Di pengujung akhir tahun ini sering kita dengar berita mengenai bencana alam yang disebabkan oleh hujan seperti banjir, tanah longsor, maupun puting beliung. Per 25 November, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat Indonesia telah mengalami 2.552 bencana alam dengan 584 korban jiwa selama tahun 2021. Jumlah ini dominasi oleh banjir sebanyak 1.062 kejadian, disusul dengan tanah longsor dan puting beliung. Hal ini memperlihatkan bahwa bencana hidrometeorologi atau bencana yang didasarkan pada parameter meteorologi merupakan sesuatu yang sering terjadi di Indonesia.
Meskipun sering disebut sebagai minor disaster karena sifatnya yang berdampak lokal, namun seiring berjalannya waktu bencana hidrometeorologi semakin membahayakan.Keadaan alam tidak bisa murni disalahkan karena aktivitas manusialah yang justru menyebabkan bencana semakin parah. Untuk meminimalisasi terjadinya bencana alam, terutama bencana hidrometeorologi, pemerintah perlu merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang berasaskan kepedulian lingkungan. Bukan justru memunculkan kebijakan yang memudahkan perusakan lingkungan demi kepentingan ekonomi.
UU Ciptaker dan UU Minerba
Kamis, (25/11) Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Putusan No 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai inkonstitusional bersyarat yang mana UU tersebut dinilai cacat secara formil. Keputusan ini merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi di Indonesia karena MK akhirnya menerima uji formil, namun kesan yang tersampaikan justru hanya bersifat formalitas. Kebijakan yang dikritik oleh banyak ahli dan aktivis pada akhirnya masih dapat dijalankan selama dua tahun meskipun dengan syarat pembuat kebijakan harus melakukan revisi terhadap UU tersebut.
UU Ciptaker merupakan salah satu kebijakan yang tidak menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam melakukan upaya perlindungan lingkungan hidup. Terdapat beberapa pasal dalam UU tersebut yang memudahkan perizinan perusahaan untuk membuka lahan. Berdasarkan jurnal yang disusun oleh Siregar (2020), terdapat dua poin yang menjadi perhatian, yakni: 1) UU Ciptaker mengubah konsep kegiatan usaha dari berbasis izin menjadi penerapan standar dan berbasis risiko; dan 2) Pemberian Izin lingkungan menjadi tugas dari pemerintah pusat.
Mekanisme keberatan atas AMDAL yang sebelumnya tercantum dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) pun tidak tertulis dalam UU Ciptaker (LEIP, 2021). Berdasarkan temuan dan analisis dari kedua sumber tersebut terlihat bahwa UU Ciptaker menyebabkan pengaturan mekanisme terkait AMDAL menjadi tidak jelas dan fokus diarahkan kepada izin perusahaan daripada pelestarian alam.
Selain UU Ciptaker yang merugikan lingkungan, ada pula UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang disahkan padal 10 Juni 2020. Meskipun sudah diubah, UU tersebut tidak mengatur berbagai persoalan yang mengelilingi isu pertambangan selama ini. Alih-alih mengatasi justru memperparah keadaan.
Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan beberapa masalah dari UU Minerba. Pertama, merugikan masyarakat lokal yang menentang pembangunan karena memiliki resiko dipenjara. Kedua, perusahaan tambang dapat memilih untuk Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan pascatambang yang justru dalam peraturan sebelumnya perusahaan wajib melakukan keduanya. Analisis ini menunjukkan tindakan pemerintah yang memanjakan pengusaha tambang atas nama upaya peningkatan 'perekonomian nasional'.
Deforestasi
Kedua kebijakan di atas menguatkan keraguan banyak masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup. Bukannya belajar dari pengalaman bagaimana deforestasi mengakibatkan bencana, justru yang dilakukan ialah mempermudah praktik tersebut. Apabila kedua aturan ini benar-benar dilaksanakan, maka potensi bencana alam hidrometeorologi pun semakin besar. Kebijakan yang seharusnya dibuat demi kepentingan publik menjadi penyebab bencana alam yang merugikan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa aktivitas eksplotatif yang dilakukan perusahaan tambang dan perkebunan sawit menjadi salah satu alasan kenapa bencana alam seperti banjir semakin menjadi-jadi di Indonesia. Aktivitas eksploitatif yang dimaksud seperti deforestasi, pembukaan lahan besar-besaran, dan alih fungsi lahan di sekitar bantaran sungai. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), puncak dari tingginya angka deforestasi Indonesia terjadi pada tahun 1985 hingga 1998 dengan ata-rata 1,6-1,8 ha tiap tahunnya.
Setelah tahun 1998, memang terjadi penurunan namun masih cenderung fluktuatif. Angka tersebut memperlihatkan deforestasi besar-besaran terjadi di Indonesia. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab banjir bandang di Kalimantan tahun ini, yang notabene merupakan kejadian once in a blue moon.
Curah hujan tinggi selalu menjadi alasan pemerintah mengapa banjir bisa terjadi di suatu daerah. Memang itu menjadi salah satu faktor, namun ketidakmampuan hutan dan tanah untuk menampung air yang disebabkan oleh aktivitas manusia juga menjadi alasan kuat. Banjir yang terjadi saat ini dapat terjadi karena kegiatan deforestasi besar-besaran yang terjadi pada tahun sebelumnya atau bahkan dekade lalu. Dengan mempermudah perizinan lingkungan kepada perusahaan, maka potensi pertambahan rentetan kerusakan akibat bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di masa depan pun semakin besar.
Lebih Serius
Tidak bisa tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan hanya dilimpahkan kepada masyarakat dengan menanam pohon atau tidak membuang sampah sembarangan. Kedua hal tersebut memang penting, namun ada penyebab lebih besar di dalamnya. Apabila pemerintah memang ingin bersungguh-sungguh dalam melindungi alam, maka yang dilakukan adalah membuat kebijakan dengan memasukkan unsur-unsur pelestarian lingkungan hidup serta tidak mempermudah perizinan lingkungan bagi perusahaan.
Kebijakan dapat menjadi cara paling ampuh karena dapat merangkul berbagai kelompok masyarakat untuk mencapai satu tujuan yakni melindungi lingkungan hidup. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai pemegang Presidensi G-20, pemerintah harus lebih serius dalam menjaga kelestarian alam, terutama melalui kebijakan publik. Hal ini dikarenakan kebijakan merupakan keputusan legal yang diambil oleh pemerintah sebagai dasar kuat untuk mengelola suatu negara, sehingga pelaksaannya dapat tersistem dengan jelas. Ekonomi yang diterapkan bukan lagi soal bangun, bangun, dan bangun, namun memperhatikan keberlanjutannya bagi bumi yang berdampak bagi generasi di masa depan.
Azizah Khusnul Karima pengamat kebijakan publik