Daging Budidaya dan Protein Berkelanjutan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Daging Budidaya dan Protein Berkelanjutan

Kamis, 23 Des 2021 11:29 WIB
Sania Herawati
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Konsumsi Makanan Protein Tinggi dapat Melunturkan Lemak
Makanan protein tinggi (Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto)
Jakarta -
UNICEF menyatakan bahwa pada tahun 2018, hampir 3 dari 10 anak yang berusia di bawah 5 tahun mengalami gangguan pertumbuhan dan 1 dari 10 anak mengalami kekurangan gizi. Artinya, gangguan pertumbuhan dan malnutrisi merupakan salah satu problematika di Indonesia. Hal tersebut mendorong perlu adanya ketahanan pangan yang dalam produksinya perlu memperhatikan keberlanjutan dari segi sumber daya, lingkungan, dan kesehatan.

Selain itu, percepatan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia mengakibatkan kenaikan permintaan protein dua kali lipat dari produksi protein saat ini, salah satunya daging. Daging selalu menjadi sumber protein sekaligus energi bagi mayoritas penduduk dunia yang dapat diandalkan.

Namun, jika untuk mencapai ketahanan pangan hanya mengandalkan daging yang menggunakan sistem produksi hewan konvensional, akan mengakibatkan beberapa dampak negatif, di antaranya menyumbang emisi gas rumah kaca antropogenik sebesar 14,5%, penggunaan dan kebutuhan air yang meningkat (dalam menghasilkan 1 kg daging sapi diperlukan air sebanyak 15.495 L dan 99% dari air tersebut digunakan untuk pertumbuhan biji-bijian dan serat, sedangkan air yang digunakan untuk hewan ternak seperti minum dan hal lainnya hanya diperlukan 1% air atau sekitar 155 L), dan memerlukan lahan yang luas yaitu 30% untuk dari total permukaan tanah, 33% lahan budidaya untuk pakan ternak dan 26% untuk padang rumput.

Selain berdampak pada lingkungan, produksi daging secara konvensional berdampak pada kesejahteraan hewan ternak; sekitar 56 miliar hewan disembelih untuk diambil dagingnya setiap tahun. Hal ini membuat hewan menderita karena hewan ternak akan dikurung di ruang sempit dan disembelih dalam kondisi yang kejam.

Maka dari itu, perlu adanya produksi protein alternatif dalam menyeimbangkan antara kebutuhan protein dengan pertumbuhan penduduk, yaitu daging budidaya yang didapatkan dari isolasi sel otot. Dengan teknologi daging budidaya, penggunaan air menjadi lebih efisien yaitu sekitar 82%-96% lebih sedikit air daripada peternakan tradisional. Selain itu, sistem produksi daging budidaya hanya menggunakan 1% dari lahan yang dibutuhkan untuk sistem produksi ternak tradisional.

Daging budidaya pun berkontribusi dalam mengurangi penderitaan hewan. Dengan demikian, daging budidaya dapat mendukung Sustainable Development Goals, yaitu poin 7, akses energi yang terjangkau dan berkelanjutan; poin 12, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; poin 13, membantu dalam penanganan perubahan iklim.

Daging budidaya merupakan suatu inovasi ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi dalam bidang makanan yang diproduksi di laboratorium dengan memanipulasi komposisi daging secara selektif. Daging budidaya dikenal juga dengan istilah daging sintesis atau daging in vitro. Daging budidaya memiliki karakteristik yang berbeda dengan daging konvesional yaitu daging budidaya diproduksi lebih cepat dan efisien. Teknik untuk menghasilkan daging budidaya adalah dengan mengkultur sel punca dari jaringan otot rangka. Saat ini terdapat 32 perusahaan daging budidaya yang telah tersedia di seluruh dunia, sebagian besar berlokasi di Amerika Utara sekitar 40%, sisanya diikuti oleh Asia 31% dan Eropa 25%.

Ide daging budidaya yang ada saat ini telah lama dikemukakan oleh Winston Churchill dalam esai berjudul Fifty Years Hence yang diterbitkan pada buku Thoughts and Adventures pada tahun 1932. Namun 2 tahun sebelum Winston mengemukakan pemikirannya, Frederick Edwin Smith telah lebih dulu mengemukakan pemikirannya. Selanjutnya, pada tahun 1950-an Willem Van Eelen secara independen mengemukakan gagasan bahwa kultur jaringan digunakan sebagai cara untuk membudidayakan daging. Kemudian, pada tahun 1999 gagasan Willem Van Eelen tersebut baru dipatenkan sebelum adanya konsep sel punca dan kultur sel secara in vitro.

Daging budidaya sapi yang pertama kali diproduksi untuk komersial dilakukan pada 2013 oleh Mark Post dari Universitas Maastricht, Belanda. Pada saat itu daging budidaya yang dikembangkan berasal dari sel otot rangka sapi primer. Selanjutnya, pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2018 dilakukan pengembangan aturan terkait keamanan produksi daging budidaya yang dilakukan oleh Food and Drug Administration (FDA) serta US Department of Agriculture (USDA). Kemudian pada 7 Maret 2019 aturan keamanan tersebut resmi diumumkan.

Pada umumnya daging yang berasal dari hewan industri seperti sapi, babi, unggas, dan ikan sebagian besar terdiri dari sel otot rangka, fibroblast, dan sel adiposa. Sel otot rangka merupakan sel yang memiliki banyak inti dan berbentuk seperti serabut-serabut halus memanjang dan mampu meregenerasi juga memulihkan kerusakan ringan pada jaringan otot. Kemampuan meregenerasi sel otot rangka dapat terjadi karena adanya sel satelit.

Kemampuan diferensiasi sel satelit tersebut dapat terjadi apabila sel satelit teraktivasi adanya kerusakan pada otot rangka. Akan tetapi, ketika sel satelit tidak mengalami kerusakan pada otot rangka, maka sel satelit akan tetap diam (quiescent). Prinsip yang digunakan dalam isolasi daging budidaya yang dilakukan secara in vitro dapat dilihat ketika terjadi cedera otot yang ditandai dengan aktifnya kembali sel punca.

Proses produksi daging budidaya pada dasarnya dilakukan dengan mengambil sel dari hewan dan menumbuhkannya di luar tubuh hewan. Produksi daging budidaya ini meliputi 4 tahapan utama yaitu pre-kultur, kultivasi, diferensiasi dan tahap pembentukan atau penyesuaian agar visualisasi daging budidaya menyerupai daging asli.

Proses pre-kultur meliputi pemilihan hewan dan bagian jaringan otot yang akan digunakan sebagai donor sel untuk memproduksi daging budidaya. Stem sel yang sudah dipanen selanjutnya diisolasi secara mekanik dan enzimatik. Jenis sel yang dipilih dapat berupa sel primer yang meliputi sel otot atau lemak, atau sel punca yang kemudian ditransfer ke media untuk dikloning.

Daging sintetis dapat disediakan melalui kultur stem cell yang dibekukan setelah proses pre-kultur. Daging sintetis juga dapat disediakan melalui kultur stem cell yang dibekukan setelah proses pre-kultur, yaitu dilakukan pengawetan sel untuk waktu yang lama dengan suhu yang sangat rendah menggunakan deep freezer dan nitrogen cair sehingga didapatkan sel induk otot yang terawetkan.

Setelah dilakukan tahap pre-kultur tahap selanjutnya adalah kultivasi. Pada proses kultivasi, stem cells dipindahkan ke dalam media biakan (scaffolds) yang bersifat biodegradable dan edible sehingga tumbuh dan melipatgandakan diri. Untuk meningkatkan skala kultur stem cells maka digunakan alat bioreaktor yang dapat mempertahankan kondisi optimal melalui pengaturan lingkungan seperti pH, suhu, gas dan metabolit atau konsentrasi nutrisi.

Tahap ketiga adalah proses diferensiasi yang meliputi pertumbuhan dari stem cells menjadi myoblasts, myotubes, dan myofibril. Diferensiasi otot yang diturunkan dari sel induk otot umumnya terjadi melalui penghilangan faktor pertumbuhan dan penambahan faktor stimulasi diferensiasi.

Tahap terakhir dari proses produksi daging budidaya adalah adalah tahap penyesuaian daging sehingga menyerupai daging hasil penyembelihan. Sel yang telah mengalami diferensiasi kemudian ditempatkan pada wadah vakum (cetakan). Kemudian sel akan tumbuh menjadi ribuan muscle fibers (serabut otot) sehingga daging sintetis terbentuk. Media pertumbuhan yang digunakan harus mengandung sejumlah protein, vitamin, gula dan asam amino yang dibutuhkan sel untuk tumbuh dan berkembang biak.

Jaringan otot yang telah dihasilkan selanjutnya diproses agar menyerupai rasa daging asli seperti dilakukannya penambahan zat-zat yang diinginkan. Seperti, menambahkan mioglobin dan hemoglobin yang dapat membuat warna daging mendekati warna sungguhan. Selanjutnya setelah semua tahap selesai maka daging sintesis siap di panen.

Daging budidaya dari isolasi sel otot ini memiliki banyak kelebihan diantaranya pada aspek lingkungan, kesejahteraan, ekonomi, kesehatan dan kualitas produk. Daging budidaya dapat mengurangi penggunaan air, tanah, dan pakan untuk hewan dibandingkan dengan produksi peternakan tradisional dan juga menghasilkan sedikit limbah makanan. Dengan teknologi daging budidaya hewan akan terbebas dari rasa sakit, takut, dan tertekan sehingga menghasilkan daging yang baik sehingga dapat menjadi pilihan yang menarik bagi vegetarian, vegan, dan komunitas kesejahteraan hewan.

Daging budidaya juga menunjukkan tingkat konversi yang lebih tinggi untuk diubah menjadi daging konsumsi dan unit produksi dapat didirikan di dekat kota sehingga dapat berkontribusi pada keuntungan finansial dengan mengurangi biaya transportasi dan daur ulang media. Secara kesehatan, daging budidaya dapat mengurangi risiko kontaminasi antibiotik. Selain itu, untuk membuat produk yang lebih bergizi, kolesterol dan lemak dapat dikontrol serta dapat ditambahkan vitamin dan mineral.

Selain memiliki kelebihan, daging budidaya juga memiliki kekurangan antara lain penerimaan sosial dan etika (pertimbangan kehalalan) karena kebiasaan konsumen yang tidak mudah menerima teknologi baru dan terdapat kontroversi mengenai daging yang dibudidayakan di beberapa komunitas agama. Serta berimbas terhadap pemotongan daging dan mempengaruhi perekonomian negara-negara yang terlibat dalam produksi daging konvensional dalam skala besar dan bergantung pada ekspor daging ke negara lain.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads