Pada pertengahan tahun 2021, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengumumkan kabinet baru. Dari susunan kabinet yang diumumkan, aroma meritokrasi tercium. Bagaimana tidak, Trudeau menunjuk seorang aktivis lingkungan senior menjadi Menteri Lingkungan dan Perubahan Iklim dan seorang psikolog keluarga sebagai Menteri Kesehatan Masyarakat.
Situasi tidak jauh berbeda terjadi di Indonesia ketika mayoritas kursi kabinet diduduki oleh para profesional. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 53% ahli dilibatkan berbanding 47% yang berasal dari partai politik. Beberapa di antaranya bahkan sudah makan asam garam di bidangnya seperti Mahfud MD yang menjabat sebagai Menko Polhukam.
Kedua contoh di atas sebenarnya memperlihatkan semangat meritokrasi sudah muncul di dalam birokrasi pelayanan publik. Harapannya, pemilihan kabinet profesional juga akan melahirkan eselon-eselon yang juga mampu berkinerja seirama. Sehingga, optimisme akan birokrasi yang lebih efektif dan efisien pun membumbung di permukaan. Namun tak dinyana, optimisme tersebut justru digemparkan oleh rencana pemerintah untuk mengganti Eselon III dan IV dengan Artificial Intelligence (AI).
Rencana ini tentu menimbulkan pertanyaan mengingat Eselon III dan IV selama ini mengemban amanat sebagai eksekutor program. Kinerja posisi tersebut seringkali diukur melalui dua hal, yaitu apakah capaian target program tercapai dan bagaimana target itu dicapai. Ukuran-ukuran kinerja secara kuantitatif dan kualitatif ini menjadi rancu ketika eselon-eselon diganti dengan AI.
Masalah semakin menumpuk tatkala AI akan ditempatkan kepada pelayanan frontliner. Penempatan AI di garis terdepan pelayanan publik membuat interaksi pelayanan publik tidak lagi person to person melainkan person to machine. Interaksi demikian tentu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman mengingat AI bekerja berdasarkan perintah algoritma yang kaku. Sehingga, saat ada hal-hal yang tidak dapat terdeteksi oleh perintah tersebut, maka masyarakat bisa tidak terlayani.
Penempatan AI sebagai solusi permasalahan birokrasi pelayanan publik juga merupakan generalisasi. Rencana ini seolah-olah melihat persoalan terjadi hanya pada tataran implementasi. Padahal jika ditinjau lebih jauh, proses perencanaan kebijakan juga seringkali bermasalah. Re-focusing atau revisi anggaran yang kerap terjadi di tengah tahun adalah contoh nyata bagaimana persoalan birokrasi juga terjadi pada tataran perencanaan.
Berbagai permasalahan tersebut sebenarnya menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah di dalam penerapan AI di dalam birokrasi pelayanan publik. Apakah sebenarnya pemerintah ingin terus berkomitmen dengan membangun meritokrasi secara holistik, tidak hanya pada tataran kabinet namun juga birokrasinya ataukah pemerintah ingin menyelesaikan persoalan birokrasi pelayanan publik secara menyeluruh dengan penerapan AI di setiap sendi-sendi birokrasi pelayanan publik.
Ketidakjelasan pemerintah ini tentu menjadi pertanyaan besar.
Motivasi Pelayanan Publik
Pertanyaan tersebut mengembalikan memori kita kepada apa yang sebenarnya menjadi motivasi pemerintah di dalam menyelenggarakan birokrasi pelayanan publik. Disadari atau tidak, menerapkan AI agar birokrasi pelayanan publik menjadi semakin cepat adalah logika penyerdehanaan yang berbahaya. Logika ini mampu menancapkan anggapan publik bahwa pelayanan publik yang didorong oleh ASN pasti akan lama. Padahal, pemerintah berencana menerapkan AI secara parsial, tidak total. Artinya, pelayanan publik yang dijalankan oleh ASN nantinya tetap ada meskipun AI telah diterapkan.
Mindset seperti ini berbahaya sebab dalam konsep Public Service Motivation (PSM) disebutkan bahwa ada hubungan antara individu dengan keinginan untuk melayani publik dengan meleburkan tindakan pribadi mereka di dalam kepentingan publik. Konsep ini memperlihatkan bahwa penempatan manusia di dalam pelayanan publik merupakan bagian dari perubahan sosial. Sehingga dalam pandangan ini, birokrasi tidak hanya ditempatkan sebagai mesin pelayanan publik karena ada aspek-aspek sosial di dalamnya.
Pemahaman seperti ini membuat narasi pergantian rasa-rasanya kurang tepat apalagi jika motivasi pemerintah adalah melakukan percepatan pelayanan publik sembari melakukan reformasi birokrasi. Ketimbang pergantian, wacana yang lebih tepat adalah transformasi yang menempatkan perubahan secara bertahap dan terencana. Narasi ini tepat sebab situasi yang dihadapi oleh pemerintah bukanlah situasi krisis yang perlu intervensi radikal dan revolusioner.
Tagline transformasi agaknya juga lebih masuk akal ketimbang revolusi mengingat sistem digitalisasi di Indonesia masih bersifat trial and error. Keraguan akan sistem digitalisasi dapat diperparah dengan ancaman masalah ketenagakerjaan sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Apabila tidak hati-hati, penerapan AI justru menimbulkan masalah beruntun yaitu kegagalan sistem AI di dalam birokrasi pelayanan publik dan transformasi SDM ASN yang telah kehilangan perannya.
Kondisi demikian membuat skema transformasi dapat menjadi pertanda bahwa pemerintah tidak memiliki motivasi untuk mengubah birokrasi pelayanan publik secara revolusioner dan radikal. Sebaliknya, rencana transformasi justru semakin menegaskan komitmen pemerintah untuk beradaptasi terhadap perubahan. Bayangan perubahan ini tentunya bukan didasarkan pada penerapan AI secara cuma-cuma, namun bagaimana caranya menciptakan birokrasi pelayanan publik yang jauh lebih efektif dan efisien melalui kolaborasi manusia dengan AI.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini