Pagi itu setelah mengantar istri saya ke kantor, saya mampir ke sebuah minimarket waralaba untuk membeli barang titipan anak saya. Lokasinya yang dekat dengan kantor istri saya dan sejalan dengan rute menuju rumah membuat saya sering mampir ke toko swalayan kecil itu untuk sekadar membeli segelas kecil kopi hitam untuk menemani saya work from home.
Setelah memasuki toko itu, saya berjalan bergegas menuju meja dekat kasir untuk mengambil onigiri tuna yang tampak tinggal beberapa gelintir saja. Onigiri ala-ala buatan minimarket itu memang menjadi "kudapan berat" favorit kedua anak saya saat jeda kelas sekolah daring.
Dengan hanya dua buah onigiri di tangan, saya segera berdiri di jalur antrean kasir. Hanya ada dua antrean saja di depan saya. Sambil menunggu, pikiran saya melayang-layang, mengembara, merancang urutan pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pak, Pak," kata seorang anak muda yang antre di depan saya sontak membuyarkan lamunan, "Silakan Bapak duluan," begitu lanjutnya.
"Ah, ngga apa-apa, Mas duluan saja, saya ngga terburu-buru kok," saya menolak halus.
Mungkin mereka menduga saya berjalan cepat menuju meja onigiri karena terburu waktu, padahal saya hanya khawatir kehabisan ketika melihat onigiri di nampannya hanya tersisa sedikit.
"Bapak duluan saja, belanjaan saya banyak," kata anak muda itu sedikit memaksa, "Iya, Pak silakan duluan saja," seorang teman perempuan di sebelahnya menimpali.
Saya sekilas melirik ke keranjang belanjaan mereka. Belanjaan mereka tidak banyak, hanya sekitar sepuluh hingga lima belas barang saja. Tetapi, saya tidak tega menolak niat baik mereka.
"Baik, saya duluan ya. Makasih ya, Mas, Mbak," saya menjawab seraya maju dan menyerahkan barang ke kasir. Sambil menunggu, saya melihat tampilan mereka yang tampak seperti mahasiswa.
"Mas lagi kuliah di sini?" saya bertanya menyelidik.
"Iya, Pak benar. Saya kuliah di Politeknik Negeri Malang, Jurusan Teknik Kimia," jawabnya sopan.
"Ooo, Polinema," saya mengangguk untuk menunjukkan padanya bahwa saya mengerti, "Hmmm, baik sekali mereka ini, peduli kepentingan orang lain," gumam saya dalam hati.
Saya menyelesaikan pembayaran dan beringsut minggir agar kedua anak muda itu segera mendapatkan gilirannya membayar di kasir. Sambil memasukkan uang kembalian ke dalam dompet, saya pamit dan mengucap terima kasih pada mereka.
***
Sepanjang perjalanan pulang saya masih terkesima dengan kejadian di antrean itu. Dengan kepeduliannya, kedua mahasiswa itu seakan menolak anggapan bahwa generasi mereka adalah generasi egois yang cuek dengan keadaan sekitarnya.
Dengan hanya sekadar mendahulukan antrean, mereka seolah berupaya menyangkal derasnya pendapat bahwa budaya antre di Indonesia sudah mulai hilang. Mereka seakan menangkis banyaknya berita atau keluhan tentang saling menyerobot antrean yang sering lalu lalang di lini masa medsos kita. Hanya dengan perbuatan kecil mengalah dalam antrean, mereka sudah berupaya untuk memudahkan urusan orang lain.
Saya lalu teringat isi sebuah hadits Nabi Muhammad tentang menyingkirkan dahan berduri, yang berbunyi:
"Tatkala seseorang berjalan di suatu jalan, dia mendapatkan satu dahan pohon berduri berada di tengah jalan, lalu dia meminggirkannya, maka Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut menunjukkan betapa Tuhan memberikan apresiasi dan reward yang begitu besar pada sebuah tindakan kecil yaitu menyingkirkan dahan berduri.
Bila kita perhatikan lagi, sebenarnya tuntunan dalam hadits ini jauh lebih luas. Penerapan hadits ini tidak hanya sebatas atau seharfiah menyingkirkan dahan berduri di jalan, tetapi tentang bagaimana seseorang menjaga keselamatan orang lain. Hadits itu menuntun dan menjelaskan tentang bagaimana seseorang memudahkan urusan orang lain. Seperti tindakan yang dilakukan mahasiswa tadi.
Saya lantas membayangkan kalau saja saat ini banyak mahasiswa seperti mereka, maka kira-kira tiga hingga lima tahun ke depan dunia kerja akan mulai diisi oleh manusia-manusia berhati baik seperti mereka. Kalau saja mereka nanti bekerja di instansi-instansi pemerintah, maka jargon lama "buat apa dipermudah kalau bisa dipersulit", sebuah ejekan untuk layanan publik di Indonesia, pasti akan segera sirna.
Dengan kebiasaan mereka memberikan kemudahan untuk orang lain, dunia kerja juga akan semakin kondusif. Tidak ada upaya saling menghambat pekerjaan demi mencari posisi. Tidak ada jegal menjegal dalam pekerjaan demi mendapatkan jabatan. Oleh karena itu, suasana kerja pasti akan lebih tenang, efektif, dan produktif. Pun, organisasi bisa lebih fokus untuk maju mencapai tujuannya dan tidak hanya disibukkan dengan mengurusi drama-drama konflik di tempat kerja.
Saya membayangkan, kalau saja lebih banyak lagi mahasiswa yang terbiasa memudahkan orang lain seperti mereka, maka dalam 10-15 tahun ke depan posisi-posisi penting dalam organisasi akan mulai mereka tempati. Kader-kader pemimpin berhati baik akan mulai tampak dan bermunculan. Akan muncul pemimpin-pemimpin yang biasa memudahkan orang lain.
Akan muncul pemimpin yang berprinsip ing ngarsa sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani yang berarti di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dukungan. Sebuah konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang diadaptasi dari konsep guru dalam mendidik muridnya. Gaya kepemimpinan yang mengajak anggota yang dipimpinnya untuk maju bersama.
Model kepemimpinan Ki Hajar Dewantara itu sudah lama ada, tetapi masih relevan hingga saat ini, dan bahkan tidak kalah dengan konsep-konsep kepemimpinan yang ada. Coba bandingkan kemiripannya dengan beberapa prinsip pada konsep kepemimpinan transformasional yang dicetuskan oleh Bernard M. Bass, yang mengungkapkan bahwa pemimpin harus bisa memberikan pengaruh ideal, motivasi inspirasional, dan memperhatikan masing-masing individu yang dipimpinnya.
Meskipun tidak persis sama, kedua model kepemimpinan itu menunjukkan betapa pentingnya sentuhan pemimpin pada individu yang dipimpinnya. Sebuah kondisi ideal yang tidak mungkin bisa terwujud bila budaya saling menghambat masih kuat mengakar. Gaya kepemimpinan ini hanya bisa dilaksanakan bila ada perilaku memudahkan urusan orang lain.
Sejurus kemudian saya terdiam dan berpikir, kalau saja saat ini banyak mahasiswa seperti mereka tadi, maka kita masih punya harapan untuk maju bersama dan membuat perubahan. Iya, Indonesia masih punya harapan.
Aryo Dewanto dosen Manajemen SDM dan Perilaku Organisasi, tinggal di Malang