#SaveNoviaWidyasari dan Buruknya Sistem Sosial Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

#SaveNoviaWidyasari dan Buruknya Sistem Sosial Kita

Selasa, 07 Des 2021 10:46 WIB
Ferdiansah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Poster
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -
Dan kembali terjadi, kasus kekerasan seksual mencuat ke muka publik yang beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan di laman Twitter hingga seharian penuh, yakni tragedi bunuh diri yang dialami Novia Widyasari, Mahasiswi Universitas Brawijaya asal Mojokerto. Pelaku pemerkosa adalah pacarnya sendiri, seorang polisi bernama Bripda Randy Bagus Hari Sasongko.

Sebelum ke titik persoalan, saya ingin mengutip sedikit curhatan Novia selama ini di laman Quora dengan nama samaran Aulia Dinarmara Putri R: Saya berniat pergi dari rumah dengan menggenggam 2 Sianida yang rencana akan saya minum dengan minuman varian red velvet kesukaan saya. Saya akan meminumnya di daerah Paralayang. Jika saya mati, saya akan dikira kecelakaan. Namun ternyata meninggalnya korban tepat di atas makam pusara ayahnya.

Sebagai korban, Novia sebenarnya sudah mulai berani speak-up di media sosial dengan berbagai curhatannya. Hal ini berguna sebagai obat psikologis untuk mereduksi toxic traumatik dalam dirinya. Meskipun kemudian belum ada tanggapan yang cukup berarti dari publik saat korban masih hidup.

Aksi bunuh diri korban dengan racun Sianida itu mengisyaratkan bahwa terdapat sistem sosial yang buruk di ruang publik kita. Sungguh tragis kondisi traumatik korban yang berujung pada aksi bunuh diri itu. Korban di sisi lain juga sudah tidak memiliki sosok pelindung (ayah) yang bisa membelanya, karenanya ia hanya bisa memendam ketakutan-ketakutannya sendiri.

Pemerintah dalam hal ini sebagai pelindung masyarakatnya juga belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum terhadap banyaknya korban kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan dengan belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang berfungsi untuk menjerat pelaku dengan seadil-adilnya. Kasus Novia ini sejatinya semakin membuka mata hati kita bahwa terdapat jurang yang menganga dengan realitas hukum dan kultural masyarakat Indonesia.

Sistem Sosial

Secara sosiologis, korban sejatinya telah dibunuh oleh sistem sosial yang ada di sekitarnya, yakni oleh bayang-bayang si pelaku, keluarga pelaku, masyarakat yang tidak empatik, dan bahkan realitas hukum yang tidak berpihak kepadanya. Para pelaku (pacar dan keluarga korban) dalam hal ini telah "berhasil membunuh" calon buah hati korban dengan memaksa mengaborsinya dan korban itu sendiri.

Mirisnya ketika viral tagar SaveNoviaWidyasari, publik yang kontra terhadap korban menyisipkan pertanyaan di medsos, mengapa dia tidak melaporkan ke pihak berwajib? Serta, bunuh diri itu kan haram, pasti dia nanti masuk neraka. Saya terganggu dengan pertanyaan ini dan berupaya membeberkan sedikit fakta sekaligus argumen terkait dua pertanyaan tersebut.

Untuk pertanyaan pertama, saya ingin mengutip fakta laporan Project Multatuli yang menulis tentang seorang ibu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang semua anak-anak perempuannya diperkosa mantan suaminya. Alih-alih diperiksa, ternyata si ibu dinyatakan menderita gangguan kejiwaan. Kasusnya mungkin akan menghilang andai saja tidak ada media yang membongkarnya lagi. Kasus yang kemudian memunculkan tagar PercumaLaporPolisi yang sempat viral itu.

Untuk pertanyaan yang kedua, pertanyaan ini bagi saya sangatlah tidak etis, konstruksi berpikirnya konservatif dan sangat fiqhiyah. Mungkin si penanya, belum pernah mendengar cerita dalam literatur Islam (hadis) tentang masuknya seorang pelacur ke surga karena keikhlasannya memberikan minum anjing yang sedang kehausan serta masuknya orang alim ke neraka karena kesombongannya.

Islam sendiri sejatinya lebih mengedepankan akhlak (moral) daripada fiqh. Bagi saya, persoalan kematian korban itu adalah persoalan moralitas (sebab) bukan semata-mata persoalan surga-negara (akibat) yang pada dasarnya merupakan hak prerogatif Tuhan. Seharusnya bukan soal matinya yang perlu kita persoalkan, namun persoalan sistem relasi kuasa yang menjadi penyebab korban merenggang nyawa.

Karena sebelum wafat, Novia Widyasari sendiri sempat mengusut kasusnya dengan melaporkan pacarnya yang seorang polisi itu kepada Propam, namun ternyata tidak ada tindak lanjut dan tanggapan yang berarti. Ini membuktikan bahwa terjadi pengabaian terhadap korban akibat dari dominasi relasi kuasa tersebut.

Penting digarisbawahi bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan dan termasuk extra ordinary crime, mengingat daya destruktifnya yang telah banyak menimbulkan kematian korban akibat trauma psikis yang akut, sebagaimana yang terjadi kepada Novia Widyasari.

Tindak Lanjut

Di samping itu, pemaksaan aborsi yang telah terjadi pada Novia di usia kandungannya yang sedang 5 bulan berjalan adalah bagian tak terpisahkan dari kekerasan seksual. Sebenarnya cukup banyak instrumen-instrumen kekerasan seksual, tidak semata-mata hanya aksi pemerkosaan an sich. Dan seluruh instrumen itu termuat secara lengkap dalam draft RUU PKS. Untuk itu, kita perlu mendesak segera disahkannya RUU yang sudah dinanti-nantikan oleh para aktivis gender, akademisi dan (dan mungkin bukan politisi), sebagai hadiah bagi para korban kekerasan seksual yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

Saya kagum dengan perjuangan Novia, namun mungkin nasib baik tidak memihak kepadanya. Karena andai kita berada di posisinya, kemungkinan besar kita juga akan ambruk tak berdaya. Saya sebenarnya tak habis pikir, jika tidak ada tragedi kematian seperti ini, apakah kemudian pelaku bisa dijebloskan ke dalam penjara? Justru sepertinya pelaku tersebut akan semakin merajalela. Semoga ke depannya keadilan dan sistem sosial memihak kepada korban.

Ferdiansah peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Simak Video 'Mahasiswi NWR Sempat Jalani Konseling di P2TP2A Sebelum Bunuh Diri':
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads