Rasanya, sulit sekali mengendalikan pikiran, ia seperti berjalan sendiri dan tidak menuruti perintahku yang menyuruhnya berhenti memikirkan ini dan itu. Aku seperti tidak punya tombol on dan off yang bisa membuatku tidur lebih cepat, tanpa harus membayangkan berbagai hal yang bisa diperbaiki di masa lalu, atau bagaimana aku akan menjalani masa depan dengan beragam potensi risiko yang menakutkan.
Inilah overthinking, yang sedikit demi sedikit menggerogoti kualitas hidup seseorang. Mempengaruhi ritme aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, hingga berdampak pada berbagai isu kesehatan mental lain. Bermula ketika individu tidak mampu mengontrol pikiran yang bertumbuh, bercabang, berkelindan, hingga melumpuhkan kendali. Kemudian menjadi sesuatu yang menghambat perkembangan sebagai manusia.
Prevalensi overthinking cukup tinggi pada usia dewasa. Jika merujuk pada studi yang dilakukan Nolen-Hoeksema, seorang psikolog dan juga penulis buku berjudul Women Who Think Too Much: How to Break Free of Overthinking and Reclaim Your Life menyebutkan bahwa overthinking seperti sebuah epidemi yang menjangkiti banyak warga Amerika. Sejumlah 52 persen dari responden paruh baya berusia 45 hingga 55 tahun, 73 persen dari usia dewasa awal yaitu 25 hingga 35 tahun terjebak pada pikiran berlebihan atau overthinking. Sedangkan jika merujuk pada gender, sejumlah 57 persen perempuan dan 43 persen laki-laki mengalami problematika yang sama.
Pertanda Overthinking
Data di atas bisa jadi hanya puncak gunung es di tengah laut yang menyisakan lebih banyak lagi potensi risiko. Sebab, ada banyak kejadian serupa dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang siswa melakukan presentasi di kelas dan terus terbayang tatapan teman-temannya, karena merasa penampilannya memalukan. Seorang fresh graduate ingin melanjutkan pendidikan, tetapi mengurungkan niat karena komentar orang. Bahkan, seorang pegawai yang akan naik jabatan di hari esok, tidak bisa tidur karena cemas membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dan merusak selebrasi.
Pada dasarnya, berpikir tentang suatu masalah, juga tentang masa depan, adalah hal yang lumrah. Bahkan, manusia harus memikirkan poin-poin penting dalam mengambil keputusan ketika melakukan problem solving. Berpikir yang sehat artinya mencari berbagai alternatif untuk keluar dari lubang permasalahan. Merancang masa depan melalui langkah-langkah strategis dan logis. Termasuk melakukan refleksi tentang masa lalu, berkaca dari kegagalan sebagai introspeksi.
Tetapi, ketika pikiran tersebut bertransformasi menjadi sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, analisis yang ganjil, imajinasi yang liar, menyalahkan diri sendiri, mempersepsi berlebihan komentar orang lain, cemas akan masa depan, dan berandai-andai tentang mengubah masa lalu. Inilah gejala yang mengonfirmasi bahwa seseorang mengalami overthinking.
Satu hal yang paling menonjol juga terlihat pada kebimbangan ketika menentukan keputusan. Menganalisis berbagai alternatif memang penting, namun seseorang yang terus-menerus melakukan pertimbangan akan stagnan. Di sinilah terjadi kelumpuhan analisis atau analysis paralysis. Kondisi yang bisa digambarkan seperti jalan melingkar yang terus membawa seseorang jauh dari pikiran yang logis dan aplikatif.
Kekuatan Pikiran
Pada momen seperti ini, sebenarnya pikiran sedang melakukan kebohongan. Jika pikiran mampu mengunci gerak seseorang, dan menghambat produktivitas. Maka pikiran sedang mencoba mengambil arah berbelok, menuju hal-hal lain yang seringkali tidak esensial. Faktanya, seseorang hanya bisa percaya pada realita. Bahkan, dalam simtom yang lebih parah, pikiran bisa menjadi sebuah delusi atau waham. Gejala ini dialami oleh mereka yang mengidap skizofrenia.
Wajar, jika akhirnya overthinking begitu erat kaitannya dengan cemas, stress, bahkan depresi. Terutama dengan adanya kecenderungan ruminations atau perenungan mendalam pada orang yang mengalami overthinking --selanjutnya bermuara pada bayangan suram depresi. Ini disebutkan dalam penelitian Scaini dkk (2020) dalam Journal of Affective Disorder bahwa onset depresi menjadi lebih panjang ketika seseorang memiliki tendesi perenungan maladaptif, atau umumnya perenungan negatif yang terus-menerus berulang (negative repetitive thinking).
Akses Pintu Darurat
Langkah paling paling tepat untuk menangani overthinking adalah bertemu dan berdiskusi dengan ahli. Tapi, paling tidak, ada satu cara unik yang ditulis oleh Amy Morin, seorang psikoterapis dan penulis buku-buku kesehatan mental, yaitu memberikan waktu untuk perasaan cemas. Alih-alih merenung dan terpenjara, menyediakan waktu khusus untuk segala macam jenis pikiran di satu waktu, bisa menjadi langkah efektif.
Misalnya, alokasikan waktu tiga puluh menit dalam sehari. Ketika beragam pikiran hadir dan merebut fokus di luar jam tersebut, katakan pada diri sendiri bahwa kamu akan memberikan pikiran tersebut waktu setelah pekerjaanmu selesai, setelah kamu bangun dari tidur, atau setelah bermeditasi. Kapan pun itu, pikiranmu harus beradaptasi untuk berkumpul di momen yang sama sesuai instruksi.
Sugesti ini harus diikuti dengan awareness atau kesadaran yang tinggi. Jika seseorang bisa mengenali pikiran yang berlebihan dan mengobservasi ke arah mana pikiran tersebut mengalir. Ia bisa melompat keluar ketika benang pikiran mulai berkelindan dan sulit diurai. Ada pintu darurat bernama distraksi yang bisa diakses kapan saja. Singkatnya, memberi stimulus baru pada pikiran agar penjara terbuka. Kemudian berusaha melihat dari luar kotak pikiran, apa yang sebenarnya sedang terjadi dan menguasai. Dengan begitu, pikiran berlebihan tidak bisa memenangkan perebutan kendali atas emosi, waktu, bahkan perilaku seseorang.
Namun, jika hal semacam ini masih terus-menerus terjadi, kenali dan carilah bantuan. Seseorang memang tidak harus selalu produktif, bahagia, atau penuh energi positif sepanjang waktu. Tetapi, membiarkan diri sendiri terkurung dalam penjara pikiran yang berlebihan adalah sebuah kekeliruan
Sriwiyanti mahasiswa Master of Educational Psychology UniSZA, Malaysia