Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) akan mengizinkan sekolah tatap muka penuh atau seratus persen mulai semester genap atau pada Januari 2022 mendatang. Hal itu untuk mencegah kehilangan capaian belajar siswa (learning loss) karena dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat mewabahnya pandemi Covid-19.
Hasil riset Kemendikbud terbaru yang mendapati terjadi kehilangan capaian belajar siswa akibat PJJ selama pandemi Covid-19 berkisar antara 0,8 sampai 1,2 tahun pembelajaran diduga menjadi motivasi. Bukan itu saja, dari sisi psikologis banyak anak-anak yang terdampak kesehatan jiwanya akibat pandemi begitu juga dengan orangtuanya.
Kondisi itu, diperkuat temuan hasil survei Unicef pada 18-29 Mei dan 5-8 Juni 2021 lalu melalui kanal U-Report yang terdiri dari SMS, WhatsApp, dan Messenger; dari lebih 4.000 responden siswa di 34 provinsi Indonesia sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah.
Lalu, 88 persen siswa juga bersedia mengenakan masker di sekolah dan 90 persen mengatakan pentingnya jaga jarak fisik jika mereka melanjutkan pembelajaran di kelas. Meski begitu, siswa telah menyadari dampak Covid-19 apabila mereka kembali ke sekolah, sehingga menurut sebagian mereka akan lebih baik untuk menunggu sampai jumlah kasus Covid-19 berkurang.
Terlepas dari pro dan kontra rencana Kemendikbud membuka sekolah seratus persen penulis sebagai guru menyambut positif. Harus diakui, bukan tanpa alasan apabila siswa merasa tak nyaman saat harus belajar dari rumah ketimbang di sekolah begitu pun dengan guru. Selain menambah beban kebutuhan kuota internet, jika PJJ berlanjut siswa juga akan kekurangan bimbingan dari guru.
Putus Sekolah
Selain guru yang terpukul atas kebijakan penutupan sekolah, siswa merupakan kelompok paling rentan akibat kondisi itu. Bukan tidak mungkin, karena penutupan sekolah berkepanjangan akan menambah jumlah siswa putus sekolah. Hal itu, lantaran banyaknya hambatan saat murid belajar dari rumah selain kuota internet perangkat elektronik yang dimiliki juga kurang mendukung.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2021 mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat sebanyak 1.243 dari 122.235 anak usia 7-18 tahun putus sekolah selama pandemi Covid-19. Penyebab mayoritas mereka putus sekolah karena tidak adanya biaya. Lebih tragisnya, proporsi putus sekolah anak laki-laki lebih besar atau sekira 55 persen dibandingkan anak perempuan. Kebanyakan mereka mau tidak mau harus membantu orangtuanya bekerja, merawat atau menjaga anggota keluarga. Sedangkan, anak perempuan putus sekolah karena pernikahan dini jumlahnya diperkirakan 10 kali lebih besar.
Lebih parahnya lagi, apabila PJJ terus diperpanjang berisiko menimbulkan masalah baru di kehidupan sosial para peserta didik. Karena kebanyakan, dari pengamatan penulis banyak murid atau siswa pergaulannya selama PJJ kurang diperhatikan orangtua jam waktu bermain tidak cuma dengan teman sebaya namun bersama orang dewasa porsinya lebih besar. Apabila hal itu tidak diimbangi perkembangan intelektual, dikhawatirkan kepribadiannya tidak berkembang baik.
Tidak kalah penting, rencana pemerintah membuka sekolah secara penuh harus lewat pertimbangan saksama agar angka penularan Covid-19 tidak kembali melonjak. Bagaimanapun, keselamatan dan kesehatan siswa, guru serta seluruh staf pengajar tetap harus menjadi prioritas. Bukan itu saja, kebijakan diperbolehkan pembelajaran penuh ini juga mesti dievaluasi secara berkala.
Modifikasi Kurikulum
Seiring rencana Kemendikbud membuka sekolah secara penuh, belajar dari pandemi Covid-19 sebaiknya pemerintah dalam menyiapkan pemulihan pembelajaran diiringi dengan modifikasi kurikulum. Mengapa hal ini penting? Jawabannya adalah karena zaman selalu berkembang. Dalam hal ini, pendidikan harus maju paling depan untuk mempersiapkan generasi muda agar tidak tergilas zaman.
Meski sayup-sayup sudah tersiar kabar Kemendikbud bakal membuat kurikulum baru yang mana rencananya bakal diterapkan bertahap mulai Tahun Ajaran 2021/2022 ini di 2.500 sekolah penggerak tetapi banyak kalangan menilai kurikulum itu tidak akan bertahan lama. Sehingga, alangkah lebih baik jika kurikulum yang ada sekarang dimodifikasi sesuai kebutuhan zaman bukan mengganti dengan yang baru.
Sebab, kurikulum yang diberi tajuk capaian belajar sekolah penggerak itu meski semangatnya bisa menjadi api pemantik untuk mempersiapkan generasi-generasi muda di masa depan. Namun, harapannya kurikulum baru nanti secara bertahap menambah jumlah sekolah penggerak. Pada titik ini, kalangan guru pendidik khawatir apabila nanti berganti menteri lantas kebijakan itu kembali dirubah justru akan mengganggu proses belajar siswa.
Maka solusi sederhana ialah menyederhanakan kurikulum yang ada saat ini misalnya penggabungan mata pelajaran yang relatif sama sehingga jumlah pelajaran yang diikuti siswa tidak terlalu banyak. Meski demikian, sekolah tetap diperbolehkan menambah mata pelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan tenaga pendidik.
Lalu, penerapan pendidikan literasi digital. Pengetahuan digital sejak dini menjadi penting karena sejalan dengan prakondisi utama menuju ketahanan demokrasi dan terwujudnya masyarakat yang tidak mudah termakan hoaks terlebih banyaknya jumlah pemilih muda dalam pemilu ataupun pilkada mendatang. Sebab selama ini, di tengah kebutuhan mendidik generasi baru pemilih itu, penerapan literasi digital dalam kurikulum pendidikan sejauh ini belum dilihat sebagai sebuah prioritas.
Selanjutnya, satu hal yang tidak bisa dihindari, anak-anak akan mewarisi bumi yang semakin rusak. Karena itu, anak-anak harus disiapkan menghadapi dan mampu beradaptasi dengan kondisi bumi, juga untuk merawat bumi. Ke depan, ancaman terbesar yang akan dihadapi anak-anak adalah krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Disini, diperlukan komitmen yang ambisius untuk mengurangi emisi global di dekade ini supaya target untuk membatasi temperatur bumi kurang dari 1,5 derajat Celsius tercapai satu diantaranya bisa diwujudkan lewat kurikulum yang berwawasan lingkungan.
Pasalnya, kurikulum ibarat lintasan dalam balapan. Seberapa hebatnya kendaraan yang turun balapan, tidak akan berarti apa-apa tanpa lintasan. Karena sangat menentukan arah lintasan pendidikan, maka kurikulum harus mempertimbangkan beragam aspek, baik sosial, budaya, hingga ekonomi masyarakat sebagai lokomotif pendidikan. Sehingga, menjadi tanggungjawab kita bersama mengawal, serta memperhatikan menyeluruh terhadap kualitas kurikulum.
Lilis Erfianti guru di MTSN Kabupaten Semarang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini