Ada Saat Beramal, Ada Saat Dibayar

Jeda

Ada Saat Beramal, Ada Saat Dibayar

Impian Nopitasari - detikNews
Minggu, 19 Des 2021 10:30 WIB
impian nopitasari
Impian Nopitasari (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Seorang teman mengirimi saya pesan. Dia meminta pendapat apakah harus menerima atau menolak tawaran seseorang yang membutuhkan jasa ghostwriter. Teman saya meminta pendapat karena saya kenal dengan orang yang dia maksud. Tidak perlu mikir panjang saya langsung meminta teman saya untuk menolaknya. Saya telanjur suuzan dengan track record-nya selama ini. Mohon maaf, tulisan ini penuh dengan ke-julid-an. Haha.

Jadi, orang yang dimaksud teman saya tadi pernah bermaksud memesan tulisan berbentuk puisi 30 judul dan 10 cerpen berbentuk buku dengan harga Rp 500.000 untuk keperluan kenaikan pangkat. Teman-teman guru PNS dan beberapa teman ghostwriter pasti paham hal ini ya. Memang ada beberapa guru yang memesan tulisan dalam bentuk buku sebagai poin kenaikan pangkat.

Ya, saya tidak akan berpanjang-panjang ngomong kenapa mereka tidak menulis sendiri, tapi malah memesan tulisan. Tidak semua orang punya waktu dan kapasitas untuk membuat karya berupa buku. Saya tidak mau menjelek-jelekkan orang yang memakai jasa ghostwriter, asal dia memberi apresiasi yang layak kepada penulisnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya terserah kalau mau pakai ghostwriter, yang saya garis bawahi adalah kenapa beberapa dari mereka ini sering memesan tulisan dengan harga yang tidak manusiawi. Saya pernah bertengkar dengan orang tadi karena 30 puisi mau dihargai dengan Rp 300.000. Lah saya saja disuruh nulis satu saja belum tentu jadi karena bagi saya puisi lebih sulit daripada prosa. Niat saya tadi kalau harganya cocok mau saya oper ke teman yang lebih bisa dan butuh orderan.

Tapi dengan harga yang ngece sekali ya saya pilih berantem. Apalagi menurut pengalaman teman saya biasanya yang model seperti ini inginnya murah tapi banyak maunya. Tidak mau tulisan yang ala kadarnya, sampul dari canva gratisan dan jilid fotokopi. Lha saya bikin buku anak modal uang Rp 3.000.000 hanya untuk membayar ilustrator saja, je.

ADVERTISEMENT

Dia juga pernah memesan desain gambar kepada teman saya tapi malah maido karena minta cepat, tapi tidak mau bayar mahal. Bayar mahal pun kalau waktunya tidak manusiawi, ya tidak benar juga. Omongannya sungguh membuat nyelekit di hati, "Cuma kayak gini anak TK menggambar sejam juga bisa. Tukang kartun nggak jelas," katanya. Lah kalau sudah tahu begitu kenapa tidak menyuruh anaknya sendiri yang masih TK?

Orang seperti itu seringkali hanya memandang hasil sejam gambarnya seseorang. Mereka tidak paham kalau untuk menghasilkan gambar dalam waktu sejam itu ilmu yang dipelajari didapat selama bertahun-tahun. Sama halnya ketika dia meminta untuk mengeditkan video dengan durasi satu menit dengan hasil yang bagus. Dia hanya mau menghargai satu menit hasilnya. Tidak mau tahu kalau video semenit itu mengeditnya enam jam. Dan enam jam itu bukan sekadar enam jam. Banyak ide dan gagasan yang dihasilkan oleh seseorang selama proses pengeditan. Bahkan ilmu mengedit itu bisa saja didapatkannya selama bertahun-tahun.

Sama seperti kasus ketika dia tidak mau membayar pemateri acara menulis untuk acara yang memang pantas untuk membayar pembicara, bukan acara berbagi gratis yang memang disepakati pembicara dan penyelenggara. Untuk bisa berbicara atau memberi materi itu ilmu yang didapatkan juga tidak dalam waktu singkat. Tidak ujug-ujug simsalabim ngopyok untu saja.

Kenapa ya kok tidak bisa seseorang itu menghargai ilmu? Menghargai orang lain? Mau hiburan saja kita rela mengeluarkan uang kok, untuk ilmu pelit sekali. Saya selalu bilang kepada teman saya kalau diminta menjadi pembicara tapi TOR-nya tidak jelas oleh orang yang tidak kenal, mending skip saja. Tidak apa-apa dibilang sombong, kita berhak kok menghargai diri kita sendiri.

Saya tidak sengaja membaca curhatan orang di Twitter kalau dia baru saja mengantar temannya mengikuti satu sesi konseling dengan seorang psikolog. Kesan yang dia dapatkan adalah bahwa psikolog ini mata duitan sekali. Waktu yang hanya untuk "dengerin curhat doang" kenapa bisa semahal itu. Iseng saya mencari daftar tarif psikolog tersebut, ternyata biaya yang dipatok ya rata-rata biaya mengikuti satu sesi konseling pada umumnya.

Sebenarnya kalau dia ingin murah atau gratis bisa kok memakai fasilitas BPJS di Puskesmas. Mendengarkan orang lain itu butuh energi lebih lho. Dan tidak semua orang punya kemampuan seperti itu.

Yang ingin saya komentari sebenarnya poinnya sama. Orang hanya melihat waktu pengerjaan seseorang dan hasilnya tanpa mau tahu sejauh mana proses mereka untuk menguasai hal tersebut. Untuk bisa menghasilkan buku dengan tulisan yang baik, banyak proses yang dilalui seseorang. Dari membaca buku apa saja, latihan menulis terus menerus, menimba ilmu dari kelas menulis ayang tidak gratisan, dan sebagainya.

Untuk bisa menggambar dan mengedit video yang bagus ya perlu belajar dengan waktu yang tidak sebentar. Untuk menjadi psikolog ya harus menempuh pendidikan yang memakan waktu dan biaya yang tidak murah untuk hal yang kata orang "cuma dengerin curhat doang". Jadi ya wajar ketika mereka dibayar. Bukan membayar semenit, sejam dua jam yang katanya sebentar itu, tapi membayar ilmu yang sudah dicurahkan seseorang dengan keahlian khusus tersebut.

Saya jadi ingat tulisannya Mbak Dokter Puspa di detikcom tentang romantisasi dokter probono. Dokter yang menggratiskan biaya berobat untuk seseorang yang kurang mampu memang bagus, tapi jangan terus kebaikan dokter diukur dari situ. Dokter yang meminta bayaran dengan wajar ya bukan dokter yang buruk dong. Mereka juga orang yang berhak dibayar atas ilmunya.

Saya sering membagikan buku-buku saya dan buku-buku lain secara gratisan, tapi penulis yang tidak melakukan itu ya tidak apa-apa. Saya juga tidak tiap hari membagi gratisan. Teman-teman saya sendiri malah banyak yang membeli. Penulis wajar dibayar atas jerih payahnya. Saya juga suka kok kalau buku saya laris. Ada saatnya beramal, ada saatnya dibayar.

Mendungan, 19 Desember 2021

Impian Nopitasari penulis

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads