Kolom

Kekerasan Seksual, Viktimisasi, dan Kesehatan Mental

Fany Hakim - detikNews
Senin, 06 Des 2021 15:10 WIB
Foto: Tangkapan layar
Jakarta -
Cerita NWR yang viral dan menjadi trending di Twitter (4/12) dengan tagar #SAVENOVIAWIDYASARI sangat menyayat hati banyak warganet. Kisah pilu seorang gadis berusia 23 tahun yang meregang nyawa dengan menenggak sianida di samping kuburan ayahnya sendiri membuat banyak orang merasa iba. Selain ada pihak yang mengenal NWR secara pribadi membuka kisah yang dialami gadis itu, warganet secara umum juga merasa ingin tahu lebih dalam latar belakang bunuh diri NWR.

Terungkap bahwa sebelumnya ia menuliskan pengalaman pahitnya di akun Quora dengan nama samaran, akhirnya orang-orang menelusuri apa yang sudah dibagikan oleh NWR secara langsung beberapa waktu menjelang kepergiannya. Berdasarkan fakta-fakta yang terkumpul, diketahui bahwa NWR mengalami depresi akut setelah menjadi korban pemerkosaan, dipaksa menggugurkan kandungan, ayahnya meninggal dunia, hingga ditekan oleh anggota keluarganya sendiri atas apa yang terjadi dengannya.

Kisah mengenai NWR ini hanyalah satu dari ribuan atau bahkan jutaan kasus serupa yang bisa jadi lebih banyak yang tidak terungkap. Kasus bunuh diri selalu menjadi tragedi yang banyak diperbincangkan. Depresi menjadi faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Seperti yang dilaporkan oleh WHO, bahwa dalam setahun lebih dari 700.000 orang meninggal akibat bunuh diri yang sebagian besar diakibatkan oleh depresi yang dialami. Selain itu, fakta yang tercatat menyebutkan bahwa paling banyak (20%) orang melakukan bunuh diri dengan cara menenggak racun.

Di Indonesia, dapat dikatakan bahwa persoalan mengenai bunuh diri dan isu kesehatan mental belum begitu menjadi perhatian masyarakat bahkan para pemangku kepentingan. Belum ada lembaga yang secara khusus mencatat secara rinci dan akurat mengenai laporan kasus bunuh diri. Perkiraan dari WHO di Indonesia tercatat angka kematian akibat bunuh diri sebanyak 2,4/100.000 penduduk. Angka ini diduga lebih kecil dari yang terjadi di lapangan karena ada kasus-kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan.

Kembali ke kasus NRW, meskipun yang diberitakan oleh sebagian besar media lebih menyorot soal bunuh diri, ada hal lain yang luput dari amatan, yakni persoalan kesehatan mental dan viktimisasi perempuan. Depresi yang dialami oleh NRW adalah akibat dari pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan, khususnya kekerasan seksual dan semua masalah lain yang membuntutinya.

Perlu kita sadari bahwa isu kekerasan seksual ini masih menjadi momok yang menakutkan bagi para perempuan di Indonesia. Dengan berbagai kebijakan yang masih simpang siur, keamanan dan perlindungan perempuan, khususnya yang menjadi korban kekerasan seksual masih belum terjamin.

Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa masih banyak korban kekerasan seksual yang enggan melapor. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal termasuk pertimbangan korban yang takut untuk menerima stigma buruk dari masyarakat. Dalam istilah kriminologi, dikenal istilah secondary victimization (viktimisasi sekunder) atau multiple victimization (viktimisasi berlipat).

Kedua istilah tersebut secara sederhana dapat diartikan sebagai penderitaan dan/atau kerugian yang dialami oleh korban setelah menjadi korban dari kejahatan primer. Penderitaan tersebut dapat berupa victim blaming (penyalahan korban), yang mana hal ini dapat berdampak pada psikologis dan memicu trauma yang lebih mendalam bagi korban. Orang-orang yang dapat melakukan viktimisasi lanjutan kepada korban biasanya merupakan anggota keluarga sendiri, masyarakat sekitar, penyedia layanan sosial, hingga penegak hukum.

Apa yang dialami oleh NRW sudah tentu dapat dikatakan sebagai viktimisasi berlipat. Pertama, ia mengalami kekerasan seksual dari pasangannya yang melakukan pemerkosaan hingga menyebabkan korban hamil. Kemudian, ia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orangtua pelaku. Ia dipaksa menggugurkan kandungannya dan hal tersebut sangat membuatnya terpuruk. Ditambah lagi, setelah keluarga mengetahui kondisi NRW, dia menerima perlakuan kasar hingga ancaman pembunuhan dari paman-pamannya karena dianggap telah mempermalukan keluarga.

Viktimisasi yang terus-menerus dialami oleh NRW tentu akan sangat berdampak kepada kondisi kesehatan mentalnya. Berdasarkan fakta-fakta yang terkumpul dari media sosialnya dan juga dari cerita orang-orang terdekatnya, ia memang sedang menjalani pengobatan di dokter kejiwaan dan konseling di psikolog. Beban psikis yang dialami oleh NRW menjadi lebih besar dan bahkan tidak mampu untuk ia kendalikan lagi sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Secara teoretis, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa korban akan mengalami trauma yang lebih besar dan gangguan mental yang lebih parah setelah mengalami viktimisasi yang berlipat. Sebelum mengalami viktimisasi sekunder, korban sudah mengalami rasa bersalah, rasa malu, tidak berharga, dan perasaan negatif lainnya. Dengan adanya stigma dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap korban, hanya akan menambah penderitaan psikis hingga ia merasa kewalahan.

Sudah saatnya bagi kita untuk meningkatkan kesadaran tentang isu kekerasan seksual dan kaitannya dengan kesehatan mental. Perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan, mereka sudah cukup tersiksa dengan pengalamannya, tidak perlu lagi untuk menyalahkan, berbuat tidak menyenangkan, dan memberi stigma terhadap mereka. Hal yang perlu kita lakukan adalah memberi dukungan secara moral dan psikis, agar kejadian yang dialami oleh NRW ini tidak terulang pada perempuan-perempuan lain di masa depan.

Catatan:

Jika kamu atau orang yang kamu kenal sedang mengalami masa sulit dan muncul pikiran untuk bunuh diri, segera hubungi layanan profesional terdekat. Atau hubungi nomor hotline 500-545, Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Fany N. R. Hakim alumnus Kriminologi Universitas Indonesia



(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork