Indonesia telah diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada tahun 2030-2040. Masa bonus demografi merupakan saat kondisi penduduk usia produktif (15-64 Tahun) lebih besar dibandingkan usia tidak produktif (di bawah 15 Tahun dan di atas 64 Tahun). Siaran pers Bappenas memprediksi bahwa penduduk usia produktif mencapai 64 persen dari keseluruhan penduduk yang diprediksi mencapai 297 juta jiwa. Angka tersebut tentunya dapat terus bertambah mengingat jumlah penduduk Indonesia sendiri telah mencapai lebih dari 270 juta jiwa pada 2020.
Namun sejak empat tahun ulasan tentang bonus demografi mencuat, justru kondisi yang dihadapi Indonesia malah semakin problematis, Salah satunya adalah sektor pendidikan yang merupakan garda terdepan dalam menghadapi tantangan bonus demografi. Adanya program merdeka belajar merupakan salah satu isu yang menjadi problematik bagi pendidikan Indonesia. Adanya program merdeka belajar semakin menegaskan bahwa pendidikan Indonesia bahkan perguruan tinggi hanya dapat menciptakan golongan pekerja.
Sekolah maupun universitas setiap tahun hanya berperan dalam mencetak tenaga kerja siap pakai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan kita secara substansial mengalami penurunan. Pendidikan pada tahap ini mencapai gejala yang disebut oleh George Ritzer sebagai "Mcdonaldisasi pendidikan". McDonaldisasi pendidikan adalah kondisi di mana prinsip-prinsip restoran cepat saji hadir untuk mempengaruhi sektor pendidikan (Ritzer, 2002).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini seluruh sekolah maupun universitas secara tersirat memiliki satu tujuan yang sama yaitu menciptakan tenaga kerja yang unggul, ibarat restoran cepat saji yang menciptakan menu yang sama di setiap gerainya. Perusahaan sebagai konsumen dari penciptaan tenaga kerja yang dilakukan oleh lembaga pendidikan bebas menginginkan tenaga kerja yang diinginkan seperti konsumen cepat saji yang bebas dalam memilih menu.
Mengingat semakin banyak penduduk yang berusia produktif dan telah dibekali dengan keterampilan kerja dan siap pakai, tentu lapangan pekerjaan yang dibutuhkan akan semakin meningkat. Saat serapan tenaga kerja tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia, para calon tenaga kerja tersebut akan menjadi apa yang disebut oleh Marx sebagai "tentara cadangan" atau istilah yang lebih populer adalah pengangguran.
Marx dalam (Ritzer, 2004) menyebutkan bahwa tentara cadangan ini berperan untuk menggantikan para pekerja yang tidak mau melakukan tugas dan upah yang diberikan oleh para kapitalis. Anggapan "masih banyak yang mau bekerja" yang beredar di masyarakat membuat buruh semakin sulit dalam mencapai kesejahteraan. Saat mereka menentang, akan mudah untuk disingkirkan dan diganti dengan tenaga kerja yang lebih taat dan penurut.
Semakin banyaknya "tentara cadangan" yang tersedia tentu membuat buruh semakin enggan untuk memperbaiki nasibnya, karena tentunya akan semakin banyak individu yang akan menggantikan pekerjaan mereka. Pada akhirnya masyarakat kelas pekerja dipaksa untuk saling bersinggungan satu sama lain hanya untuk mendapatkan pekerjaan, sementara para pemilik modal duduk dan memilih pekerja mana yang layak untuk dipekerjakan.
Disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah salah satu bukti nyata dari adanya ancaman "tenaga cadangan". Pandemi yang membuat maraknya terjadi PHK secara sepihak, melahirkan banyak tenaga kerja cadangan yang siap pakai. Hal tersebut membuat agenda Omnibus Law berjalan mulus, karena masih banyak buruh yang takut jika pekerjaannya digantikan oleh orang lain, terlebih pandemi membuat semua keadaan menjadi sulit. Sehingga kehilangan pekerjaan tentunya akan menjadi permasalahan baru bagi suatu individu.
Lembaga pendidikan sudah seharusnya mengamanatkan tujuan yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu menjadi lembaga yang mencerdaskan kehidupan bangsa bukan menjadi lembaga yang terbelenggu oleh kapitalisme sehingga hanya mampu mencetak tenaga kerja. Kebutuhan akan penyerapan tenaga kerja juga menjadi pekerjaan utama pemerintah dalam mempersiapkan dalam menghadapi bonus demografi.
Vio Alfian Zein mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
(mmu/mmu)