Saya mengetikkan kalimat pertama ini di depan Stasiun Bumiayu, di atas gerbong kereta, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Jogja. Meski pengundang saya mau-mau saja membelikan tiket pesawat, kali ini saya memilih pulang naik kereta. Ada beberapa alasannya.
Pertama, sudah lama sekali saya tidak naik kereta, dan ada kangen-kangennya. Kedua, kemarin dari Jogja ke Jakarta saya naik pesawat ATR yang mungil dalam cuaca yang agak galak, lalu goyangan di atas membuat saya teringat terus bahwa kedua anak saya masih kecil-kecil dan masih sangat membutuhkan bapak mereka.
Ketiga, ini alasan yang lebih filosofis, yaitu saya memilih naik kereta karena ingin tumakninah. Mengambil jeda, sebagaimana sikap berhenti sejenak dalam gerakan-gerakan sembahyang. Tidak terseret dalam suasana yang serba terburu-buru, tidak grusa-grusu, sehingga lebih bisa menikmati waktu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu bukan hasil renungan saya sendiri. Saya mendapatkannya dari Kang Mohamad Sobary, bertahun-tahun silam ketika saya mengantarkannya ke Stasiun Tugu.
Kang Sobary bercerita, pada masa ketika ia selalu menemani Gus Dur, Kang Sob menyaksikan bahwa Gus Dur itu terus bergerak cepat, berpindah-pindah tempat setiap saat. Hari ini di kota ini, besok sudah di kota mana. Minggu ini di negara ini, lusa sudah di negara sana. Situasi seperti itu berlangsung lama, terus-menerus, mungkin ya selama Gus Dur menjabat sebagai presiden itu.
Lalu, Kang Sob bilang, kira-kira, "Gus, apa ya enak to lompat-lompat terus begini? Mungkin sampean jadi produktif. Tapi seberapa berkualitas produktivitas itu?"
Saya lupa bagaimana jawaban Gus Dur kepada Kang Sob. Yang jelas, dari situlah konsep tumakninah itu disampaikan Kang Sob saat dia menolak kami belikan tiket pesawat. Baginya, dengan naik kereta, dia jadi lebih leluasa menikmati waktu, dan lebih berkualitas dalam menjalani waktu.
Tidak perlu bertanya bagaimana detail maksudnya, memang langsung terbayang penjelasan kata-kata Kang Sob itu. Naik kereta dari Jogja menuju Jakarta perlu setidaknya delapan jam, dan selama delapan jam itu kita berada di atas gerbong sambil duduk diam. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di situ, tanpa mesti menghadapi bermacam-macam distraksi yang mengganggu.
Bisa melamun, bisa membaca atau menulis, bisa menikmati tidur siang yang panjang, bisa menonton lima belas review sepatu di Youtube, bisa juga merancang konsep paling efektif untuk menciptakan perdamaian abadi di Timur Tengah atau untuk menangkal serangan makhluk ekstraterestrial yang mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia. Kemewahan semacam itu tak akan bisa didapatkan ketika naik pesawat. Saya coba gambarkan saja keribetan saya saat naik pesawat pada hari-hari ini.
Dengan memilih naik pesawat, saya harus tiba di Halim satu jam sebelum jadwal terbang, dan langsung disibukkan oleh banyak kegiatan. Pertama-tama saya harus menghampiri jajaran komputer yang akan memvalidasi apakah saya layak terbang ataukah tidak, berdasarkan hasil tes antigen sehari sebelumnya. Tentu untuk itu saya harus menyiapkan KTP dulu agar bisa menjiplak NIK lalu memasukkannya ke kotak-kotak pada layar, memotret tampilan layar, lalu menunjukkan foto itu kepada petugas.
Setelah itu, saya masih harus check in, menyerahkan bagasi, dan semuanya itu tentu saja serangkai dengan proses berdiri mengantre bermenit-menit. Setelah semuanya oke, barulah saya berjalan ke arah ruang tunggu, dengan diselingi berkali-kali melepas ransel, mengeluarkan laptop dan meletakkan HP dan dompet dan melepas ikat pinggang dan memakainya lagi dan kepergok menyembunyikan korek api di sudut ransel lalu harus menyerahkannya untuk disita demi prosedur ketat keselamatan di bawah sorotan mata X-ray yang menelanjangi setiap senti tubuh dan barang-barang kita.
Tiba di ruang tunggu, hanya beberapa belas menit kemudian mbak-mbak pemegang mikrofon pasti sudah memanggil-manggil agar para penumpang segera berdiri antre lagi untuk masuk ke pesawat. Maju satu-satu, diperiksa tiketnya satu-satu, diperiksa KTP-nya satu-satu, kadang disuruh membuka masker dulu untuk dipastikan apakah wajah kita sesuai dengan foto di KTP ataukah wajah palsu, dan itu merupakan pemeriksaan tiket entah ke berapa kalinya hanya dalam tiga puluh lima menit terakhir.
Masuk ke pesawat, kita masih berdiri antre lagi untuk mengambil tempat duduk, di antara para penumpang lain yang ribet, yang bawaannya banyak padahal aturannya tas jinjing cuma boleh satu, belum lagi yang tas punggungnya besar-besar dan kalau mereka menoleh tas punggung itu menumbuk wajah kita yang berdiri di belakang mereka, dan sebagainya.
Setelah dapat tempat duduk, mesin pesawat dipanasi, beberapa belas menit kemudian pesawat meluncur, naik pelan-pelan, dan itulah momen ketika kupu-kupu beterbangan di dalam perut kita sementara kita pasrah saja tanpa mampu berbuat apa-apa. Lima menit berlalu. Setelah stabil di atas, lampu sabuk pengaman mati, barulah kita bisa lega. Tenang, ambil napas, memundurkan sandaran, dan bisa memulai apa yang mau kita lakukan.
Sayangnya, itu cuma sekitar empat puluh menit saja. Lalu tiba-tiba ada suara yang mengabarkan bahwa pesawat akan segera mendarat, penumpang diminta melipat meja lagi, menegakkan sandaran tempat duduk lagi, meski sebenarnya masih sepuluhan menit kemudian pesawat mendarat beneran. Setelah akhirnya betul-betul mendarat, masih harus antre-antre lagi, mengisi aplikasi e-Hac yang ribet dan kalau kepencet tombol back maka kita harus mengulang lagi dari depan itu, menunggu bagasi keluar, dan seterusnya dan seterusnya. Hufff.
Maaf, ini tadi bukan tulisan panduan praktis tentang bagaimana caranya naik pesawat di masa pandemi. Saya hanya menggambarkan betapa tak banyak yang dapat kita lakukan selama proses perjalanan dengan pesawat terbang, selain semata-mata mengurusi tetek bengek prosedur penerbangan itu sendiri. Tak ada ruas waktu yang dapat kita nikmati dengan sungguh-sungguh, tak ada jeda yang bisa kita duduki dengan ketenangan yang sebenar-benarnya.
Memang, dengan naik pesawat, kita hanya membutuhkan total waktu sekitar dua setengah jam dari Jakarta sampai Jogja, itu sudah termasuk waktu persiapan, terbang, dan mengambil bagasi. Adapun kalau naik kereta, delapan jam alias seharian penuh jam kerja kita habiskan.
Namun sekali lagi, dua setengah jam bersama pesawat ternyata tidak bisa kita gunakan untuk banyak hal selain urusan terbang itu sendiri. Lagi pula setelah mendarat kita akan langsung berhadapan dengan manusia-manusia yang atas nama tugas dan pekerjaan dan keluarga dan lain-lain segera merampas perhatian kita, sehingga kita sontak menyetop lamunan-lamunan kita, sebab kita tak lagi berhak untuk terus melamun karena situasi sudah memungkinkan kita untuk bergerak cepat ke mana-mana, dan karenanya kita tak lagi punya alasan untuk terus berdiam saja.
Adapun delapan jam di kereta bisa kita daya gunakan untuk membikin dua puluh WA story hingga merenungkan kejadian penciptaan langit dan bumi. Banyak, banyak yang bisa kita lakukan, dan karena kita memang tak bisa pergi ke mana-mana selama di dalam kereta, tak ada pula orang yang punya kuasa untuk merebut perhatian kita lalu memotong jatah waktu melamun kita.
Lihat saja, hanya dalam sepertiga perjalanan saya bisa menyelesaikan tulisan seribu seratus kata, tiga hari sebelum tenggat kolom saya tiba-kejadian yang amat sangat langka. Itu pun masih ditambah mengamati berpuluh-puluh tetes air hujan yang merayap pelan-pelan menyusuri tepian jendela, melihat berhektar-hektar sawah luas yang instagramable tapi sebagian tergenang banjir dan pasti pemiliknya cuma bisa ngungun dengan hati merana, mengamati ratusan wajah di tepian jalan yang menatap ke arah manusia-manusia di dalam kereta padahal mungkin seumur-umur orang-orang di tepi jalan itu belum pernah naik kereta, memandangi mereka menjauh, menjauh, mengecil, mengecil, mengecil....
Cobalah sesekali memilih ruang untuk berjalan pelan di tengah segala kesibukan Anda. Kadangkala merayap itu nikmat, di saat semua orang dan para motivator mendorong-dorong Anda agar senantiasa berlari cepat.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)