Jangan Selalu Menjadi "People Pleaser"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Jangan Selalu Menjadi "People Pleaser"

Minggu, 21 Nov 2021 11:20 WIB
Impian Nopitasari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
impian nopitasari
Impian Nopitasari (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Tanpa sengaja saya melihat tweet seorang teman yang nggrundel karena jengkel dengan kelakuan seseorang yang minta tolong padanya. Jadi ada seorang teman lamanya yang minta tolong pada teman saya ini untuk mengerjakan PR bahasa Jawa anaknya. Teman saya bilang akan dilihat nanti ketika longgar; jujur, dia memang berniat membantu. Tapi yang minta tolong marah-marah karena mintanya dikerjakan saat itu juga alias minta cepat-cepat.

Ya, wajar saja teman saya jadi marah-marah sampai membawa-bawa identitas manusia Jawa. Ya, tidak salah sih. Yang minta tolong itu adalah orang Jawa dan PR anaknya itu juga bahasa Jawa, jadi seharusnya paham bagaimana cara minta tolong menurut unggah-ungguh orang Jawa. Budaya itu bukan selalu tentang pementasan, tapi juga hubungan dengan orang lain. Minta tolong kok maksa ki piye critane?

Teman saya mungkin orang yang cuek jadi masalah seperti ini ya bisa gampang dilupakan. Posisinya memang wajar kalau dia marah. Tapi lain ceritanya jika dia adalah tipe people pleaser seperti saya. Walau sama-sama marah, tapi gampang merasa bersalah. Saya sampai sekarang masih kesulitan untuk bilang "tidak" ke orang lain, walau sudah tak separah dulu. Dulu apa-apa sering saya iyakan meski kadang saya sendiri menjadi kerepotan sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau sekarang sudah bisa bilang "tidak" jika memang tidak bisa. Tapi ada kalanya tidak bisa 100% juga. Saya memang tidak bisa membantu, tapi saya oper ke teman yang lebih bisa; saya tidak bisa meminjami uang sekian, tapi kalau sekian bisa, atau kalau bisa menunggu saya carikan dulu. Intinya belum sepenuhnya menolak. Saya sering diprotes teman soal ini karena katanya saya jadi mudah dimanfaatkan orang lain.

Saya sering juga dimintai mengerjakan PR anaknya teman. Tidak jarang yang minta tolong itu maksa untuk mengerjakan saat itu juga. Padahal sering sekali itu tentang menulis aksara Jawa. Handphone saya kebetulan tidak support untuk menulis aksara tersebut karena tampilannya terpotong. Jadi mau tidak mau harus tulis manual. Mencari kertas dan pulpen tentu saja merepotkan apalagi kalau saat itu saya punya kesibukan sendiri.

ADVERTISEMENT

Sebenarnya bukan saya tidak mau membantu, tapi mbok ya nanti ketika saya longgar. Tapi karena tidak langsung membantu sering saya dicap pelit. Saya paling sebal kalau dicap pelit hanya karena hal tersebut. Sebal karena memang pada awalnya ingin membantu dengan ikhlas, tapi hanya karena tidak segera dikerjakan langsung dihakimi seperti itu. Minta tolong kok maksa banget.

Ada cerita tentang mahasiswa yang melakukan penelitian dan butuh saya sebagai narasumber. Tenang saja, ini bukan mahasiswa yang meneliti buku saya untuk skripsi kok. Kalau jenis ini mereka aman semua. Ini mahasiswa yang kebetulan melakukan penelitian tentang keterlibatan saya dalam suatu komunitas atau tentang tema yang saya tulis di media. Ada yang menghubungi untuk melakukan wawancara dan menentukan harinya sendiri.

Kebetulan waktu itu saya memang sedang bedrest total dan selama dua minggu butuh istirahat dan tidak ingin memikirkan hal-hal yang memusingkan. Tapi mahasiswa ini memaksa saya untuk melakukan wawancara pada hari istirahat saya. Padahal sudah bilang bukannya saya tidak mau membantu, tapi saya butuh istirahat. Tapi malah dia bergosip tentang saya yang bilang bahwa saya pelit dan sombong. Saya menegurnya dengan keras.

Sudah sewajarnya saya marah, tapi yang bikin jengkel, saya masih saja merasa bersalah. Masih saja bertanya apakah saya berlebihan.

Ada lagi yang minta wawancara dan saya bilang bahwa hanya bisa via teks. Si mahasiswa ini masih ngotot untuk minta wawancara via Zoom. Jujur saja waktu itu saya dalam kondisi tidak mood untuk berinteraksi dengan orang. Tapi dalam hati saya masih ingin membantu. Ya, apa salahnya sih memudahkan proses lulusnya seseorang? Jadi saya ambil jalan tengahnya. Dengan teks di lembar word akan mudah bagi saya menjawab pertanyaan tanpa harus menatap muka seseorang.

Pada dasarnya saya tipe orang yang tidak suka nge-Zoom. Teks juga lebih memudahkan saya menjawab karena masih bisa mikir dahulu jawabannya dengan lebih baik. Beda ketika harus menatap langsung orang tersebut. Apalagi memang wawancaranya tidak wajib bertatap muka. Jadi apakah saya salah? Bukannya saya masih mau membantu? Kenapa orang-orang yang minta tolong ini malah membuat jengkel yang diminta tolong sih?

Saya pernah dinasihati teman saya untuk jangan memaksakan diri ketika memang tidak bisa menolong orang lain. Menolong sesuai kemampuan saja. Jangan selalu merasa bersalah dengan apa yang seharusnya tidak membuat rasa bersalah. Karena kenyataannya bukannya mau abai, tapi memang kemampuan yang terbatas.

Dia mencontohkan kenalannya yang punya hobi animal hoarding. Seseorang yang suka memungut binatang yang sepertinya niatnya untuk dirawat, tapi karena kebanyakan malah jadi menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Dalam kasus kenalan teman saya ini dia suka memungut kucing dan untuk pakan sehari-harinya mengandalkan donasi.

Beda dengan rescuer seperti salah satu akun rescuer kucing di Instagram. Setahu saya pemilik akun tersebut memang bekerja. Donasi memang diterima, tapi sebagai tambahan. Intinya dia mampu dan merawat kucing-kucing di sana dengan baik. Ketika ada adopter yang amanah dan lulus seleksi juga dipersilakan untuk merawat kucing tertentu sesuai prosedur yang ditentukan.

Memungut binatang terlantar untuk dirawat memang baik. Orang-orang juga akan menaruh simpati. Tapi semua itu seharusnya memang sesuai kemampuan. Me-rescue dan mengoleksi itu berbeda. Ketika hanya memungut mereka malah akan menjadi sumber masalah lain. Kalau binatang itu tidak terawat akan jadi sumber penyakit untuk dia sendiri dan orang lain.

Menyayangi binatang tidak harus mengumpulkan mereka dalam satu tempat ketika memang tidak mampu. Kita masih bisa memberi makan mereka di alam liar semampunya (kucing dan anjing misalnya). Jika ada kemampuan lebih, bisa mensteril mereka dan membawa ke dokter ketika sakit atau untuk dicek kesehatannya. Daripada memaksakan mereka dalam satu tempat, tapi tidak amanah dalam merawatnya. Menolong ada batasnya.

Sebagai orang yang selalu ingin menolong orang lain, melatih diri untuk tidak merasa bersalah ketika memang tidak bisa menolong bukanlah hal yang mudah. Sering saya masih merasa bersalah ketika di jalan ada yang kucing yang lapar, tapi saya tidak bisa memberinya makan atau orang tua yang tidak bisa saya seberangkan karena saya sedang berada di dalam kendaraan umum dan tidak mungkin untuk turun, misalnya.

Kondisi saya memang tidak memungkinkan untuk menolong, seharusnya memang tidak apa-apa. Ketika tidak bisa meminjami uang kepada orang karena diri sendiri sedang bokek, seharusnya juga tidak apa-apa. Ketika tidak bisa mengerjakan sesuatu yang diminta orang lain karena memang sedang tidak bisa, ya sudahlah. Namanya manusia pasti punya batas kemampuan. Jangan selalu menjadi people pleaser. Teorinya begitu. Tapi praktiknya benar-benar butuh perjuangan.

Jangankan gagal menolong orang lain, menulis kolom ini saja kalau kelihatannya tidak bagus, rasanya tetap bersalah kok. Hehe.

Mendungan, 20 November 2021

Impian Nopitasari penulis

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads