Dalam sebuah seminar, seorang pengajar senior berkata pada saya, "Saya lebih banyak makan asam dan garam, jangan ceramahi saya untuk masalah belajar mengajar. Saya sudah puluhan tahun menjadi pengajar." Saya hanya bergumam dalam hati, "Barangkali beliau lupa kalau hari ini kita tidak harus mendaki gunung untuk mendapatkan asam, tidak harus ke tengah lautan untuk mendapat garam. Bahkan sudah banyak bumbu instan di emperan jalan yang jauh lebih lengkap sekaligus praktis."
Intinya, tidak mudah untuk membuka diri terhadap ilmu dan pengetahuan yang baru. Kenyataan yang ada hari ini tidak bisa dilihat dengan pemikiran lama. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa masih segelintir pengajar ada yang melihat proses pembelajaran dari kaca mata paradigma lama.
Sebuah paradigma belajar mengajar memang menjadi hal yang susah untuk dibicarakan terutama mereka pengajar yang menutup diri dari perkembangan ilmu pengetahuan. Diulangi sekali lagi, hanya segelintir yang mungkin masih bertahan dengan paradigma lama tersebut. Paradigma ini cenderung mengedepankan proses penyampaian atau transfer ilmu. Tentu ini tidak salah, namun di tengah maraknya teknologi, terbukanya akses pembelajaran dari berbagai sumber, seharusnya proses pembelajaran bukan hanya sebatas mentransfer pengetahuan, melainkan sebagai proses mengolah pengetahuan yang ada.
Paradigma baru seharusnya berpusat pada kesadaran kritis pelajar yang menekankan pada proses pemecahan masalah. Lalu setelah itu, siswa juga diharapkan dapat melahirkan sebuah gagasan melalui pembelajaran yang berpusat pada pendekatan konstruktivisme. Begitulah idealnya pembelajaran di abad ini. Namun kenyataannya, paradigma lama dalam proses pembelajaran belum benar-benar bersih. Masih banyak pengajar yang melakukan sesuatu yang seharusnya "mubah" untuk dilakukan di abad ini.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan setidaknya ada beberapa pendekatan yang masih sering dianggap tidak lumrah dilakukan lantaran hanya menutup diri terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini menjadi semacam miskonsepsi yang dialami oleh guru. Seharusnya di era sekarang guru lebih bertindak sebagai fasilitator dalam kelas terhadap proses pembelajaran. Beberapa hal dalam paradigm baru proses pembelajaran yang seharusnya ada saat ini adalah sebagai berikut.
Membiasakan Anak Bekerja Sama
Membiasakan anak bekerja sama bukan berarti membiarkannya mencontek. Ini harus menjadi perhatian guru. Proses asesmen pembelajaran tidak melulu harus dilakukan secara individu. Siswa justru harus dilatih bagaimana memecahkan masalah secara bersama-sama dalam sebuah tim atau kelompok. Selain itu, hal ini juga untuk menghindari stigma negative terhadap kelakuan mencontek anak.
Di beberapa negara seperti Amerika dan Singapura, proses penilaian kini tidak lepas dengan proses pencarian dalam bentuk kerja sama. Siswa bebas berdiskusi terhadap suatu topik, selanjutnya mereka menyimpulkan sendiri apa yang dihasilkan dari proses diskusi tersebut.
Lagi, alih-alih melarang anak untuk mencontek, lebih baik memberikan instruksi kepada mereka untuk bekerja sama. Guru dapat menggunakan berbagai rubrik penilaian sikap baik yang diisi oleh guru maupun teman sejawatnya (pair-assessment). Bahkan bukan tidak mungkin bisa juga dilakukan dengan metode penilaian sendiri (self-assessment). Ada banyak form penilaian kualitatif yang mendukung kegiatan kerja sama siswa.
Selain itu, bekerja sama dalam tim merupakan mandat penting menghadapi masa depan. Keterampilan untuk bekerja sama digadang-gadang akan jauh lebih penting daripada keterampilan untuk bersaing. Hal ini diperkuat dan juga sudah sangat jelas bahwa kerja sama merupakan satu di antara beberapa skill yang ada dalam kecakapan abad 21 (21st Century Skill). Oleh karena itu, pengajar seharusnya mulai terbiasa dengan sistem penilaian semacam ini, tidak terpaku dalam penilaian lama yang menuntut anak untuk tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri.
Inquiry Based-Learning
Selain kerja sama, anak harus terbiasa untuk belajar memecahkan masalahnya sendiri. Sebagai seorang pengajar, sudah sepatutnya memberikan stimulus positif dalam proses pembelajaran. Inquiry-based learning, atau pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pendekatan pembelajaran aktif yang menuntut siswa untuk berpikir.
Inkuiri dapat diartikan sebuah pertanyaan. Artinya, anak-anak harus memiliki banyak pertanyaan dalam otaknya sebagai stimulus rasa ingin tahu. Proses pembelajaran semacam ini biasanya dimulai dengan guru memberikan pertanyaan kepada murid. Sudah tidak terhitung penelitian terbaru yang mengatakan bahwa pendekatan ini berhasil memacu kemampuan penyelesaian masalah pada anak serta meningkatkan keaktifan dalam berpikir.
Terdapat beberapa komponen umum yang menjadi acuan dalam pendekatan ini. Yang pertama ialah guru menyediakan sebuah ruang diskusi di bawah satu topik tertentu dan meminta anak untuk melakukan observasi guna mendapatkan pengetahuan atau pondasi umum. Lalu guru atau pengajar selanjutnya bisa membuat pertanyaan terkait dengan topik yang menjurus ke permasalahan yang lebih spesifik. Hal ini untuk merumuskan sebuah pembahasan yang lebih terarah dan tidak luas.
Selanjutnya biarkan siswa untuk berinisiatif menemukan masalah atau jawaban terhadap suatu masalah. Tahapan akhir merupakan sebuah kesimpulan dan diskusi. Jika setiap siswa mendapatkan jawaban yang berbeda, maka dipastikan dalam kelas akan banyak muncul ide atau gagasan baru yang mungkin terlihat sederhana namun berarti dalam proses pembelajaran. Hal ini juga merupakan bagian dari proses menuju kematangan dalam berpikir secara tertata.
Singkatnya, pembelajaran ini diibaratkan guru memberikan pancing, bukan menyuapi dengan ikan, apalagi ikan yang sudah siap santap.
Berpusat pada Siswa, Bukan Guru
Sehubungan dengan dua hal di atas, dapat disimpulkan bahwa hampir 80% proses pembelajaran yang menganut paradigma baru akan berpusat pada siswa. Hal ini harus menjadi perhatian khusus utamanya bagi guru yang masih memegang paradigma mengajar zaman batu. Students' centered learning atau pembelajaran yang berpusat pada siswa kini sudah seharusnya menjadi hal lumrah. Semua harus memiliki keterbukaan terhadap perubahan. Sebab jika tidak, kita akan tertinggal.
Namun demikian, di antara banyak ciri paradigma baru dalam proses pembelajaran, yang satu ini (students' centered learning) semacam menjadi pisau bermata dua. Satu sisi guru akan merasa senang karena tidak harus banyak menghabiskan energi saat pembelajaran. Namun di sisi lain, faktanya, banyak yang lalai dalam proses pengawasan. Artinya apa? Pembelajaran yang berpusat pada siswa bukan berarti guru lepas tangan.
Tugas guru merupakan sebagai pengamat, fasilitator, penengah serta pendengar. Proses pembelajaran semacam ini sangat erat kaitannya dengan proses pembelajaran berbasis konstruktivisme yang bukan berfokus pada salah atau benar, melainkan lebih menekankan pada proses terciptanya argumentasi atau ilmu baru. Oleh karenanya, guru tidak boleh lalai mengawasi. Ditakutkan akan muncul miskonsepsi apabila guru tidak teliti terhadap proses pembelajaran.
Guru harus menjalankan tugasnya sebagai penengah seperti yang disebutkan di atas. Singkatnya, proses pembelajaran pada paradigma baru ini lebih mengedepankan kepada pembelajaran yang berpusat pada siswa baik secara individu maupun kelompok. Ketiga hal di atas sangat berkaitan antara satu dan yang lain.
Selain itu, ada banyak keterampilan penting seandainya ketiga hal di atas dapat dilakukan bersamaan seperti melatih keterampilan berpikir kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan bekerja sama. Terlebih jika guru mengarahkan pembelajaran kepada kehidupan sehari-hari, maka pembelajaran akan lebih autentik yang mana itu menjadi suatu keharusan dalam paradigma baru proses pembelajaran.
Menyongsong era kenormalan baru setelah Covid-19 ini, paradigma baru dalam proses pembelajaran tentu menjadi hal yang menarik. Siswa telah dibekali dengan pengetahuan awal yang sangat mumpuni dari kegiatannya yang bergaul dengan teknologi setiap harinya selama pembelajaran dari rumah. Itu menjadi pijakan awal yang bagus untuk menerapkan tiga diantara beberapa ciri pembelajaran yang ada pada paradigm baru.
Haiyudi, S.Pd, M.Ed Curriculum and Instruction, Khon Kaen University, pengajar Bahasa Indonesia di Khon Kaen University 2019-2021
(mmu/mmu)
Intinya, tidak mudah untuk membuka diri terhadap ilmu dan pengetahuan yang baru. Kenyataan yang ada hari ini tidak bisa dilihat dengan pemikiran lama. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa masih segelintir pengajar ada yang melihat proses pembelajaran dari kaca mata paradigma lama.
Sebuah paradigma belajar mengajar memang menjadi hal yang susah untuk dibicarakan terutama mereka pengajar yang menutup diri dari perkembangan ilmu pengetahuan. Diulangi sekali lagi, hanya segelintir yang mungkin masih bertahan dengan paradigma lama tersebut. Paradigma ini cenderung mengedepankan proses penyampaian atau transfer ilmu. Tentu ini tidak salah, namun di tengah maraknya teknologi, terbukanya akses pembelajaran dari berbagai sumber, seharusnya proses pembelajaran bukan hanya sebatas mentransfer pengetahuan, melainkan sebagai proses mengolah pengetahuan yang ada.
Paradigma baru seharusnya berpusat pada kesadaran kritis pelajar yang menekankan pada proses pemecahan masalah. Lalu setelah itu, siswa juga diharapkan dapat melahirkan sebuah gagasan melalui pembelajaran yang berpusat pada pendekatan konstruktivisme. Begitulah idealnya pembelajaran di abad ini. Namun kenyataannya, paradigma lama dalam proses pembelajaran belum benar-benar bersih. Masih banyak pengajar yang melakukan sesuatu yang seharusnya "mubah" untuk dilakukan di abad ini.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan setidaknya ada beberapa pendekatan yang masih sering dianggap tidak lumrah dilakukan lantaran hanya menutup diri terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini menjadi semacam miskonsepsi yang dialami oleh guru. Seharusnya di era sekarang guru lebih bertindak sebagai fasilitator dalam kelas terhadap proses pembelajaran. Beberapa hal dalam paradigm baru proses pembelajaran yang seharusnya ada saat ini adalah sebagai berikut.
Membiasakan Anak Bekerja Sama
Membiasakan anak bekerja sama bukan berarti membiarkannya mencontek. Ini harus menjadi perhatian guru. Proses asesmen pembelajaran tidak melulu harus dilakukan secara individu. Siswa justru harus dilatih bagaimana memecahkan masalah secara bersama-sama dalam sebuah tim atau kelompok. Selain itu, hal ini juga untuk menghindari stigma negative terhadap kelakuan mencontek anak.
Di beberapa negara seperti Amerika dan Singapura, proses penilaian kini tidak lepas dengan proses pencarian dalam bentuk kerja sama. Siswa bebas berdiskusi terhadap suatu topik, selanjutnya mereka menyimpulkan sendiri apa yang dihasilkan dari proses diskusi tersebut.
Lagi, alih-alih melarang anak untuk mencontek, lebih baik memberikan instruksi kepada mereka untuk bekerja sama. Guru dapat menggunakan berbagai rubrik penilaian sikap baik yang diisi oleh guru maupun teman sejawatnya (pair-assessment). Bahkan bukan tidak mungkin bisa juga dilakukan dengan metode penilaian sendiri (self-assessment). Ada banyak form penilaian kualitatif yang mendukung kegiatan kerja sama siswa.
Selain itu, bekerja sama dalam tim merupakan mandat penting menghadapi masa depan. Keterampilan untuk bekerja sama digadang-gadang akan jauh lebih penting daripada keterampilan untuk bersaing. Hal ini diperkuat dan juga sudah sangat jelas bahwa kerja sama merupakan satu di antara beberapa skill yang ada dalam kecakapan abad 21 (21st Century Skill). Oleh karena itu, pengajar seharusnya mulai terbiasa dengan sistem penilaian semacam ini, tidak terpaku dalam penilaian lama yang menuntut anak untuk tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri.
Inquiry Based-Learning
Selain kerja sama, anak harus terbiasa untuk belajar memecahkan masalahnya sendiri. Sebagai seorang pengajar, sudah sepatutnya memberikan stimulus positif dalam proses pembelajaran. Inquiry-based learning, atau pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pendekatan pembelajaran aktif yang menuntut siswa untuk berpikir.
Inkuiri dapat diartikan sebuah pertanyaan. Artinya, anak-anak harus memiliki banyak pertanyaan dalam otaknya sebagai stimulus rasa ingin tahu. Proses pembelajaran semacam ini biasanya dimulai dengan guru memberikan pertanyaan kepada murid. Sudah tidak terhitung penelitian terbaru yang mengatakan bahwa pendekatan ini berhasil memacu kemampuan penyelesaian masalah pada anak serta meningkatkan keaktifan dalam berpikir.
Terdapat beberapa komponen umum yang menjadi acuan dalam pendekatan ini. Yang pertama ialah guru menyediakan sebuah ruang diskusi di bawah satu topik tertentu dan meminta anak untuk melakukan observasi guna mendapatkan pengetahuan atau pondasi umum. Lalu guru atau pengajar selanjutnya bisa membuat pertanyaan terkait dengan topik yang menjurus ke permasalahan yang lebih spesifik. Hal ini untuk merumuskan sebuah pembahasan yang lebih terarah dan tidak luas.
Selanjutnya biarkan siswa untuk berinisiatif menemukan masalah atau jawaban terhadap suatu masalah. Tahapan akhir merupakan sebuah kesimpulan dan diskusi. Jika setiap siswa mendapatkan jawaban yang berbeda, maka dipastikan dalam kelas akan banyak muncul ide atau gagasan baru yang mungkin terlihat sederhana namun berarti dalam proses pembelajaran. Hal ini juga merupakan bagian dari proses menuju kematangan dalam berpikir secara tertata.
Singkatnya, pembelajaran ini diibaratkan guru memberikan pancing, bukan menyuapi dengan ikan, apalagi ikan yang sudah siap santap.
Berpusat pada Siswa, Bukan Guru
Sehubungan dengan dua hal di atas, dapat disimpulkan bahwa hampir 80% proses pembelajaran yang menganut paradigma baru akan berpusat pada siswa. Hal ini harus menjadi perhatian khusus utamanya bagi guru yang masih memegang paradigma mengajar zaman batu. Students' centered learning atau pembelajaran yang berpusat pada siswa kini sudah seharusnya menjadi hal lumrah. Semua harus memiliki keterbukaan terhadap perubahan. Sebab jika tidak, kita akan tertinggal.
Namun demikian, di antara banyak ciri paradigma baru dalam proses pembelajaran, yang satu ini (students' centered learning) semacam menjadi pisau bermata dua. Satu sisi guru akan merasa senang karena tidak harus banyak menghabiskan energi saat pembelajaran. Namun di sisi lain, faktanya, banyak yang lalai dalam proses pengawasan. Artinya apa? Pembelajaran yang berpusat pada siswa bukan berarti guru lepas tangan.
Tugas guru merupakan sebagai pengamat, fasilitator, penengah serta pendengar. Proses pembelajaran semacam ini sangat erat kaitannya dengan proses pembelajaran berbasis konstruktivisme yang bukan berfokus pada salah atau benar, melainkan lebih menekankan pada proses terciptanya argumentasi atau ilmu baru. Oleh karenanya, guru tidak boleh lalai mengawasi. Ditakutkan akan muncul miskonsepsi apabila guru tidak teliti terhadap proses pembelajaran.
Guru harus menjalankan tugasnya sebagai penengah seperti yang disebutkan di atas. Singkatnya, proses pembelajaran pada paradigma baru ini lebih mengedepankan kepada pembelajaran yang berpusat pada siswa baik secara individu maupun kelompok. Ketiga hal di atas sangat berkaitan antara satu dan yang lain.
Selain itu, ada banyak keterampilan penting seandainya ketiga hal di atas dapat dilakukan bersamaan seperti melatih keterampilan berpikir kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan bekerja sama. Terlebih jika guru mengarahkan pembelajaran kepada kehidupan sehari-hari, maka pembelajaran akan lebih autentik yang mana itu menjadi suatu keharusan dalam paradigma baru proses pembelajaran.
Menyongsong era kenormalan baru setelah Covid-19 ini, paradigma baru dalam proses pembelajaran tentu menjadi hal yang menarik. Siswa telah dibekali dengan pengetahuan awal yang sangat mumpuni dari kegiatannya yang bergaul dengan teknologi setiap harinya selama pembelajaran dari rumah. Itu menjadi pijakan awal yang bagus untuk menerapkan tiga diantara beberapa ciri pembelajaran yang ada pada paradigm baru.
Haiyudi, S.Pd, M.Ed Curriculum and Instruction, Khon Kaen University, pengajar Bahasa Indonesia di Khon Kaen University 2019-2021
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini