Natal: "Menjadi Roti" bagi Orang Lain
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Natal: "Menjadi Roti" bagi Orang Lain

Jumat, 24 Des 2021 16:05 WIB
YohanesW Hayon
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ratusan umat Nasrani menggelar misa Natal di Gereja Immanuel Jakarta Pusat, Rabu (24/12/2014) malam. Ratusan lilin yang dibawa oleh para jemaat akhirnya dihidupkan sebagai tanda penutup perjamuan dan pergumulan dalam misa natal tahun 2014 di gereja tersebut.
Foto ilustrasi: Rachman Haryanto
Jakarta -
Mengapa Tuhan menciptakan sebuah dunia di mana semua makhluk hidup harus makan? Bagaimana mungkin, hampir semua cerita dalam kitab suci berbicara tentang makanan? Mengapa PDKT selalu dipenuhi dengan protokol makan-makan? Mengapa Kerajaan Allah dianalogikan dengan perjamuan abadi? Mengapa Yesus mengklaim bahwa tubuhnya adalah makanan dan darahnya adalah minuman?

Mengapa kita hendaknya memberi makan mereka yang lapar?

Tanpa berpretensi memberi jawab terhadap semua pertanyaan di atas, saya coba membuat semacam refleksi singkat yang menjelaskan bahwa cara kita memperlakukan makanan sejatinya menggambarkan siapa sebenarnya diri kita di dunia yang fana ini.

Sosiologi Makanan

Dalam perspektif teologi Katolik, orang sudah terbiasa mendengar prolog Injil Yohanes, Pada mulanya adalah sabda, namun tidak banyak yang menyadari bahwa prolog itu menjadi eviden persis ketika sabda itu harus menjadi makanan di atas meja makan. Dengan kata lain, di meja makan, sabda bersifat esensial.

Sayangnya, kadang kita sulit menjadi seperti dua murid Emaus yang menyadari kehadiran Yesus persis ketika Ia mengambil roti, memberkati roti itu, memecah-mecahkan roti itu, dan memberikannya kepada mereka (Lukas 24:30-35).

Mengapa Sabda harus menjadi makanan?

Mengutip Claude Fischler dalam L'Homnivore, tidak ada yang lebih vital dan intim selain makanan. Tanpa makanan, kita mati. Tubuh kita menjadi kuat dan sehat, lemah atau sakit tergantung pada apa yang kita makan atau yang kita dapatkan melalui makanan. Persis di situ, Natal sebagai momen inkarnasi adalah peralihan kualitatif yang menunjukkan betapa dekat dan intimnya manusia dengan sabda yang telah menjadi daging, bahkan di level yang paling sehari-hari.

Meskipun demikian, makanan bukan hanya mengandung dimensi psikologis atau biologis melainkan juga dimensi psikologis, afektif, dan bahkan transformasi spiritual. Dalam beberapa komunitas masyarakat, terdapat jenis makanan yang dikhususkan untuk merayakan ritual tertentu seperti pesta nikah atau ulang tahun. Di dalam agama Islam, ada makanan tertentu yang dianggap haram untuk dikonsumsi atau puasa memakan daging dalam tradisi agama Katolik pada masa Prapaskah.

Itu berarti makanan dapat dilihat sebagai bagian dari rantai penandaan (chain of signification) yang menandai relasi-relasi sosial, mendefinisikan siapa kita, dan dunia seperti apa yang sedang kita hidupi saat ini. Mengutip Ludwig Feuerbach, kita adalah apa yang kita makan (we are what we eat).

Claude Levi Strauss dan Roland Barthes fokus dengan bidang kajian di atas. Bagi mereka, berbicara tentang makanan mewajibkan pengamatan pada jaringan dan sistem penandaan. Makanan, kata Barthes, bukan hanya kumpulan produk yang dapat digunakan untuk studi statistik dan ahli nutrisi. Makanan juga pada saat yang sama merupakan sebuah sistem komunikasi, gambaran tubuh kita, protokol penggunaan, situasi-situasi, dan tindakan-tindakan manusia.

Sementara itu, Levi Staruss menunjukkan bahwa kita mengetahui diri kita melalui corak makanan dan aktivitas memasak karena fakta-fakta itu mengatakan sesuatu tentang struktur dasar dari sistem penandaan kita dan dengan demikian menceritakan kepada kita tentang struktur kognitif dan emosi manusia.

Sebagai misal, apa yang terjadi selama jamuan makan keluarga misalnya, merefleksikan interaksi variatif pelbagai diskursus dan cerita seperti menyiapkan dan menghidangkan jamuan, aturan-aturan, mekanisme-mekanisme dan cara memakan, peran-peran gender dan sosial, aliran kepercayaan religius, dan seterusnya.

Teologi Makanan

Teologi tentang makanan merupakan refleksi lebih lanjut atas makanan dari perspektif sosiologis. Dalam narasi-narasi kitab suci, salah satu bentuk paling signifikan tentang teologi makanan terdapat dalam kitab Keluaran di mana Tuhan menunjukkan kasihnya melalui manna kepada umat Israel yang kelaparan di padang gurun (16:1-36).

Melalui manna, Tuhan menunjukkan belas kasih sekaligus perintah tentang solidaritas dalam bentuk berbagi makanan, khususnya kepada mereka yang lapar, yang miskin, bayi, janda, dan orang asing. Mengenai kepedulian terhadap orang asing, ditunjukkan oleh Abraham dalam Kejadian 18:4-6, atau ketika Hagar diberikan roti dan air ketika ia melalukan perjalanan (Kejadian 21:14).

Dibahasakan secara berbeda, ini adalah panggilan untuk "menjadi roti" bagi orang lain. Cita rasa identitas komunitas (antara Allah dan manusia dan antara sesama manusia) dibangun di atas figur roti yang dilanjutkan dalam Perjanjian Baru dan membuka gagasan lain tentang komunitas baru, polis baru, yang adalah gereja perdana.

Sementara itu, dalam Perjanjian Baru, sebagaimana bangsa Israel yang mengalami kelaparan di padang gurun, Yesus sendiri juga lapar karena ia tidak makan selama empat puluh hari di padang gurun. Injil mencatat bahwa iblis coba menggoda Yesus dengan mengatakan, "Jika engkau adalah Anak Allah, ubahlah batu ini menjadi roti." (Lukas 4:3).

Merespons hal itu, Yesus mengutip Ulangan 8:3, "Manusia tidak hidup hanya dari roti saja melainkan dari setiap sabda yang keluar dari mulut Allah (Yahweh)."

Di dalam Yesus yang lahir pada hari Natal, manna versi Perjanjian Lama mengalami redefinisi: dari kesementaraan menjadi keabadian, dari membiarkan kelaparan dan kehausan manusiawi kepada sebuah janji bahwa rasa lapar dan haus akan dipuaskan (Yohanes 6:34-35, 49-50).

Cerita-cerita alkitabiah di atas mau menunjukkan betapa erat hubungan antara Kerajaan Allah dan perjamuan makan-makan. Nah, jika pada masa Natal ini, ekaristi dilihat sebagai perjamuan, apa implikasinya bagi kehidupan politik umat Katolik?

Pertama, jika kita menggunakan penalaran visualisasi, kita dapat memparafrase James K. A. Smith yang mengatakan bahwa tindakan berbagi dalam ekaristi adalah sebuah pertunjukan di "panggung dunia" di mana yang tak kelihatan dapat diindrai sedemikian rupa sehingga melihat yang kelihatan adalah juga melihat melampaui yang kelihatan.

Dengan kata lain, ekaristi lebih dari sekadar pengalaman melihat dan mendengar melainkan merupakan sebuah bentuk pengalaman yang lebih mendalam karena berkaitan dengan tindakan intimasi seperti menyentuh, merasakan, menyantap, dan meminum.

Kedua, kita dituntut untuk berbagi makanan karena dengan demikian kita berbagi Allah. Tindakan berbagi di meja perjamuan Yesus berarti memperluas itu kepada lebih banyak orang, menciptakan ruang bagi orang lain untuk makan terutama mereka yang lapar.

Di dunia ini, banyak orang yang lapar. Masalahnya bukan karena mereka kekurangan sumber daya. Masalah riil adalah bahwa manusia menolak untuk berbagi dan peduli dengan sesamanya, khususnya mereka yang paling membutuhkan.

Meskipun demikian, dalam Zero Hunger: An Ethical-Political Project (2005), Frei Betto menulis bahwa mengentaskan kelaparan bukan hanya ditempuh melalui cara memberikan makanan kepada orang-orang atau memberikan donasi tapi juga mewajibkan sebuah tindakan holistik dengan menargetkan adanya perubahan struktur.

Oleh sebab itu, Hari Raya Natal mestinya mengingatkan siapa saja bahwa Tuhan telah, sedang, dan akan membagikan dirinya sebagai makanan untuk menyembuhkan kelaparan fisik dan spiritual, dan dalam cara yang sama mewajibkan kita untuk berbagi dengan dan peduli pada orang lain.

Singkatnya, Tuhan menjadikan makanan dan minuman sebagai saluran komunikasi. Dalam tubuh Kristus, identitas seperti nasionalitas, etnisitas, gender, dan kelas sosial dan seterusnya dikonfigurasi ulang melalui sebuah identitas baru yang dinamis.

Ketiga, merefleksikan makanan dari teologi politik Katolik membuat kita mengerti bahwa selama ini kita dipisahkan dengan makanan. Kita hampir tidak tahu kelompok petani mana yang memproduksi padi yang kita makan dalam bentuk nasi. Sistem neoliberalisme mengaburkan relasi-relasi sosial yang ada di dalam sebuah makanan dan menjadi sekadar komoditas yang berorientasi profit.

Keempat, oleh karena itu, Natal mestinya menciptakan gerakan teologi politik baru yang mampu mengerti sekaligus mengkomunikasikan kegelisahan petani, kesulitan para nelayan, buruh pabrik garam, dan kelompok-kelompok pekerja yang karena sistem pembagian kerja (division of labour) membuat masing-masing sektor tampak tidak saling berhubungan sama sekali.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads