Jika Anda adalah petani, anak seorang petani, keluarga petani ataupun kadang-kadang yang turut menyambi sebagai petani, maka pastinya setuju bahwa saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk kembali berladang atau berkebun. Pertama, alasannya sederhana, bahwa di Indonesia umumnya pada bulan-bulan menjelang akhir tahun seperti saat ini kita sedang berada pada musim hujan.
Bagi seorang petani, musim hujan adalah waktu untuk mengalihkan fokus sepenuhnya di kebun, di ladang atau di sawah. Karenanya waktu seperti saat ini merupakan waktu yang paling baik untuk menyiapkan kebun, sawah atau ladang yang selanjutnya ditanami berbagai jenis tanaman sesuai kebutuhan para petani.
Kedua, waktu sekarang juga nantinya akan bertepatan dengan libur akhir tahun (Natal dan Tahun Baru). Sehingga seseorang yang mempunyai pekerjaan sampingan petani atau menyambi sebagai petani untuk sementara waktu akan beralih menjadi petani. Biasanya di pelosok desa, seorang yang juga sudah memiliki pekerjaan utama seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan menyambi juga sebagai petani. Sebab untuk menjadi seorang petani, kita tidak diwajibkan dengan ketentuan syarat-syarat administrasi.
Jika sudah memiliki lahan/tanah yang kosong, maka seseorang hanya butuh niat atau kemauan untuk dapat menjadi petani. Karenanya di pelosok desa, pada waktu menjelang akhir tahun seperti saat ini akan kita temukan banyak orang yang untuk sementara waktu akan beralih profesi menjadi petani.
Ketiga, pada masa musim hujan seperti saat ini, sudah banyak pengalaman yang mengajarkan bahwa kita akan lebih dekat dengan ancaman bencana dari pada keberkahan. Jika dipetakan, frekuensi bencana khususnya bencana hidrometeorologi akan sering terjadi. Banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, badai adalah beberapa contoh bencana yang sepertinya dijadwalkan oleh alam untuk lebih banyak terjadi pada waktu-waktu menjelang akhir tahun.
Karenanya untuk beberapa waktu ke depan, banyak pekerjaan (kecuali pekerjaan kantoran) seperti nelayan, pembangunan (tukang), dan beberapa pekerjaan lainnya menjadi tidak maksimal untuk dikerjakan. Sehingga beralih menjadi petani adalah salah satu pekerjaan yang paling baik dan paling tidak beresiko yang akan dipilih.
Mungkin ada teori dari para ahli terkait yang secara khusus membahas hubungan antara kondisi alam dan pola aktivitas petani. Tetapi seorang petani yang pada dasarnya memang tidak pernah belajar teori pertanian nyatanya mampu mengaplikasikan ilmu sederhana ini sejak dahulu. Ini karena naluri alamiah yang ada dalam diri para petani.
Naluri alamiah petani tidak memerlukan rujukan teori pertanian atau teori sejenis lainnya untuk mereka gunakan. Naluri mereka murni lahir karena mampu membaca kondisi dan perubahan yang terjadi pada alam. Sehingga dengan kemampuan tersebut mereka secara sadar menggeser atau mengubah pola aktivitas dan menyesuaikannya dengan perubahan alam.
Tanpa diajarkan atau harus menunggu lagi imbauan dari pemerintah, para petani seolah-olah sudah paham betul bahwa pada bulan menjelang akhir tahun atau beberapa bulan setelahnya merupakan waktu terbaik untuk kembali berkebun atau berladang. Naluri mereka seolah-olah sudah terpola pada satu keputusan bahwa pekerjaan lain seperti menjadi nelayan atau menjadi tukang dan lainnya tidak lagi optimal untuk dikerjakan.
Pada akhir tahun, para petani kelihatan sudah terjadwal dan terpanggil untuk lebih mendekatkan diri dan kembali mengurus alam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Birokrasi Kita
Berbeda dengan naluri alamiah para petani, di birokrasi pemerintahan kita narasi seperti naluri alamiah petani di atas justru bekerja sebaliknya. Menjelang akhir tahun, berbagai macam proyek pembangunan malah semakin banyak kita temui di sekitar kita. Semarak proyek pembangunan seperti pembangunan atau perbaikan jalan raya, gorong-gorong, jembatan, dan jenis proyek pekerjaan pembangunan dari pemerintah lainnya selalu saja dimulai bahkan pekerjaannya dikebut menjelang akhir tahun seperti saat ini.
Melaksanakan proyek pembangunan di tengah perubahan alam tentunya akan berdampak pada hasil yang tidak begitu optimal. Sudah pasti hasilnya akan sangat bergantung juga pada kondisi alam. Karenanya melaksanakan proyek pembangunan di tengah perubahan alam seperti saat ini ibaratnya kita sedang melakukan perhitungan dengan alam. Jika salah perhitungan, maka akan bernasib buntung.
Jika sudah demikian, maka masyarakat sebagai pemilik anggaran sekaligus pengguna fasilitas adalah kelompok pertama dan utama yang pastinya akan merasakan langsung dampaknya. Harapan kita tentu jangan sampai terjadi demikian. Tetapi salah satu sifat alam itu dinamis. Sehingga harapan bisa saja tidak demikian.
Salah satu contoh kasus yang mungkin dapat dijadikan pelajaran terkait proyek sumur resapan di DKI Jakarta. Proyek pembangunan ini pada akhirnya menuai polemik dan perdebatan hebat di masyarakat pada akhir tahun ini karena terkesan asal dikerjakan.
Menjamurnya proyek pembangunan pemerintah menjelang akhir tahun merupakan buah dari rendah dan lambannya serapan anggaran pada sebagian birokrasi pemerintahan kita. Rendahnya penyerapan anggaran sudah menjadi penyakit kronis tahunan dalam hal pengelolaan anggaran. Untuk tahun ini saja, ketika tenggat waktu tinggal sebulan lagi dari penutupan tahun anggaran, realisasi belanja baru mencapai 59,62 %.
Secara teori, ketika penyerapan anggaran berjalan lamban, akan berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja, melambatnya penurunan tingkat kemiskinan, penurunan konsumsi rumah tangga hingga pengaruhnya pada stimulus ekonomi. Dengan demikian tidak mengherankan, menjelang akhir tahun ini banyak proyek pembangunan sedang giat-giat dilakukan dan dikebut penyelesaiannya. Urusan kualitas nomor dua.
Hal pertama yang menjadi pertimbangan agar kinerja serapan anggaran dapat terlihat baik dalam pelaporannya nanti. Tentu naluri pembangunan seperti ini harus segera dibereskan atau minimal diubah pada waktu-waktu mendatang. Kita harus bisa belajar dari para petani. Alangkah bagusnya segala aktivitas pembangunan menyesuaikan atau turut mempertimbangkan kondisi atau perubahan alam. Bukan sebaliknya, melakukan perhitungan atau kompromi dengan alam.
Sekali lagi perlu diketahui bersama bahwa alam itu sifatnya dinamis, selalu berubah-ubah. Karenanya lebih pantas jika naluri birokrasi pemerintahan utamanya dalam urusan proyek pembangunan disesuaikan dengan perubahan alam. Jangan hanya karena berlindung di balik data rendahnya serapan anggaran, pembangunan fasilitas publik terkesan asal-asalan dikerjakan dengan mengabaikan kualitas pembangunan.
Seorang petani di desa saja sangat paham bahwa waktu akhir tahun seperti saat ini adalah waktu terbaik untuk kembali mengurus alam, bukan melakukan perhitungan dengan alam. Karenanya sangat keliru kalau di waktu seperti saat ini kita malah berhitung dengan alam; terus begitu gencar melaksanakan proyek pembangunan. Sudah saatnya naluri alamiah petani perlu kita resapi dalam setiap rencana pembangunan pada sistem birokrasi pemerintahan kita.
Jefrianus Kolimo guru di SMPN Satu Atap Eirobo, Sabu Raijua, NTT
(mmu/mmu)