Mengubah Wajah BPJS Kesehatan

Kolom

Mengubah Wajah BPJS Kesehatan

Moh Vicky Indra Pradicta - detikNews
Kamis, 23 Des 2021 12:17 WIB
Cara membikin kartu BPJS Kesehatan untuk artikel DTutorial, Sabtu (10/3/2018).
Foto: Bagus Prihantoro Nugroho/detikcom
Jakarta -

Sudah hampir sebulan ini saya bolak-balik ke rumah sakit. Bukan istri atau orangtua yang sakit, tetapi dua keponakan saya bergantian yang jatuh sakit dan wajib menginap beberapa hari di sana.

Seperti lazimnya di rumah sakit, pasti banyak orang yang menjenguk. Mulai dari tetangga, kerabat hingga teman kerja turut berkunjung. Uniknya terkadang yang ditanyakan bukan soal bagaimana keadaan yang sakit, tetapi perawatannya termasuk ke dalam pasien mandiri atau BPJS Kesehatan.

Tentu respons yang diterima dari kedua pertanyaan di atas akan berbeda. Jika jawabannya adalah biaya mandiri, maka respons yang diterima biasanya dalam bentuk apresiasi. Sebaliknya kalau masuk ke dalam daftar pasien BPJS Kesehatan, maka bayangan cibiran dan nyinyiran pasti diterima.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya yakin pemandangan seperti ini sangat lazim kita jumpai di masyarakat. Persepsi terhadap asuransi kesehatan nasional ini sudah terlanjur tidak mendapat tempat di masyarakat. Meskipun di satu sisi, nilai indeks kepuasan peserta BPJS mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil survei, kepuasan peserta dan fasilitas kesehatan BPJS pada 2020 naik dibandingkan dengan sebelumnya. Persentase kepuasan peserta mencapai 81.5% pada 2020 sementara periode sebelumnya hanya 80.1%. Selain itu indeks kepuasan terhadap fasilitas kesehatan naik 2.2% yakni 81.3% pada 2020.

ADVERTISEMENT

Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan image di masyarakat yang tidak masuk dalam peserta BPJS Kesehatan. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan banyak masyarakat berpikir demikian. Pertama, manfaat yang diterima merupakan 'kelas dua'.

Hal ini bisa kita jumpai dari proses antrean, obat yang diberikan, hingga layanan yang diterima berbeda dengan pasien jalur biaya mandiri. Tentu ini bisa kita perdebatkan karena seharusnya tidak demikian. Hanya saja percaya atau tidak, implementasi di lapangan faktanya memang seperti itu. Hal ini dimungkinkan karena belum ada standarisasi layanan dan manfaat yang diperoleh dari tiap-tiap kategori peserta.

Kedua, stigma orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS termasuk orang-orang yang tidak mampu. Anggapan ini disebabkan orang yang ter-cover oleh BPJS 'dibebastugaskan' dari seluruh pembiayaan selama di rumah sakit. Karena dianggap pemerintah yang membiayai biaya tersebut. Padahal faktanya tidak demikian. Sebagai peserta BPJS Kesehatan, kita tetap diwajibkan membayar iuran wajib sesuai kelas masing-masing setiap bulannya. Tidak peduli kita lagi dalam kondisi sakit atau tidak. Iuran bulanan tersebut wajib kita bayar.

Problematika di atas tentu harus dapat segera diatasi. Apalagi bulan ini kita merayakan Hari Cakupan Kesehatan Semesta Sedunia atau yang biasa dikenal dengan Universal Health Coverage (UHC) Day pada 12 Desember setiap tahunnya. Asuransi kesehatan misalnya BPJS Kesehatan merupakan representatif dari UHC ini. Tujuannya agar memastikan seluruh warga Indonesia mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak tanpa ada masalah terkait finansial.

Artinya, semua masyarakat mendapatkan akses kesehatan tanpa perlu ada kekhawatiran biaya kesehatan. Oleh karena itu Hari Cakupan Kesehatan Semesta Sedunia diharapkan dapat dijadikan momentum untuk perbaikan wajah dari BPJS Kesehatan. Ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah citra BPJS Kesehatan. Pertama dan yang paling penting, standarisasi terhadap fasilitas, tindakan medik, hingga layanan kesehatan yang diterima.

StandarisΓ si layanan ini sepintas mudah. Karena memang sudah juknis sebagai landasan utama. Cuma soal implementasi di lapangan tentu tidak seperti membalikkan telapak tangan alias susah. Contoh sederhana yang baru-baru ini saya alami sendiri yaitu perbedaan proses pengurusan administrasi saat akan keluar dari rumah sakit --cukup rumit dan lama. Akibatnya yang dijadwalkan pagi hari sudah bisa check out rumah sakit menjadi tertunda hingga siang hari. Sangat berbeda dengan kelompok biaya mandiri yang lebih ringkas dan cepat.

Belum lagi soal layanan antrean dan obat yang diterima bagi pasien BPJS. Ada perbedaan antar keduanya. Apalagi antar-faskes satu dengan lainnya tentu bisa sangat berbeda. Padahal aturan yang dianut juga sama. Inilah yang harus segera diatasi. Standarisasi yang dilakukan harus menyangkut seluruh aspek mulai dari layanan, obat, tindakan medik, hingga fasilitas di rumah sakit.

Kedua, sosialisasi mengenai BPJS Kesehatan beserta manfaatnya di masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar dapat mengurangi stigma negatif yang telanjur melekat di benak masyarakat. Selama ini BPJS dianggap sebagai bantuan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah secara cuma-cuma. Padahal faktanya tentu tidak demikian. Setiap bulan kita wajib membayar premi kesehatan sesuai dengan kelas masing-masing. Hal inilah yang sering kali masyarakat belum memahami. Oleh karena itu sosialisasi mengenai tujuan dan manfaat BPJS disini menjadi penting.

Ketiga, bekerja bersama-sama antarlintas sektor dan disiplin ilmu dalam hal peningkatan sistem kesehatan. Hal ini selaras dengan tema UHC tahun ini yakni leave no one's health behind by investing health system for all. Langkah ini diperlukan agar semua pihak bekerja sama untuk memastikan seluruh masyarakat dapat menerima akses kesehatan tanpa ada hambatan masalah finansial.

Moh Vicky Indra Pradicta bekerja di sektor food industry dan penggiat One Health

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads