Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2021 di ICE BSD, Tangerang, Banten. Presiden Jokowi pada kesempatan itu menyampaikan tentang pentingnya ekosistem mobil listrik yang rendah emisi dan juga ramah lingkungan. Hal ini sebagai bentuk upaya pemerintah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Namun apakah benar agenda transportasi listrik ini selaras dengan komitmen lingkungan yang sebenarnya?
Transportasi Listrik dan Transformasi Energi
Transportasi listrik belakangan ini sempat menjadi salah satu topik perbincangan publik. Sebelum ramai diperbincangkan belakangan ini, pemerintah pernah menggulirkan wacana untuk melakukan transformasi sektor transportasi, yakni melalui Perpres No.55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Upaya sejenis juga pernah dilakukan sebelumnya, yaitu diversifikasi energi dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Walaupun hal tersebut tidak menghasilkan apapun. Kesamaan dari kedua hal tersebut ialah tujuannya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak serta mengurangi produksi emisi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Seringkali pemerintah menarasikan berbagai alasan komitmen lingkungan di balik beberapa kebijakannya, namun yang masih belum jelas yakni apakah memang benar pemerintah memiliki komitmen atas itu ataukah sebaliknya. Karena berkaca dari pengalaman sebelumnya berbagai jargon atas komitmen lingkungan tersebut tidaklah sepenuhnya berlaku pada praktiknya. Kemudian terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan publik atas wacana mobil listrik ini, salah satunya ialah keterkaitannya dengan sumber listrik untuk memenuhi pasokan konsumsi mobil listrik nantinya.
Hal lainnya ialah mengenai di mana posisi kepentingan industri ataupun pasar dalam pusaran wacana pengurangan emisi untuk mitigasi perubahan iklim ini. Seperti yang kita ketahui bahwa produksi listrik di Indonesia masih didominasi oleh batu bara, dan hal inilah yang penulis pandang memiliki nilai paradoksal di tengah bergulirnya program mobil listrik oleh pemerintah yang dimulai pada tahun lalu.
Berdasarkan data yang dikutip dari Kementerian ESDM, pasokan listrik masih berasal dari bahan bakar fosil yang sangat dominan. Hal ini berarti kontribusi emisi pada perubahan iklim masih didominasi oleh emisi bahan bakar fosil, khususnya batu bara. Di sisi yang lain pemerintah berencana mempercepat transformasi di sektor transportasi menjadi berbasiskan listrik.
Namun yang menjadi titik paradoksalnya ialah listrik yang digunakan untuk transportasi listrik nantinya masih bersumber pada jenis pembangkit yang berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Artinya komitmen pemerintah untuk menghadirkan solusi lingkungan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui transportasi listrik, tidak sinkron dengan komitmen pemerintah dalam transformasi energi fosil menuju energi baru terbarukan. Pemerintah justru menambah PLTU baru di beberapa wilayah dan hal ini kontraproduktif dengan wacana transformasi energi ataupun program transportasi listrik yang diusung pemerintah.
Namun yang menjadi titik paradoksalnya ialah listrik yang digunakan untuk transportasi listrik nantinya masih bersumber pada jenis pembangkit yang berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Artinya komitmen pemerintah untuk menghadirkan solusi lingkungan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui transportasi listrik, tidak sinkron dengan komitmen pemerintah dalam transformasi energi fosil menuju energi baru terbarukan. Pemerintah justru menambah PLTU baru di beberapa wilayah dan hal ini kontraproduktif dengan wacana transformasi energi ataupun program transportasi listrik yang diusung pemerintah.
Menurut Jack Barkenbus, program electric vechiles harus berjalan beriringan sekaligus juga ditopang oleh sumber energi yang bersih juga (Barkenbus, 2017). Mengingat analisisnya terhadap implementasi di beberapa negara membuktikan bahwa transportasi listrik tanpa ditopang oleh energi yang bersih justru bagaikan menyapu rumah dengan sapu yang kotor, artinya produksi emisi tetaplah besar dan bahkan dalam beberapa kasus lebih besar daripada sebelumnya.
Kemudian beberapa waktu yang lalu pemerintah resmi mengeluarkan limbah abu terbang atau abu batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Berdasar pada argumentasi yang diberikan Barkenbus sebelumnya serta dikeluarkannya kebijakan tersebut memperkuat dugaan saya bahwa terdapat ketidakseriusan pemerintah dalam menangani perubahan iklim, khususnya terkait pengurangan emisi gas rumah kaca melalui program transportasi listrik.
Narasi Hampa Komitmen Lingkungan
Agenda transformasi dari mobil konvensional ke mobil listrik sebenarnya merupakan agenda yang layak untuk didukung. Namun agenda tersebut terkesan menampilkan kekeliruan dalam cara berpikir pemerintah dalam melaksanakannya. Agenda mobil listrik cenderung dipandang sebagai hal yang terpisah dengan agenda transformasi energi di sisi yang lain. Seperti asumsi saya di awal bahwa kedua agenda tersebut justru pada praktiknya tidak sinkron satu sama lain.
Hal mendasar yang semestinya menjadi pertanyaan adalah dari mana sumber energi untuk mobil listrik ini didapatkan? Dan, sejauh mana dampak kehadiran mobil listrik tersebut bagi keberlanjutan lingkungan? Berdasar dua pertanyaan tersebut kita dapat melihat seberapa besar dan seriusnya pemerintah dalam agenda keberlanjutan lingkungan.
Komitmen lingkungan yang diargumentasikan pemerintah ini menjadi terasa hampa dikarenakan beberapa hal yang semestinya saling terkait dan memiliki semangat yang sama, justru secara praktikal tidak sinkron satu sama lain. Pertama, sumber listrik yang masih didominasi oleh jenis pembangkit listrik yang berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Berdasarkan data yang dikutip dari Kementerian ESDM, lebih dari 60% sumber listrik berasal dari energi fossil dan 47 % didominasi oleh PLTU yang berbahan bakar batu bara.
Kedua, penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu publik sempat diramaikan dengan berbagai gugatan atas pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 beserta sengkarut masalah sosial dan kesehatan yang menyertainya. Selain itu, hal yang justru agak mengagetkan ialah masih adanya rencana pembangunan PLTU dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Hal ini semakin mempertegas bahwa Indonesia cukup tertinggal dalam komitmen transisi energi untuk meninggalkan penggunaan batu bara untuk listrik, dibandingkan negara-negara lain yang memiliki tren transisi energi yang lebih berkelanjutan.
Ketiga, mengeluarkan limbah abu terbang atau abu batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Kebijakan tersebut dinilai banyak pihak akan menguntungkan pihak pengusaha dan akan merugikan masyarakat, terutama masyarakat di sekitar PLTU. Dan hal ini merupakan salah satu gambaran bahwa pemerintah sebenarnya tidak memiliki keseriusan dalam agenda keberlanjutan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat menilai sendiri seberapa besar dan serius pemerintah dalam komitmen lingkungan. Berbagai hal di atas bagi saya merupakan sesuatu yang saling terkait satu sama lain ketika kita membahas tentang keberlanjutan lingkungan. Agenda transportasi listrik bukan merupakan sebuah ide yang buruk, namun menjalankan agenda tersebut tanpa menanyakan dari mana sumber listriknya didapatkan hanya merupakan usaha yang agak sia-sia.
Seperti yang dikatakan oleh Jack Barkenbus sebelumnya, bahwa transportasi listrik tanpa ditopang oleh energi yang bersih justru bagaikan menyapu rumah dengan sapu yang kotor. Maka komitmen lingkungan yang baik ialah mensinkronisasi segala aspek dari hulu sampai ke hilir dengan paradigma keberlanjutan lingkungan yang saling terkait satu sama lain.
Dwiki Reynaldi mahasiswa Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini