi para peserta muktamar dari wilayah Jawa. Alternatif terbaik adalah melewati jalan tol Lampung lewat Bakauheni. Sejak diresmikan tahun 2019, tol Bakauheni - Terbanggi Besar atau lebih akrab disebut tol Lampung ini mampu memangkas waktu hingga 75 persen dari biasanya. Jalan tol ini juga melintas hingga Pematang Panggang dan Kayu Agung yang terkoneksi dengan kota Palembang. Tidak hanya hemat waktu, perjalanan juga semakin nyaman karena kondisi jalan yang mulus serta bebas hambatan. Hal ini membuat para peserta Muktamar NU yang melintasi jalur ini tidak terlalu letih untuk langsung menjalani kegiatan.
Karena itu bisa dibilang kesuksesan acara muktamar NU ke-34 merupakan buah manis konektivitas infrastruktur yang telah diupayakan di era presiden Joko Widodo. Tidak berlebihan jika kemudian KH Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU waktu itu) menjuluki presiden sebagai bapak infrastruktur Indonesia.
Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru
Wilayah Sumatera telah lama digadang-gadang menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi nasional setelah Jawa. Pulau ini kaya akan sumber daya alam seperti kopi, kakao, kelapa sawit, karet hingga kekayaan tambang seperti besi, aluminimum, batubara, timah serta minyak dan gas.
Selama ini laju ekonomi di Sumatera tersendat konektivitas antar-wilayah, serta pungutan liar (pungli) yang marak di berbagai perlintasan. Kini harapan percepatan ekonomi bukan lagi mimpi. Pembangunan jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 2.400 km menjadi kunci penghematan waktu tempuh serta menurunnya pungli. Hal inilah yang diharapkan menjadi mesin penggerak percepatan ekonomi baru di Sumatera yang berdampak positif pada perkembangan ekonomi tanah air.
Jika pembangunan jalan tol di Sumatera dan berbagai wilayah di tanah air telah sepenuhnya rampung, maka perlahan tapi pasti Indonesia akan jadi bagian penting dari Asean Connectivity 2025. Buah manisnya kelak tidak hanya terasa di dunia industri sumber daya alam, tapi juga di bidang perdagangan, UMKM serta pariwisata. Dan saat masa itu tiba, kita tahu harus berterima kasih kepada siapa.
Prof. Dr. H.Moh. Mukri, M.Ag, Rektor UIN Raden Intan Lampung dan Ketua PWNU Lampung
(ega/ega)