Istilah Reuni 212 merujuk pada Aksi 212 yang tampaknya cukup lekat dalam memori masyarakat (Muslim) Indonesia, terlebih lagi bagi mereka yang berada di ibu kota. Pasalnya, hal ini berkaitan erat dengan momentum penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilkada sendiri pada akhirnya dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Pertanyaan yang menarik terkait rencana tersebut adalah masihkah Reuni 212 relevan untuk dihelat saat ini? Kalau pun masih dianggap relevan, kira-kira bagi siapa sajakah reuni ini memiliki makna penting?
Sejumlah Pertimbangan
Dilihat dari hak politik, tentu saja, di dalam negeri demokrasi mana pun, setiap warga negara berhak untuk menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Namun, seperti ditegaskan dalam perspektif fenomenologis Alfred Schutz (Engkus Kuswarno, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi), misalnya, setiap tindakan orang pasti akan dikaitkan dengan motif, baik "motif untuk" (in order to motives) maupun "motif karena" (because motives).
Dalam hal ini, rencana perhelatan Reuni 212 pun jelas akan dibaca dalam perspektif tersebut. Karena itu, menurut hemat saya, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait perhelatan Reuni 212 oleh para pengusung kegiatan ini.
Pertama, saat ini, meski Pemilu Presiden 2024 masih jauh, tetapi berbagai dinamika politik terkait momentum pemilu tersebut sudah sangat terasa. Entah yang berkaitan dengan sosok calon presiden/wakil presiden maupun dengan partai-partai politik. Tidaklah mengherankan, jika setiap kegiatan, terutama yang melibatkan massa dalam jumlah besar akan dianggap politis. Tentu saja Reuni 212, jika benar-benar jadi diselenggarakan sesuai dengan rencana para pengusungnya tidak akan lepas dari anggapan tersebut. Apalagi perhelatan itu sangat erat kaitannya dengan Aksi 212 di masa lalu yang memang merupakan peristiwa politik.
Seperti telah disinggung di awal, bahwa 212 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang berkaitan erat dengan aksi besar-besaran sebagian umat Islam pada 2 Desember 2016. Saat itu, yang menjadi sasarannya adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dituduh telah menodai agama Islam.
Tidak dapat dimungkiri, dengan status Ahok yang seperti itu, sulit baginya untuk melenggang mulus sebagai pemenang dalam Pilkada DKI 2017. Berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, Ahok akhirnya harus menderita kekalahan di putaran kedua. Bukan sekadar kalah, Ahok pun kemudian dipenjara.
Peristiwa Pilkada DKI 2017 dengan segenap hiruk pikuk politiknya, oleh sebagian kalangan, dipandang sebagai salah satu kemunduran dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Tidak lain karena hal itu dianggap sebagai momentum menguatnya politik identitas; agama dibawa masuk ke dalam politik praktis atau yang biasa disebut dengan politisasi agama. Padahal demokrasi tidak menghendaki hal demikian.
Dari sudut pandang ini, rencana perhelatan Reuni 212 nanti besar kemungkinan akan dibaca banyak kalangan sebagai peristiwa politik atau bermuatan politik. Apalagi, menurut kabar, tokoh yang boleh disebut sebagai ikon 212 Habib Rizieq Shihab (HRS) dikait-kaitkan dengan acara tersebut. Bahkan beredar juga kabar, HRS telah memberikan seruan agar kegiatan reuni itu dibanjiri umat Islam, meski para pengacara HRS sendiri mengaku tidak tahu dari mana asalnya seruan tersebut berasal.
Bukan tidak mungkin jika kemudian muncul anggapan bahwa Reuni 212 memiliki motif untuk kembali menggalang kekuatan umat Islam yang nanti akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik di 2024. Pada gilirannya, tuduhan memperkuat politik identitas pun pastilah akan dialamatkan kepada para penyelenggara dan pendukung kegiatan ini.
Kedua, dengan suasana politik yang sudah mulai memanas seperti saat ini, sebenarnya perhelatan Reuni 212 malah akan membuat sejumlah tokoh, termasuk yang digadang-gadang sebagai calon presiden oleh kelompok ini seperti Anies Baswedan atau tokoh-tokoh lainnya akan berada dalam dilema.
Jika tidak mendukung Reuni 212 mungkin akan dianggap kacang lupa kulit, karena bagaimana pun kelompok ini banyak berkontribusi atas kemenangannya di Pilkada DKI. Namun, mendukung dan menghadiri kegiatan tersebut, secara politik sesungguhnya tidak menguntungkan, karena akan dianggap sebagai pendukung politik identitas. Padahal di 2024 nanti, sangat mungkin politik identitas tidak lagi relevan.
Ketiga, perlu disadari pula, salah satu keberhasilan Aksi 212 yang cukup fenomenal itu adalah karena mereka memiliki target atau sasaran konkret, yakni Ahok. Tidak mengherankan kalau kemudian mereka mendapatkan banyak dukungan dari umat Islam, baik yang berada di ibu kota sendiri maupun dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Persoalannya, pada saat ini sebagian kelompok umat Islam pendukung 212 tidak memiliki sasaran atau target langsung seperti halnya Ahok di masa lalu. Karena itu, perhelatan Reuni 212 akan terasa kurang greget. Dengan kata lain, Reuni 212 tidak mendapatkan konteks yang lebih konkret seperti di Pilkada DKI 2017.
Berdasarkan catatan di atas, tampaknya perhelatan Reuni 212 tidak begitu relevan untuk diselenggarakan. Alih-alih reuni, mungkin akan lebih bermakna kalau para penyelenggara dan pendukung kegiatan tersebut untuk mengatur strategi guna mempersiapkan diri di Pemilu 2024 dengan cara yang lebih elegan.
Iding Rosyidin Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)