Baru-baru ini publik di media sosial dibuat ramai oleh pemberitaan mengenai pandangan Fraksi PKS di DPR terkait dengan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satu anggota parlemen Fraksi PKS menyebut kurang lebih bahwa konsep kekerasan seksual yang ditawarkan oleh beleid di atas adalah "konsep parsial yang bertumpu pada hubungan konsen (sexual consent) ala Barat yang memuji seks walaupun tanpa nikah asal suka sama suka."
Pernyataan tersebut mengundang tanda tanya besar mengenai seberapa jauh teman-teman di Fraksi PKS memahami makna kekerasan seksual itu? Atau apakah sexual consent is a part of sexual violence? Atau jangan-jangan ada tarikan lubang hitam yang menjauh dari pusat gravitasi logika hukum yang dibangun oleh teman-teman Fraksi PKS tersebut. Hal terpenting adalah pernyataan tersebut mengindikasikan ke arah mana keberpihakan teman-teman PKS yang (katanya) mewakili kepentingan dan nilai-nilai religiusitas terutama dalam konsep melindungi prinsip hidup baik fisik maupun jiwa manusia dari berbagai bentuk kekerasan sebagaimana dikenal dalam konsep maqashid syariah.
Perdebatan mengenai sexual consent tidak akan pernah habis jika keliru dalam memahami ruang lingkup kekerasan. Teman-teman Fraksi PKS perlu melihat secara teleologis perumusan kekerasan seksual di dalam Permendikbud Ristek sebagai upaya responsif dalam mencegah dan menyelesaikan berbagai persoalan kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan kampus yang beradab. Memaknai zina sebagai lingkup kekerasan seksual adalah tidak proporsional dan menandakan ada jurang pemisah antara pemahaman mengenai zina dengan kekerasan an sich.
Mir-Hosseini dan Hamzic yang meneliti tentang upaya dan praktik kriminalisasi zina sebagai bagian dari kekerasan seksual di lima negara mayoritas muslim mengungkapkan bahwa upaya dan praktik tersebut merupakan bentuk kontrol penguasa muslim serta kuasa otoritas ulama terhadap persepsi dan aktivitas seksual warganya. Bahkan pada beberapa praktik ternyata keinginan menghidupkan delik zina merupakan strategi politik untuk memenangkan suara di kalangan mayoritas muslim dan membangun citra sebagai pemimpin muslim yang saleh, bukan pada upaya menanggulangi kekerasan seksual.
Pernyataan tersebut mengundang tanda tanya besar mengenai seberapa jauh teman-teman di Fraksi PKS memahami makna kekerasan seksual itu? Atau apakah sexual consent is a part of sexual violence? Atau jangan-jangan ada tarikan lubang hitam yang menjauh dari pusat gravitasi logika hukum yang dibangun oleh teman-teman Fraksi PKS tersebut. Hal terpenting adalah pernyataan tersebut mengindikasikan ke arah mana keberpihakan teman-teman PKS yang (katanya) mewakili kepentingan dan nilai-nilai religiusitas terutama dalam konsep melindungi prinsip hidup baik fisik maupun jiwa manusia dari berbagai bentuk kekerasan sebagaimana dikenal dalam konsep maqashid syariah.
Perdebatan mengenai sexual consent tidak akan pernah habis jika keliru dalam memahami ruang lingkup kekerasan. Teman-teman Fraksi PKS perlu melihat secara teleologis perumusan kekerasan seksual di dalam Permendikbud Ristek sebagai upaya responsif dalam mencegah dan menyelesaikan berbagai persoalan kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan kampus yang beradab. Memaknai zina sebagai lingkup kekerasan seksual adalah tidak proporsional dan menandakan ada jurang pemisah antara pemahaman mengenai zina dengan kekerasan an sich.
Mir-Hosseini dan Hamzic yang meneliti tentang upaya dan praktik kriminalisasi zina sebagai bagian dari kekerasan seksual di lima negara mayoritas muslim mengungkapkan bahwa upaya dan praktik tersebut merupakan bentuk kontrol penguasa muslim serta kuasa otoritas ulama terhadap persepsi dan aktivitas seksual warganya. Bahkan pada beberapa praktik ternyata keinginan menghidupkan delik zina merupakan strategi politik untuk memenangkan suara di kalangan mayoritas muslim dan membangun citra sebagai pemimpin muslim yang saleh, bukan pada upaya menanggulangi kekerasan seksual.
Problem Utama di Perguruan Tinggi
Sesungguhnya keinginan mengatur sexual consent atas dasar zina ke dalam konstruksi kekerasan seksual tidak berakar pada evidence-based. Problem utama yang melanda dunia pendidikan saat ini adalah diskriminasi terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan seksual. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam rentang 2015 β 2020 terdapat 27% aduan kekerasan perempuan di lingkungan perguruan tinggi ke Komnas Perempuan. Angka tersebut adalah tertinggi dibandingkan total keseluruhan institusi pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dari keseluruhan aduan, sebanyak 88% adalah aduan kekerasan seksual.
Survei Kemendikbud Ristek 2019 mencatat kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi menempati urutan ketiga (15%) setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%). Lebih lanjut dalam survei Ditjen Diktiristek 2020 terhadap para dosen di lingkungan perguruan tinggi menyatakan bahwa 77% kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% kesulitan dalam penyelesaian kasusnya. Saya beranggapan bahwa angka tersebut hanyalah yang tampak di permukaan saja, sisanya terkubur dalam palung yang gelap.
Berdasarkan data di atas, kekerasan seksual merupakan problem akut yang perlu penanganan serius dari pemerintah dan pimpinan di perguruan tinggi. Lemahnya penanganan kekerasan seksual diakibatkan oleh setidaknya dua masalah utama. Pertama, paradigma patriarki yang masih langgeng dan bahkan pada beberapa kasus dilapisi oleh persepsi keagamaan yang diskriminatif. Kedua, ketiadaan kebijakan yang mengatur pencegahan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual.
Pada isu pertama, eksistensi kampus sebagai ruang temu ilmiah seolah hanya berputar pada produksi dan daya jelajah akal saja. Namun, diskursus ilmu pengetahuan yang rasional pada tataran praktiknya cenderung bergerak ke arah irasional. Diskursus seharusnya menciptakan kesetaraan (equity), dari sudut pandang gender akan memperkuat gender equality. Tetapi, pertentangan antara das sein dan das sollen selalu memberi gap antara produksi rasio dengan kualitas empiris di lapangan.
Pada konteks inilah irasionalitas terjadi manakala doktrin kesetaraan tersebut tidak mampu menemukan pijakannya dalam membangun persepsi dan bahkan paradigma. Ilmu pengetahuan hanya manis dalam retorika dan asik dalam bahan perdebatan, tetapi tidak terafirmasi dalam tindakan. Pada wilayah inilah pendidikan yang seharusnya menciptakan kesetaraan justru sebaliknya malah tak berkutik menghadapi hegemoni patriarki.
Sebagaimana kacamata Foucault mengenai diskursus, ilmu pengetahuan justru memperkuat praktik relasi kuasa antara dosen dengan mahasiswa, antara pimpinan dengan dosen biasa, antara senior dengan junior di kampus. Hal inilah yang menciptakan diskriminasi yang berpotensi menyuburkan praktik kekerasan seksual di kampus.
Yang paling sulit adalah ketika bangunan patriarki tersebut diperkuat oleh persepsi keagamaan yang pada beberapa sisi cenderung diskriminatif dan seksis, semisal anggapan bahwa kedudukan perempuan meskipun berpendidikan tinggi hanya akan berkutat pada ranah domestik rumah tangga atau yang lebih frontal, penyebab zina adalah penampilan perempuan yang terbuka, padahal dalam banyak kasus justru perempuan berhijab adalah korban kekerasan seksual.
Oleh karena itu, pengetahuan yang cenderung mengakar kuat pada bangunan patriarki perlu dilihat dari sudut pandang pinggiran, termasuk analisis gender dalam membangun diskursus melalui berbagai perlawanan struktural yang dalam kacamata Popova disebut sebagai resistensi diskursif.
Dari keseluruhan kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Komnas Perempuan, kekerasan seksual terjadi akibat beberapa kondisi, yakni relasi kuasa dosen pembimbing, relasi kuasa dosen, relasi kuasa senior ke junior, relasi kuasa pejabat di lingkungan kampus terhadap dosen atau mahasiswa, hubungan toxic dan posesif antar sesama mahasiswa, khususnya jika berpacaran, serta kekerasan seksual berbasis gender online.
Isu yang kedua adalah ketiadaan kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual memberi ruang sebesar-besarnya terhadap praktik misoginis tersebut. Kebanyakan kasus sulit untuk diselesaikan oleh beberapa faktor, yakni kondisi trauma dan psikologi korban, ketakutan akan disalahkan alih-alih pelaku (victim blaming), pelaku adalah orang dekatnya atau orang berpengaruh, ketakutan akan stigmatisasi dari lingkungan kampus, kerabat, bahkan keluarga, pada beberapa kasus sulitnya penyelidik menemukan bukti yang kuat dan enggan menerima visum et psikiatrikum dalam penyelidikan dan hanya berpatokan pada visum et repertum saja, pihak kampus yang cenderung melindungi pelaku (jika pelaku adalah dosen atau staf), dan ketiadaan akses penyelesaian dan pengaduan kasus di kampus.
Tindakan-tindakan koersif dan misoginis tersebut memberi validasi bahwa seksisme sebagai suatu persepsi berakar pada hegemoni patriarki yang kuat sehingga perempuan sebagai korban kekerasan seksual justru teralienasi dan tidak mendapatkan akses keadilan, sementara pelaku justru mendapat impunitas.
Perdebatan Konsensual
Sexual consent atau persetujuan sering dijadikan ukuran bagi aparat penegak hukum dalam menentukan apakah terdapat cukup bukti guna menilai unsur-unsur perkosaan atau pelecehan seksual atau perbuatan asusila itu terjadi. Ukuran tersebut digunakan pada saat ketiadaan bukti fisik atau bukti digital yang dapat menentukan adanya unsur-unsur tersebut. Hal ini tentunya memberikan posisi yang lemah bagi korban maupun penyintas kekerasan seksual dikarenakan bentuk-bentuk kekerasan seksual hanya diakui secara sempit sebagaimana di dalam rumusan KUHP saja.
Sementara itu, kekerasan seksual sebagai suatu kejahatan (mala in se) telah berkembang sedemikian rupa. Permendikbud Ristek menyebut setidaknya ada 21 macam tindakan kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual, perbuatan asusila, catcalling bernuansa seksual, kekerasan seksual berbasis online, membujuk, merayu dan memberi ancaman pada aktivitas seksual, perkosaan atau ancaman perkosaan, hukuman bernuansa seksual, pemaksaan aborsi, dan sebagainya.
Mengenai sexual consent sebagaimana diperdebatkan oleh Fraksi PKS, perlu dilihat secara seksama di Pasal 5 ayat (3), bahwa ukuran sexual consent tidak berlaku dalam hal usia korban belum dewasa, berada dalam ancaman atau paksaan, atau ketimpangan relasi kuasa, di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol dan/atau narkoba, dalam kondisi sakit, tidak sadar atau tertidur, mengalami kelumpuhan dan/atau kondisi terguncang.
Restriksi terhadap sexual consent sebagaimana norma di atas, sudah cukup memberi kejelasan (lex certa) bahwa tafsir sexual consent sebagaimana digugat oleh Fraksi PKS adalah tidak berdasar dan tidak sesuai dengan konteks dan semangat memerangi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Oleh karena itu dalam memerangi kekerasan seksual sebagai suatu kejahatan (mala in se), perlu disadari secara holistik bahwa restriksi sexual consent mengindikasikan upaya pemerintah dalam mempersempit gap yang sering terjadi pada proses penyelidikan.
Dalam kacamata Popova, menilai sexual consent pada praktik pra-ajudikasi, tidak dapat dibaca dalam data-data visum et repertum atau keterangan saksi yang cenderung sulit, melainkan melalui pembacaan pengalaman dan emosionalitas korban melalui visum et psikiatrikum. Pembacaan alat bukti kekerasan seksual tidak dapat dibatasi pada pencarian kredibilitas alat bukti semata, melainkan harus masuk pada wilayah psikologis korban. Senada dengan hal tersebut, Archard menambahkan bahwa adalah penting bagi aparat penegak hukum untuk mengukur alat bukti kekerasan seksual dengan terlebih dahulu memahami konstruksi sexual consent secara utuh dan tidak parsial.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini