Rumah Kaca Generasi Alfa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Rumah Kaca Generasi Alfa

Kamis, 25 Nov 2021 11:38 WIB
Hasrul Putra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ganti Nama Jadi Meta, Facebook Fokus Pengembangan Metaverse
Foto ilustrasi: DW (News)
Jakarta -

Beberapa menit sebelum mata terpejam, anak sulung saya yang belum genap 7 tahun tiba-tiba datang. Mukanya serius. Seperti dipenuhi banyak tanda tanya pada raut polosnya. "Ayah, apa megalodon punah juga karena meteor yang menghancurkan dinosaurus?"

Seketika kantuk saya menguap ke udara. Otak tak punya jawaban. Terpaksa minta bantuan ke mesin maha tahu.

Kejadian macam ini kerap terjadi. Anak Anda atau keponakan, atau anak tetangga mungkin pernah menanyakan pertanyaan sukar. Yang Anda sendiri ragu apakah Anda pernah berpikir seperti itu diumur yang sama belia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertanyaan ini datang dari anak-anak yang mengenal teknologi dan perangkat digital jauh sebelum mereka lahir. Wajah mereka telah dipotret dengan USG 4D sejak dalam kandungan. Menatap teknologi nano sejak umur nol bulan. Bermain-main dengan kecanggihan artificial intelligence sejak usia nol tahun.

Mereka menjadi pribumi-digital dengan taman bermain virtual yang lawah dan meriah.

ADVERTISEMENT

Anak-anak ini punya jauh lebih banyak pertanyaan dari generasi sebelumnya. Juga, punya jauh lebih banyak informasi. Dari Youtube, Roblox, hingga Siri. Informasi datang bertubi-tubi. Seperti badai yang menerjang perahu tanpa cadik dan pelampung.

Kita, orangtua, belum punya definisi pasti atas mereka. Para cendekia hanya membantu kita dengan memberi sebutan heroik bagi mereka. Jika generasi sebelumnya dinamai dengan istilah menakutkan ala perang (baby-boomer) atau deret-deret huruf terakhir (Gen X, Y, Z), generasi anyar ini dinamai dengan penanda sebuah permulaan: Generasi Alfa. Yang pertama. Pelopor.

Generasi ini diisi oleh mereka yang lahir sejak 2010 hingga 2025. Dalam rentang itu, teknologi berkembang dengan laju berlipat-ganda. Dua, empat, enam belas, dua ratus lima puluh enam, dan seterusnya.

Hingga ke suatu kondisi yang oleh John von Neumann dibilangkan sebagai: singularitas teknologi. Ketika teknologi sudah melampaui kecerdasan dan kontrol manusia.

***

Saya lalu mengetik di peramba gawai. Lalu munculah 18 juta hasil pencarian tentang hiu megalodon. Dalam waktu tak cukup satu detik.

Melihat layar gawai, saya dihinggapi lebih banyak pertanyaan dibanding jawaban untuk Si Sulung.

Di detik itu saya sadar bahwa semakin sulit bagi kita untuk memilih dan memilah informasi mana yang valid, penting, juga relevan. Google adalah lautan informasi dengan 20 petabyte aliran data dan 3,5 miliiar pencarian setiap hari.

Itu baru Google. Facebook menyimpan-salurkan 4 juta gigabyte per hari. Semua datang dari status, foto, video, dan aktivitas harian kita. Soal percakapan pribadi, ada 65 miliiar pesan yang lalu lalang di platform Whatsapp setiap hari.

Dunia kita sudah seperti perahu Nuh yang terombang-ambing di tengah air bah informasi. Setiap detik, data diproduksi, diunggah, dibagi, disimpan.

Kita menjadi jejaring pencipta data yang terhubung pada suatu pusat data milik para perusahaan raksasa teknologi.

Data kita itu lalu diolah dan ditampilkan kembali menjadi sesuatu yang lain. Entah itu rekomendasi pencarian, feed Instagram, atauβ€”dalam bentuk paling mutakhir: sebuah dunia digital bernama Metaverse.

Dunia virtual ini digadang-gadang oleh Mark Zuckerberg sebagai sarana virtual yang bisa melampaui keterbatasan fisik kita. Okupasi dunia digital tempat kita bisa bermain, rapat, liburan, menghadiri konser, dan berteleportasi ke mana saja dengan hologram.

Mayapada ini akan menjadi realita normal ketika anak-anak generasi alfa tumbuh remaja. Mereka akan menjadi metaverse-native yang tumbuh dan hidup di sana.

Menjadi warga di rumah kaca virtual dengan avatar dan identitas yang mereka pilih sendiri. Dengan tubuh dan pikiran yang terus terkoneksi dan dimonitor oleh jejaring raksasa korporasi digital.

***

Masalah timbul seperti saya yang kebingungan (atau lebih jujur: tidak tahu) menjawab pertanyaan tentang hiu megalodon. Ada kesenjangan yang terbentang antara Generasi X, Y, Z dengan Generasi Alfa.

Kondisi yang harus segera diatasi jika kita tidak ingin mewariskan orang-orang yang oleh Yuval Noah Harari dinamai sebagai the useless class. Orang-orang yang tidak punya kompetensi atau nilai untuk ditawarkan kepada masyarakat, untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan.

'Kelas tak-berguna' ini terjadi bukan karena orang-orang tidak punya skill. Tapi karena kecakapan itu tidak relevan lagi dengan kebutuhan pasar dan masyarakat. Tenggelam dalam otomatisasi, kecerdasan buatan, juga bio-teknologi.

Kondisi ini bukanlah 'takdir'. Generasi pra-Alfa punya kewajiban untuk menyelesaikan, atau setidak-tidaknya, mengurangi lubang-lubang yang terjadi pada generasi kini. Kita, setidaknya, bisa melihat tiga lubang kesenjangan yang perlu kita seriusi dan selesaikan sebelum anak-anak Alfa tumbuh dewasa.

Untuk generasi yang telah menerima internet sebagai sebuah kebutuhan primer, pertama-tama, Gen Alfa harus berhadapan dengan tidak meratanya infrastrukur digital (digital divide).

Gap ini menganga di berbagai lapis sosial dan teritori. Antara negara maju dan berkembang. Antara Selatan dan Utara. Antara kota dan desa. Kesenjangan ini terjadi karena perbedaan akses ekonomi serta kebijakan publik yang buruk.

Di level global, laporan Deputi Sekretaris Jenderal PBB menyebut hampir setengah populasi dunia masih tidak memiliki akses internet. 3,7 miliiar manusia itu kebanyakan adalah perempuan dan tinggal di negara berkembang.

Kajian tahunan IMD Digital Competitiviness Ranking juga mengafirmasi disparitas ini. Hampir setiap tahun, negara-negara maju berteknologi tinggi seperti Amerika, Hongkong, dan Denmark memiliki kapasitas pengetahuan, teknologi dan kesiapan akan masa depan yang jauh meninggalkan negara-negara seperti Venezela, Botswana, atau Indonesia.

Betapa beda masa depan yang tersedia untuk anak-anak di kedua kelompok negara tersebut.

Tak hanya antar negara, kondisi jomplang ini juga terjadi antarwilayah. Indeks Pembangunan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi 2020 menggambarkan akses dan infrastruktur digital di Indonesia hanya tumbuh 2,53% selama 2019-2020. Jauh dibawah angka pertumbuhan penggunaan yang naik 10,10% dikurun yang sama. Artinya, jumlah pengguna yang begitu cepat tumbuh tidak dibarengi dengan pemerataan akses dan prasarana yang memadai.

Maka tak heran jika Jakarta dan Yogyakarta hampir selalu bertenger di posisi teratas. Sementara, anak-anak di Maluku Utara, NTT, dan Papua harus terus-menerus sabar menunggu pembangunan yang entah kapan bisa merata.

Ketimpangan ini, jika tidak segera diatasi, bisa memperparah disparitas selanjutnya: tingkat literasi digital. Sudah kodrati bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda untuk menerima, menyaring, dan memproses informasi digital. Ada banyak faktor penentu. Terentang dari tingkat pendapatan, perbedaan gender, tingkat pendidikan, hingga masalah psikologi.

Literasi digital yang rendah membuat sebuah potongan berita dapat begitu mudah dipelintir menjadi hoaks. Viral. Plus komentar yang berisi ujaran kebencian serta cyber-bullying. Sebuah surel juga dengan sangat gampang bisa menjadi pintu masuk penipuan online.

Hasil survei Status Literasi Digital Indonesia 2020, misalnya, menunjukkan bahwa hanya sepertiga responden yang dapat membedakan mana hoaks mana informasi yang terverfikasi. Generasi Alfa harus menerima kenyataan bahwa internet bukan hanya taman bermain, tapi juga hutan rimba penuh bahaya.

***

Ketimpangan akses dan literasi digital akhirnya membawa kita pada kesenjangan yang ketiga: perilaku antargenerasi.

Survei yang sama tentang status literasi digital Indonesia menyimpulkan bahwa Gen Y dan Z memiliki indeks literasi digital yang lebih tinggi, sementara kelompok yang lebih tua cenderung memiliki indeks literasi digital yang lebih rendah. Sepertinya, ungkapan semakin tua semakin bijak tidak berlaku di ranah ini.

Temuan ini penting mengingat generasi baby-boomer dan gen X adalah mereka yang saat ini memimpin di sebagian besar institusi publik dan swasta. Yang memutuskan kebijakan politik tentang masa depan semesta digital anak-anak kita. Yang terbata-bata mengeja masa depan.

Generasi hari ini masih terbiasa dengan gawai yang belum berpikir tentang dirinya sendiri. Sekolah, guru, dan kebijakan publik kita masih bergelut dengan permasalahan yang telah ada sejak zaman analog.

Sementara, kecerdasan buatan sedang membawa generasi masa depan pada mesin yang mampu berpikir, belajar, dan mengambil keputusan mandiri.

Anak-anak Generasi Alfa dan setelahnya tidak lagi sekedar menjalani kehidupan linear: tumbuh-sekolah-bekerja-menikmati masa tua. Pada 2048, saat anak-anak Generasi Alfa sedang tumbuh dewasa, orang-orang mungkin sedang sibuk bermigrasi ke semesta-siber. Mereka masuk dan keluar dengan identitas yang cair. Merasakan pengalaman baru yang dihasilkan dari implan chip komputer.

Metaverse itu kini sedang dimatangkan di laboratorium. Sedang dibiayai dengan dana triliunan rupiah. Sedang dikerjakan oleh para penguasa data.

Metaverse itu rumah kaca yang di dalamnya semua perilaku dan keputusan anak-anak kita diawasi dan diarahkan oleh korporasi digital.

Tanpa strategi untuk menutup lubang-lubang kesenjangan, kita akan terus tertatih-tatih. Gagap. Berdiri di pinggiran pusat data, hanya bisa mencari jawaban di mesin pencari. Lalu, mencuit di media sosial yang berisik. Oke Google, tunjukkan kami jalan yang lurus.

Hasrul Eka Putra bekerja di Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads