Menutup Lubang Permendikbud Kekerasan Seksual

Kolom

Menutup Lubang Permendikbud Kekerasan Seksual

Lilis Erfianti - detikNews
Senin, 22 Nov 2021 15:18 WIB
Permendikbud No 30 Tahun 2021 Jadi Kontroversi, Ini Isinya
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -
Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) di lingkungan perguruan tinggi (PT), yang diundangkan 3 September 2021 menuai polemik. Maraknya kekerasan seksual, lemahnya perlindungan korban, dan lambannya penanganan kasus di PT diduga melatarbelakangi Kemendikbudristek menerbitkan peraturan tersebut.

Meski demikian, saya menangkap semangat Kemendikbudristek agar semua mahasiswi yang kerap kali menjadi korban atau mahasiswa yang juga memiliki risiko dilecehkan lewat Permendikbud PPKS supaya mendapatkan kepastian hukum. Tetapi, sayangnya belum juga benar-benar diterapkan aturan yang diteken Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dinilai banyak pihak justru melegalkan perzinahan. Terbayang, bahwa hal ini malah bukan menyelesaikan masalah, melainkan menciptakan lubang (masalah) baru. Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi polemik tersebut?

Harus diakui, mencuatnya isu kekerasan seksual yang korbannya umumnya adalah mahasiswi di kampus tentu memprihatinkan dan memantik kemarahan publik. Belum lagi, urusan semakin merosotnya kebebasan akademik dan demokrasi di kampus dengan segala dampaknya juga masih menjadi perbincangan hangat, ditambah kekerasan fisik yang terjadi di sebuah kampus di Solo baru-baru ini. Rasanya, tidak henti-hentinya universitas di Indonesia dirundung malang. Tetapi, sudah selayaknya kita tidak berputus asa, pun dalam menyikapi Permendikbud PPKS.

Apabila dikaji lebih dalam, semangat Permendikbud PPKS sepenuhnya memiliki tujuan mulia, yakni melindungi korban. Adapun, jika memuat tafsir yang seolah melegalkan perzinahan di sini perlu ketegasan dan penegakan oleh masing-masing pemimpin tertinggi (rektor) universitas. Karena, di sini yang perlu digarisbawahi adalah tujuan dari Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 sebenarnya untuk melakukan pencegahan terhadap kejahatan seksual di kampus. Karena sekarang marak kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi. Tapi yang terjadi sebaliknya, mereka melakukan kekerasan seksual kepada orang yang harusnya dilindunginya.

Menolak penerapan Permendikbud PPKS yang masih terlalu dini tentu bukanlah solusi. Alangkah lebih baik jika semua pihak baik dari lembaga agama, organisasi masyarakat, aktivis perempuan, serta pihak-pihak lain memberi masukan untuk melengkapi hal-hal yang dianggap berpotensi menimbulkan masalah baru. Misalnya, potensi lubang-lubang kekerasan seksual atau peluang munculnya modus baru dimana malah melindungi pelaku kekerasan maupun praktik seks bebas agar dilakukan revisi.

Masalah kekerasan seksual ini sebenarnya telah banyak diatur dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia, ambil contoh pada undang-undang perlindungan anak, lalu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hanya saja menyoal kasus yang memakan korban warga kampus tidak spesifik dicantumkan.

Perlu Penegakan Khusus

Solusi pendek dari polemik yang ada sekarang sebenarnya terletak pada kerangka penegakan hukum. Namun, memastikan hal itu benar-benar diterapkan baik oleh para petinggi kampus maupun penegak hukum itu sendiri nampaknya sulit dilakukan. Pertama, belajar dari beberapa pengakuan korban tindak kekerasan seksual di kampus yang sempat viral di media sosial rata-rata mereka bingung harus mengadu kepada siapa.

Kedua, banyak di antara mereka justru tidak mendapat pendampingan hukum dari kampus justru kebanyakan disepelekan manakala berkonsultasi. Ketiga, dan ini yang paling banyak dialami korban mereka malah menerima ancaman, seperti tidak lulus atau kepentingan akademiknya dipersulit jika pelaku kebetulan berprofesi sebagai pengajar atau pejabat kampus.

Di luar kampus, pelaku kekerasan seksual berdasarkan data LBH APIK Semarang kebanyakan dilakukan teman seangkatan bahkan sejak masih duduk dibangku SMA, namun secara kebetulan melanjutkan studi pada kampus yang sama atau kakak kelas di kampus dengan beragam modus dan ancaman.

Mengutip hasil survei LBH APIK Semarang periode Oktober 2021, dari sebanyak 133 responden acak berasal dari berbagai kampus di Kota Semarang, 59 di antaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual dengan rincian 93,38 persen korban perempuan dan 6,02 persen korban laki-laki dan paling banyak berstatus mahasiswa dengan 92,48 persen disusul oleh karyawan sebanyak 4,51 persen, dosen 0,75 persen dan alumni 2,26 persen.

Tragisnya, dalam survei tersebut juga termuat hasil yang menyatakan bahwa sebanyak 72,9 persen korban tidak melakukan pelaporan terhadap kasus yang dialaminya. Lebih parahnya, merunut lokasi kejadian kekerasan seksual sebesar 38 persen terjadi di indekos. Namun beberapa juga terjadi di ruang publik 23 persen, sosial media 22 persen dan kampus sebesar 15 persen, serta tempat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja.

Dan, mengacu data itu, sudah semestinya ada penanganan terhadap korban agar korban tidak merasa sendirian. Pasalnya, kebanyakan korban kekerasan seksual sebagian besar merasa freeze berupa diam, kaku, tidak berkutik, menghindar dan lainnya dikarenakan perasaan shock. Maka, menjadi penting mendukung penerapan Permendikbud PPKS ketimbang sibuk berpolemik yang justru membuat gaduh dan pastinya membuat mereka para korban kekerasan seksual semakin terluka.

Bagaimanapun, segera mengimplementasikan arahan Kemendikbudristek melalui Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagai payung hukum perlindungan bagi korban hingga pemberian sanksi untuk pelaku kekerasan seksual jauh lebih baik. Tak hanya mengeluarkan surat keputusan (SK), lebih dari itu kampus harus lebih tegas dan ekstra untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Berbagai pihak, juga perlu mendorong lagi agar menguatkan aturan tersebut sekaligus dapat memberikan efek jera kepada para pelaku tidak pandang bulu baik pelaku itu dosen maupun mahasiswa.

Serap Aspirasi Publik

Sebaliknya, Mendikbudristek tentu harus mendengarkan aspirasi publik terkait Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Sebab, kerangka kebijakan (policy framework) Permendikbudristek dinilai tanggung dan tidak jelas. Salah satunya, ditandai dengan adanya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Padahal, setiap kampus telah memberikan tugas pada masing-masing civitas kampus semisal wakil rektor bidang kemahasiswaan untuk mengurusi terkait langsung dengan mahasiswa. Selain itu, sanksi dalam Permendikbud juga menimbulkan pertanyaan apakah rektor dapat mengambil alih tugas polisi dalam penindakan terjadinya kekerasan seksual di kampus karena pada peraturan itu termuat penerapan sanksi dan tindak lanjut dan seterusnya.

Jika beberapa kekurangjelasan aturan itu apabila dipaksakan dikhawatirkan membuat tugas seorang rektor tidak mengurusi pembelajaran dan seolah menjadi asisten polisi.

Lilis Erfianti mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Semarang


(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads