Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) kian banyak mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Menariknya, gagasan yang mendasari munculnya penolakan-penolakan itu erat kaitan dengan takhayul nasional perihal "ambisi negara untuk melegalkan perzinahan". Padahal, untuk sampai pada kesimpulan legitimasi zina, terdapat lubang ketidaklogisan yang teramat serius tatkala memahami peraturan a quo.
Dari sisi ilmu hukum, Permen PPKS secara kategorial, termasuk ke dalam aturan kebijakan (beleidsregel), dan bukan regeling sebagai peraturan yang sifatnya mengatur dan berlaku umum. Kekeliruan mendudukkan Permen a quo tampaknya menjadi awal dari sekelumit gagasan yang memicu lahirnya kesimpulan terkait legitimasi zina. Dan, kaburnya perbedaan beleidsregel dan regeling berimplikasi pada lahirnya kesimpulan seperti, jika Permen a quo hanya melarang kekerasan seksual, maka secara a contrario perzinahan adalah praktik yang legal. Dan jika legal, maka ia dilindungi oleh negara.
Saya teringat kepada toilet kampus yang diberi tanda pembeda antara laki-laki dan perempuan. Dengan logika a contrario khas kelompok di atas, kampus dianggap secara tidak langsung mengizinkan kepada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang ingin buang air bersama, dapat melakukannya di kelas, kantin, taman kota, jalan raya, dan tempat-tempat yang tidak diberi tanda pembeda jenis kelamin. Sebab, hanya toilet yang diberi tanda pembeda, selain toilet berarti diizinkan oleh kampus.
Demikian betapa tidak masuk akal penafsiran a contrario yang digunakan. Mahasiswa pada umumnya mengerti bahwa tanda berjenis kelamin perempuan pada toilet diperuntukan bagi perempuan. Jika ditafsir secara a contrario, maka laki-laki tidak boleh masuk. Bukan sebaliknya, toilet yang memisahkan jenis kelamin diartikan sebagai izin bercampur di tempat lain, apalagi di tempat yang bukan menjadi wewenang kampus seperti jalan raya dan taman kota.
Demikian pula dalam kasus Permen PPKS, ketika negara mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, maka secara a contrario, dapat dipahami bahwa kekerasan seksual tidak boleh dilakukan oleh pihak yang menjadi subjek dan lokus dalam Permen a quo.
Kesalahpahaman demikian, sekali lagi, diakibatkan oleh gagalnya mendudukkan Permen PPKS sebagai beleidsregel, yakni pedoman operasional administratif, bukan substansi norma baru setara peraturan perundang-undangan. Bahkan, amat disayangkan sikap dari PP Muhammadiyah yang mengklaim telah melakukan kajian mendalam terhadap Permen a quo, tetapi dalam siaran pers yang dirilis justru menempatkannya ke dalam kategori regeling (peraturan perundang-undangan). Padahal teramat terang dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa Permen tidak termasuk bagian dari peraturan perundang-undangan.
Permen Sebagai Mekanisme
Kemudian pertanyaannya, jika betul Permen PPKS bukan alat untuk melegalkan praktik perzinahan, mengapa Permen a quo secara eksplisit tidak melarang perzinahan? Mengapa hanya kekerasan seksual yang diurusi?
Untuk menjawabnya, setidaknya dibutuhkan pemahaman bahwa Permen tidak berwenang untuk menciptakan suatu norma hukum baru layaknya peraturan perundang-undangan. Sekalipun Permen sebagai beleidsregel berbasis pada asas kebebasan bertindak pemerintah, substansi Permen hanya berkisar seputar mekanisme operasional dalam menjalankan/melakukan sesuatu oleh pejabat atau badan tata usaha negara (TUN) di lingkungan administrasi negara.
Hal demikian merupakan konsekuensi dari beleidsregel itu sendiri yang berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konkret, mendesak, dan tiba-tiba yang tengah dihadapi akibat dari stagnasi pemerintahan maupun ketiadaan dan/atau kekurangan aturan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, dapat dipahami mengapa dari segi materiil, Permen PPKS tidak mungkin dapat disusupkan pasal-pasal terkait pelarangan berzina karena hal itu merupakan kewenangan yang dimiliki peraturan perundang-undangan. Bahkan tidak disebutkan secara eksplisit larangan bagi kekerasan seksual itu sendiri dalam Permen PPKS sebab yang demikian telah diatur dalam UUD dan UU sebagaimana dapat dilihat pada konsideran Permen a quoβyang membutuhkan mekanisme operasional tatkala hendak diterapkan di lingkungan perguruan tinggi.
Permen PPKS sebagai beleidsregel, sekali lagi, hanya berurusan dengan mekanisme operasional bagi tugas-tugas pejabat atau badan TUN dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, Pasal 2 huruf a Permen PPKS menegaskan bahwa tujuan Permen a quo ialah sebagai pedoman bagi perguruan tinggi dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Hal itu mengonfirmasi kedudukan Permen sebagai beleidsregel, yakni sebagai mekananisme untuk mendinamisasi keberlakuan peraturan perundang-undangan yang disebutkan pada konsideran Permen PPKS. Di mana, apabila tidak diterbitkannya Permen a quo, segenap aturan berkenaan dengan perlindungan dan pemenuhan hak warga negara itu menjadi tumpul dan zalim. Sebab, tak bisa berbuat apa-apa (tidak berdaya guna) di lingkungan kampus karena ketiadaan mekanisme dalam menjalankannya.
Ibarat toilet kampus sebagai ruang privasi, universitas adalah pihak yang bertanggung jawab menyediakan perlindungan dan pemenuhan privasi civitas akademika dengan menyediakan toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula logika Permen PPKS yang mengupayakan agar kampus menciptakan mekanisme preventif dari tindak kekerasan seksual beserta prosedur tatkala hal tersebut telah terjadi.
Kekerasan seksual adalah kasus anyir yang menjadi rahasia umum di banyak perguruan tinggi tanpa ada prosedur penyelesaiannya selain meminta korban untuk pindah ke perguruan tinggi lain dengan membawa beban trauma sebagai pelajar. Selain melecehkan korban, pola umum semacam itu juga melecehkan amanat UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap warganya.
Sederhananya, kekerasan seksual di perguruan tinggi berada pada titik kemendesakan untuk menjadi landasan yang kuat bagi diterbitkannya Permen PPKS. Permen a quo tidak secara a contrario melegalkan zina. Begitu pula dapat dipahami tatkala Tuhan melarang hamba-hambanya berzina, tidak secara a contrario mengizinkan dan melindungi hambanya yang melakukan kekerasan seksual.
Ang Rijal Amin alumnus Hukum Tata Negara dan Politik Islam UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)
Dari sisi ilmu hukum, Permen PPKS secara kategorial, termasuk ke dalam aturan kebijakan (beleidsregel), dan bukan regeling sebagai peraturan yang sifatnya mengatur dan berlaku umum. Kekeliruan mendudukkan Permen a quo tampaknya menjadi awal dari sekelumit gagasan yang memicu lahirnya kesimpulan terkait legitimasi zina. Dan, kaburnya perbedaan beleidsregel dan regeling berimplikasi pada lahirnya kesimpulan seperti, jika Permen a quo hanya melarang kekerasan seksual, maka secara a contrario perzinahan adalah praktik yang legal. Dan jika legal, maka ia dilindungi oleh negara.
Saya teringat kepada toilet kampus yang diberi tanda pembeda antara laki-laki dan perempuan. Dengan logika a contrario khas kelompok di atas, kampus dianggap secara tidak langsung mengizinkan kepada mahasiswa laki-laki dan perempuan yang ingin buang air bersama, dapat melakukannya di kelas, kantin, taman kota, jalan raya, dan tempat-tempat yang tidak diberi tanda pembeda jenis kelamin. Sebab, hanya toilet yang diberi tanda pembeda, selain toilet berarti diizinkan oleh kampus.
Demikian betapa tidak masuk akal penafsiran a contrario yang digunakan. Mahasiswa pada umumnya mengerti bahwa tanda berjenis kelamin perempuan pada toilet diperuntukan bagi perempuan. Jika ditafsir secara a contrario, maka laki-laki tidak boleh masuk. Bukan sebaliknya, toilet yang memisahkan jenis kelamin diartikan sebagai izin bercampur di tempat lain, apalagi di tempat yang bukan menjadi wewenang kampus seperti jalan raya dan taman kota.
Demikian pula dalam kasus Permen PPKS, ketika negara mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, maka secara a contrario, dapat dipahami bahwa kekerasan seksual tidak boleh dilakukan oleh pihak yang menjadi subjek dan lokus dalam Permen a quo.
Kesalahpahaman demikian, sekali lagi, diakibatkan oleh gagalnya mendudukkan Permen PPKS sebagai beleidsregel, yakni pedoman operasional administratif, bukan substansi norma baru setara peraturan perundang-undangan. Bahkan, amat disayangkan sikap dari PP Muhammadiyah yang mengklaim telah melakukan kajian mendalam terhadap Permen a quo, tetapi dalam siaran pers yang dirilis justru menempatkannya ke dalam kategori regeling (peraturan perundang-undangan). Padahal teramat terang dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa Permen tidak termasuk bagian dari peraturan perundang-undangan.
Permen Sebagai Mekanisme
Kemudian pertanyaannya, jika betul Permen PPKS bukan alat untuk melegalkan praktik perzinahan, mengapa Permen a quo secara eksplisit tidak melarang perzinahan? Mengapa hanya kekerasan seksual yang diurusi?
Untuk menjawabnya, setidaknya dibutuhkan pemahaman bahwa Permen tidak berwenang untuk menciptakan suatu norma hukum baru layaknya peraturan perundang-undangan. Sekalipun Permen sebagai beleidsregel berbasis pada asas kebebasan bertindak pemerintah, substansi Permen hanya berkisar seputar mekanisme operasional dalam menjalankan/melakukan sesuatu oleh pejabat atau badan tata usaha negara (TUN) di lingkungan administrasi negara.
Hal demikian merupakan konsekuensi dari beleidsregel itu sendiri yang berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konkret, mendesak, dan tiba-tiba yang tengah dihadapi akibat dari stagnasi pemerintahan maupun ketiadaan dan/atau kekurangan aturan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, dapat dipahami mengapa dari segi materiil, Permen PPKS tidak mungkin dapat disusupkan pasal-pasal terkait pelarangan berzina karena hal itu merupakan kewenangan yang dimiliki peraturan perundang-undangan. Bahkan tidak disebutkan secara eksplisit larangan bagi kekerasan seksual itu sendiri dalam Permen PPKS sebab yang demikian telah diatur dalam UUD dan UU sebagaimana dapat dilihat pada konsideran Permen a quoβyang membutuhkan mekanisme operasional tatkala hendak diterapkan di lingkungan perguruan tinggi.
Permen PPKS sebagai beleidsregel, sekali lagi, hanya berurusan dengan mekanisme operasional bagi tugas-tugas pejabat atau badan TUN dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, Pasal 2 huruf a Permen PPKS menegaskan bahwa tujuan Permen a quo ialah sebagai pedoman bagi perguruan tinggi dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Hal itu mengonfirmasi kedudukan Permen sebagai beleidsregel, yakni sebagai mekananisme untuk mendinamisasi keberlakuan peraturan perundang-undangan yang disebutkan pada konsideran Permen PPKS. Di mana, apabila tidak diterbitkannya Permen a quo, segenap aturan berkenaan dengan perlindungan dan pemenuhan hak warga negara itu menjadi tumpul dan zalim. Sebab, tak bisa berbuat apa-apa (tidak berdaya guna) di lingkungan kampus karena ketiadaan mekanisme dalam menjalankannya.
Ibarat toilet kampus sebagai ruang privasi, universitas adalah pihak yang bertanggung jawab menyediakan perlindungan dan pemenuhan privasi civitas akademika dengan menyediakan toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula logika Permen PPKS yang mengupayakan agar kampus menciptakan mekanisme preventif dari tindak kekerasan seksual beserta prosedur tatkala hal tersebut telah terjadi.
Kekerasan seksual adalah kasus anyir yang menjadi rahasia umum di banyak perguruan tinggi tanpa ada prosedur penyelesaiannya selain meminta korban untuk pindah ke perguruan tinggi lain dengan membawa beban trauma sebagai pelajar. Selain melecehkan korban, pola umum semacam itu juga melecehkan amanat UUD untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap warganya.
Sederhananya, kekerasan seksual di perguruan tinggi berada pada titik kemendesakan untuk menjadi landasan yang kuat bagi diterbitkannya Permen PPKS. Permen a quo tidak secara a contrario melegalkan zina. Begitu pula dapat dipahami tatkala Tuhan melarang hamba-hambanya berzina, tidak secara a contrario mengizinkan dan melindungi hambanya yang melakukan kekerasan seksual.
Ang Rijal Amin alumnus Hukum Tata Negara dan Politik Islam UIN Sunan Kalijaga
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini