Pernyataan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) soal upah minimum di Indonesia yang terlalu tinggi sangat menarik jika ditinjau dari sisi para pekerja. Betulkah UM kita tinggi? Lalu kenapa serikat pekerja selalu menuntut kenaikan tiap tahunnya?
Indeks Kaitz
Indeks Kaitz adalah salah satu indeks yang telah digunakan secara internasional untuk mengukur tinggi rendahnya upah minimum pada suatu wilayah. Indeks Kaitz dihitung dari upah minimum yang dibagi dengan median upah. Sementara median upah adalah nilai tengah antarupah minimum tertinggi dan upah pada suatu wilayah.
Berdasarkan rilis Kementerian Tenaga Kerja dan Apindo, Indeks Kaitz Indonesia lebih besar dari 1. Sementara idealnya Indeks Kaitz ada di antara 0.4 β 0.6.
Hasil Indeks Kaitz Indonesia memang di atas 1, lebih besar dari negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina. Tapi apakah maknanya hanya sekadar bahwa UM Indonesia tinggi?
Hasil Indeks Kaitz Indonesia memang di atas 1, lebih besar dari negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina. Tapi apakah maknanya hanya sekadar bahwa UM Indonesia tinggi?
Indeks Kaitz Indonesia yang tinggi juga disebutkan dalam penelitian Siregar (2019) tentang dampak upah minimum terhadap ketenagakerjaan di Indonesia. Dari 180 negara yang diobservasi, hanya 15 persen negara yang memilik Indeks Kaitz di atas Indonesia. Meski demikian, tiap tahun selalu ada tuntutan kenaikan UM yang terjadi di negara kita.
Perlu dipahami bawa indeks Kaitz yang tinggi juga menunjukkan ada rentang yang luas antara UM tertinggi dan UM terendah di Indonesia. Artinya ada kesenjangan UM yang tinggi antar wilayah di Indonesia. Namun mengambil kesimpulan tentang kondisi pengupahan dan dampaknya hanya dari satu indikator statistik tanpa melihat fenomenal sosial di lapangan, bisa cukup menyesatkan.
Siregar (2019) dalam penelitiannya memaparkan bahwa hukum tentang UM hanya berlaku bagi para pekerja yang dikelola 'pengusaha' (karyawan gaji tetap) dengan masa kerja di bawah setahun. Faktanya, sebagian besar pekerja di Indonesia bukan merupakan karyawan gaji tetap, sehingga upah berdasarkan UM tidak berlaku bagi para pekerja tersebut.
Sementara itu, mereka yang masuk dalam kelompok karyawan gaji tetap juga tidak semuanya diupah sesuai UM. Laporan Asian Development Bank (ADB) tahun 2016 menyebutkan bahwa persentase karyawan gaji tetap yang menerima upah di bawah UM telah naik dari 21 persen pada tahun 2001, menjadi 47 persen di tahun 2015. Jika kita hanya melihat para pekerja di sektor informal, angka ini bahkan lebih tinggi.
Melihat berbagai data di atas, menjadikan Indeks Kaitz sebagai satu-satunya indikator soal pengupahan Indonesia jelas kurang bijaksana. Interpretasi Indeks Kaitz semata tanpa didampingi data fenomena sosial bisa mendorong kebijakan yang kurang tepat dan bisa jadi malah menurunkan kesejahteraan pekerja.
Perkara Indeks Kaitz yang tinggi (jika itu yang dianggap akar masalah), bisa diselesaikan dengan meningkatkan UM terendah dan menjaga UM yang sudah tinggi agar tidak makin tinggi. Dengan mengurangi kesenjangan antara keduanya, Indeks Kaitz kita akan bisa lebih proporsional. Tapi isu utama dalam hal ini bukanlah angka indeks, melainkan UM itu sendiri.
Melindungi Dua Pihak
UM pada dasarnya merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk melindungi pekerja agar tidak dibayar terlalu murah, dan melindungi pengusaha agar daya saing tetap terjaga. UM tidak sama dengan upah aktual atau upah efektif. UM adalah batas bawah dari upah yang bisa diberikan pengusaha pada para pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun.
UM pada dasarnya merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk melindungi pekerja agar tidak dibayar terlalu murah, dan melindungi pengusaha agar daya saing tetap terjaga. UM tidak sama dengan upah aktual atau upah efektif. UM adalah batas bawah dari upah yang bisa diberikan pengusaha pada para pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun.
Namun ada juga kelompok pekerja yang dikecualikan dari penghitungan UM, yakni mereka yang merupakan pekerja pada usaha mikro kecil. Kelompok pekerja ini wajib diupah minimal 50 persen dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi, dan paling sedikit 25 persen di atas garis kemiskinan tingkat provinsi.
Terkait rendahnya UM di beberapa wilayah, sebenarnya sudah dicakup dalam PP 36 tahun 2021 tentang dasar penghitungan UM. PP ini disusun dengan prinsip memacu laju pertumbuhan UM yang terlampau rendah dan menahan laju pertumbuhan UM di wilayah-wilayah capaiannya sudah tinggi. Tentu perlu diapresiasi jika PP ini betul-betul diimplementasikan untuk mengurangi kesenjangan upah. Namun permasalahan upah negara kita bukan itu saja.
Masalah lain yang juga penting adalah bagaimana agar upah efektif yang diberikan kepada pekerja tidak lagi hanya sekedar mengikuti UM. Upah efektif diamanatkan lebih besar dari UM dimana besarannya dapat ditentukan ruang diskusi bipartite antara pekerja dan pengusaha. Sayangnya, dalam rilis Apindo, ruang diskusi ini digambarkan sangat kecil dengan alasan UM sudah terlampau tinggi.
Hal ini sangat terkait dengan fenomena dimana serikat pekerja Indonesia terus menerus menuntut kenaikan UM. Menurut penelitian Siregar (2019) salah satu alasan yang mendasari aktivitas serikat pekerja ini adalah karena minimnya ruang negosiasi antara pekerja dan pengusaha terkait kenaikan upah. Sehingga salah satu usaha yang bisa dilakukan para pekerja untuk mendorong kenaikan upah adalah dengan menuntut kenaikan UM tiap tahunnya.
Menaker sendiri menyebutkan bahwa upah efektif haruslah berdasarkan produktivitas dan bukan hanya berdasarkan UM. Namun masih banyak perusahaan yang belum memiliki struktur standar upah (SSU) yang jelas sesuai dengan ketentuan. Tanpa SSU, pekerja cenderung dibayar sebesar UM meski masa kerjanya sudah lebih dari setahun.
Pekerja tidak akan termotivasi meningkatkan produktivitas jika mereka tahu persis upah yang mereka terima akan sama tiap bulannya. Jika pekerja diminta untuk lebih produktif, sudahkan para pengusaha menyediakan sarana dan kesempatan? Jika nantinya banyak pekerja yang produktif, siapkah pengusaha memberi upah yang sesuai? Jangan-jangan, produktif atau tidak, pengusaha memang hanya mampu memberi upah sesuai UM?
Secara hitung-hitungan sesuai rumus yang ditetapkan, UM di beberapa wilayah memang sudah cukup tinggi. Di beberapa wilayah lainnya UM justru bisa sangat rendah. Kenaikan UM memang ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PE) wilayah. Namun penetapan UM (setting) menggunakan data dan indikator yang lebih banyak dan lebih rumit daripada itu. Misalnya rata-rata konsumsi harian masyarakat. Rentang angka ini cukup besar secara nasional. Maka tidak heran jika rentang UM nasional pun besar --kembali ke Indeks Kaitz yang tinggi.
Terlepas dari itu semua, isu pengupahan tidak bisa diselesaikan hanya dengan penyesuaian UM saja. Para pengusaha perlu memeriksa kembali kepatuhan mereka terhadap peraturan UM selama ini. Sudahkah menyediakan ruang diskusi upah yang cukup dengan para pekerja? Para pekerja juga perlu paham posisinya di tempat kerja. Apakah termasuk kelompok yang berhak mendapatkan UM? Atau malah seharusnya sudah layak diupah sesuai SSU?
Menaker perlu mengingat kembali fungsi dasar dari UM, yaitu untuk melindungi dua belah pihak baik pekerja maupun pengusaha. Tidak perlu rasanya menekankan argumen yang berat sebelah seakan-akan pengusaha akan tidak berkembang karena tingginya UM. Keduanya harus dilindungi dan dijaga haknya, bukan diadu seakan kemajuan salah satunya bisa menarik mundur yang lain.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini