Bisnis PCR, Benturan Kepentingan, dan Celah Korupsi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bisnis PCR, Benturan Kepentingan, dan Celah Korupsi

Selasa, 14 Des 2021 14:00 WIB
Muhajir Hakim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
PCR Akal-akalan?
Ilustrasi: Denny Pratama/detikcom
Jakarta -

Bulan lalu teman saya baru saja terpilih sebagai kepala desa di kampung halamannya. Mengemban tugas baru yang sebenarnya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia juga seorang pebisnis andal. Memiliki beberapa PT dan CV, baik yang dikelola sendiri maupun yang dipercayakan kepada kerabatnya.

Tak lama setelah menjabat, desanya mendapat kucuran dana tunai bansos Covid-19 untuk pengadaan sembako. Menurut ketentuan, sembako tersebut harus diadakan terlebih dahulu melalui anggaran desa. Dengan gerak cepat, kesempatan itu tak disia-siakannya. Perusahaan teman saya ini ditunjuk langsung oleh dirinya sendiri sebagai rekanan pengadaan. Untungnya pun berlipat-lipat.

Bayangkan, satu paket sembako telah dianggarkan Rp 750.000, tetapi harga pasaran hanya Rp 250.000. Sembako akan diserahkan per paket untuk setiap kepala keluarga, sementara penduduk di desanya kurang lebih 346 KK banyaknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Anda apakah fair kepala desa itu berbisnis sembako dalam jabatannya sebagai orang nomor satu di desanya? Wajarkah kepala desa ini dikatakan korupsi jika dia sendiri yang melakukan pengadaannya?

Dalam bisnis PCR situasinya pun demikian. Menentukan seseorang korupsi itu sebenarnya mudah. Paling susah itu mengumpulkan alat buktinya. Dari perspektif undang-undang korupsi, minimal memenuhi salah satu dari 3 unsur yang diperlukan untuk terjadinya suatu perbuatan korupsi. Pertama, merugikan keuangan negara; kedua, melawan hukum; ketiga, memperkaya diri sendiri atau orang lain.

ADVERTISEMENT

Atas dasar itu, apakah kasus bisnis PCR merugikan keuangan negara? Jawabannya tidak, karena pengadaan PCR dilakukan oleh swasta dan bukan uang negara. Apakah melawan hukum? Jawabannya juga tidak, karena PCR diatur mulai dari undang-undang, perppres, sampai peraturan dan instruksi menteri. Namun demikian, unsur yang ketiga sepertinya bisa menjadi celah perbuatan korupsi dalam bisnis PCR ini.

Dalam perspektif teori kecurangan yang diperkenalkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2008) dengan nama fraud tree, korupsi itu terdiri dari 4 kategori besar, yaitu benturan kepentingan (conflicts onf interest), penyuapan (bribery), gratifikasi (illegal gratuities), dan pemerasan (economic extortion).

Berdasarkan kedua perspektif di atas, maka bisnis PCR diduga telah terjadi korupsi. Kriterianya memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan motif benturan kepentingan. Bentuknya adalah skema pembelian dan skema penjualan. Dalam jangka panjang skema dagang ini akan berkembang menjadi penyuapan, gratifikasi, dan pemerasan yang semuanya rapi, senyap, hanya Tuhan dan pelakunya yang tahu.

Konflik kepentingan dapat didefinisikan sebagai kondisi yang dialami oleh pejabat publik ketika kewajibannya menjalankan fungsi publik berbenturan dengan kepentingan pribadi (OECD, 2005). Benturan kepentingan terjadi ketika individu atau lembaga memiliki kesempatan nyata untuk menggunakan wewenangnya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan cara menyalahgunakan jabatan.

Dengan melibatkan seorang pejabat yaitu menteri yang merangkap penanggung jawab penanganan Covid-19, artinya dalam bisnis PCR telah terjadi benturan kepentingan walaupun pembelinya swasta dan tanpa uang negara. Di sini unsur korupsi melalui benturan kepentingan itu terpenuhi.

Benturan kepentingan melahirkan korupsi bukan kasus baru di negara kita. Kasus korupsi serupa Bupati Bandung Barat tahun 2020 lalu, misalnya. Pemerintah daerah yang melakukan pengadaan barang dan jasa dalam bentuk bansos, berkolusi dengan penjual. Indikasinya terlihat dalam hal pembeli merupakan lembaga besar, nilai pembeliannya besar, dan rekanan merupakan supplier yang berasal dari keluarga atau kerabatnya.

Walaupun bisnis PCR bukan negara pelakunya, dalam kasus ini sebagai pejabat negara yang memiliki saham dalam PT GSI selaku pemasok PCR juga bisa dikategorikan konflik kepentingan. Meskipun keterlibatan terjadi secara tidak langsung tapi penentu kebijakan adalah justru LBP sendiri. Anda bisa bayangkan seandainya LBP bukan Menteri, mungkin lain ceritanya.

Lalu apa hubungan benturan kepentingan dengan korupsi, apakah benturan kepentingan selalu identik dengan korupsi? Dalam bingkai teori seperti dinyatakan di atas, benturan kepentingan dan korupsi itu serupa tadi tidak sama. Benturan kepentingan berubah menjadi korupsi apabila mengandung 3 syarat yaitu ada regulasi, ada kebijakan, dan ada operasionalnya.

Apabila regulasi mengandung cela hukum, maka kebijakan akan dominan walaupun secara nyata tidak memiliki dasar hukum dalam operasionalnya tetapi selalu dikaitkan dengan hukum karena sifatnya yang relevan dan berlaku umum. Karena pelaku korupsi dari konflik kepentingan membuat kasusnya samar, maka terjadilah korupsi kebijakan.

Menyamarkan bisnis yang mengandung benturan kepentingan dengan kegiatan sosial sehingga munculnya perusahaan cangkang atau sejenisnya, justru mempermudah deteksi korupsinya dari sisi konflik kepentingan. Apalagi jika diinvestigasi melalui kasus pengadaan barang dan jasa.

Tanda paling umum dari benturan kepentingan sering kita jumpai berwujud perusahaan yang melibatkan keluarga serta kroninya yang menjadi rekanan di lembaga pemerintah maupun di dunia bisnis. Kita ambil contoh lagi dari kasus VLCC Pertamina yang terjadi di zaman Presiden Megawati, dimana pembuktian korupsi dengan konsep konflik kepentingan lebih mudah dari membuktikan adanya kerugian keuangan negara (Tuanakotta, 2010).

Indikasi pertama, bisa kita lihat melalui nilai kontrak yang mahal dari nilai yang sesungguhnya. Indikasi kedua, para rekanan ini walaupun jumlahnya tidak banyak, tapi menguasai pangsa pasar yang relatif sangat besar. Indikasi ketiga, meskipun tanpa tender resmi, kemenangan pemasok sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar.

Indikasi terakhir, adanya hubungan istimewa antara penjual dan pembeli yang terlihat bukan seperti bisnis biasa. Pejabat sering bersembunyi dengan memasang keluarga dan kerabatnya sebagai front office. Alhasil benturannya menghasilkan korupsi. Kurang lebih samalah dengan kasus bisnis PCR ini.

Dengan asas opportunity loss, jika ingin menaksir kerugian negara bisa menggunakan selisih antara harga jual yang diterima dengan harga pasar, yang harus ditentukan melalui apraisal independen. Jika dikaitkan dengan bisnis PCR, sudah bisa dibayangkan berapa kerugian negaranya yang jelas berimplikasi dengan perbuatan melawan hukum.

Dari sisi hukum, korupsi dari benturan kepentingan bisa dijerat berdasarkan pasal 12 huruf i Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang konflik kepentingan dalam pengadaan. Jeratan yang sama juga bisa melalui Undang-Undang Persaingan Usaha yang mengatur perbuatan serupa.

Berkaca dari kasus Bank Century, ada cela kebijakan yang berpeluang menjadi tempat bersembunyi yang aman. Kita tahu bagaimana aparat penegak hukum kesulitan mencari pidana dari kebijakan seorang pejabat yang merugikan keuangan negara.

Itulah kenapa UU Corona walaupun pada akhirnya dikoreksi MK, telah disisipkan pasal bahwa kebijakan negara tidak bisa dipidana. Maka tidak heran LBP akan selalu menantang siapa yang bisa membuktikan korupsinya. Dengan berlindung di balik pasal kebal hukum itu, LBP begitu yakin bahwa dia tidak bisa dipidana.

Perhatikan bagaimana kelanjutan kasus Staf Khusus Milenial Presiden Belva Devara dengan Ruang Gurunya, apakah lanjut ke ranah hukum? Kasus Bupati Bandung Barat berlanjut dan diproses KPK mungkin saja karena apes dan bupatinya bukan orang dekat istana.

Dari fakta dan kondisi di atas, bisa kita lihat bahwa salah satu redflag telah terjadinya korupsi dalam bisnis PCR adalah pelaku melakukan rasionalisasi. Cara yang paling praktis sering membantah habis-habisan. Sekarang saja betapa banyaknya pernyataan tidak transparan dan sering berubah-ubah yang justru lebih menguatkan indikasi akan hal ini. Padahal kalau mau akuntabel, perlihatkan saja bukti atau perhitungannya, bahkan laporan keuangan bisnis PCR itu kalau memang tidak ada korupsinya.

Indikasi itu pun mengarah kepada KPK yang tidak berbuat apa-apa walaupun laporan datang bertubi-tubi dari LSM dan masyarakat. Berjanji seolah-olah berani memeriksa tak pandang bulu demi mendapatkan kepercayaan rakyat. Tapi di balik itu semua, ada skenario diam-diam justru menyelamatkan sang pejabat. Mungkin saja dalam beberapa bulan ke depan, terbuka peluang kasus PCR ini ditutup melalui pengalihan isu, menguap, lalu menghilang tanpa jejak.

Muhajir Hakim ASN di Ampana, Sulawesi Tengah

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads