Sudah sejak lama, parade kekerasan menjadi tontonan kita. Baik melalui media maupun di keseharian kita. Banyak film menyajikan adegan kekerasan, misal napi baru "diospek" oleh napi senior. Bahkan beberapa waktu lalu sempat viral aksi kekerasan justru dipertontonkan oleh oknum aparat, yang harusnya mengayomi masyarakat.
Tak terkecuali di dunia pendidikan, mahasiswa baru akan "dikerjai" oleh seniornya. Ada yang terang-terangan, lebih banyak lagi yang terselubung melalui kegiatan kemahasiswaan. Namun praktiknya tak kalah mengerikan. Seperti berita baru-baru ini, dunia pendidikan tanah air kembali berduka. Seorang mahasiswa PTS ternama, tewas akibat ulah para seniornya. Kejadian ini kembali mencoreng sekaligus menampar wajah pendidikan kita. Pasalnya kejadian seperti ini bukan yang pertama.
Mungkin kita tidak habis pikir, kenapa di lembaga pendidikan yang notabene merupakan tempat berkumpulnya orang-orang intelek, masih terjadi praktik-praktik kekerasan. Suasana akademis harusnya bisa membuat mereka berpikir dan bertindak rasional. Jelas mereka bukan orang-orang bodoh, karena setiap calon mahasiswa perlu melewati proses seleksi akademis ketat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktik kekerasan di perguruan tinggi telah merusak citra kampus. Citra mahasiswa berkacamata dan selalu menenteng buku, berganti jadi monster sangar dan menakutkan. Tentu saja hal ini membuat khawatir banyak orangtua. Bila di kampus para senior bangga karena merasa telah lebih lama menjadi mahasiswa, lalu apa bedanya dengan napi yang ada di penjara? Bila yang kuat yang berkuasa, lalu apa bedanya kampus dengan terminal?
Sebenarnya praktik kekerasan baik secara fisik maupun mental banyak kita temui. Di rumah ada orangtua melakukan kekerasan kepada anaknya. Bukan karena tidak tahu itu buruk, namun biasanya untuk menutupi ketidakmampuan memenuhi permintaan anaknya. Ada karyawan lama melakukan kekerasan kepada karyawan baru karena merasa posisi terancam.
Kekerasan adalah cara yang paling purba dalam latihan penguatan mental. Memang persaingan global makin ketat. Para mahasiswa perlu menyiapkan diri sedini mungkin, agar ketika lulus nanti tidak jadi pengangguran. Kompetensi dan mental seperti apa yang harus dimiliki agar tidak kalah bersaing, itu yang harus dikembangkan.
Pemerintah melalui program merdeka belajar kampus merdeka (MBKM) memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih bidang yang mereka sukai. Tujuannya adalah mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Mahasiswa memiliki keleluasaan untuk belajar di luar kampus. Konsep tersebut terus dikembangkang oleh Kemendikbud sebagai upaya untuk mendapatkan calon pemimpin masa depan yang berkualitas.
Namun program tersebut tidak serta merta menyibukkan mahasiswa. Misalnya bagaimana agar bisa magang di perusahaan bonafid. Padahal dalam program magang banyak perusahaan yang menyeleksi menggunakan standar rekrutmen tenaga kerja baru. Tujuannya adalah agar setelah selesai magang, peserta bisa langsung direkrut sebagai tenaga kerja.
Perguruan tinggi tentu sangat responsif menyikapi setiap isu perubahan. Secara formal institusional, respons ini diejawantahkan dalam bentuk kurikulum. Masalahnya apakah kurikulum telah menyentuh mahasiswa sebagai target utama? Selain menyiapkan lulusan yang kompeten dan siap kerja, apakah kurikulum merdeka belajar juga dirancang menjadikan mahasiswa berpikir merdeka? Sementara pola-pola kekerasan sebagai warisan "fast food" dari para senior dungu tetap digunakan. Padahal sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian.
Saya sempat berpikir, apa mungkin para mahasiswa tidak mampu menciptakan model pembinaan baru bagi para juniornya. Rasanya tidak mungkin, mahasiswa yang dikenal cerdas dan kritis pasti cukup kreatif menciptakan cara-cara baru, apalagi hanya untuk kegiatan rutin Pendidikan Latihan dasar (Diklatsar). Lihatlah lembaran sejarah bangsa ini. Bagaimana peran besar mahasiswa mulai dari masa kemerdekaan sampai masa reformasi. Mereka hadir dengan gagasan-gagasan cemerlang.
Tradisi senior-junior di dunia pendidikan telah berlangsung sejak lama. Ada sebagian orang yang menganggap kehadiran orang baru adalah ancaman. Misalnya di tempat kerja kehadiran karyawan baru akan dianggap ancaman bagi karyawan lama. Tentu ini hanya berlaku bagi karyawan yang memiliki kinerja buruk. sering bolos dan tidak produktivitasnya rendah.
Bagi mahasiswa yang minim prestasi satu-satunya hal yang bisa dibanggakan adalah keberadaan dirinya. Bahwa ia telah berada di kampus lebih lama dari juniornya. Merasa lebih berpengalaman dan dari sisi usia lebih tua. Meski terkadang tidak lebih pintar. Selanjutnya ia menuntut pengakuan dan rasa hormat. Pada tingkat yang lebih ekstrem muncul ungkapan "senior selalu benar".
Yang tidak boleh dilupakan para orangtua dan para pemangku kebijakan di dunia pendidikan adalah bahwa setiap orang memiliki kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk merealisasikan seluruh potensi dan kebutuhan menjadi kreatif. Di dunia pendidikan aktualisasi diri bisa diwujudkan melalui prestasi akademik maupun non akademik. Mahasiswa dengan IPK yang tinggi akan mendapatkan banyak respect dari teman-temannya. Begitupun bila seseorang berprestasi di bidang non akademik seperti olahraga.
Masalahnya setiap orang memiliki talenta berbeda dan tidak setiap talenta bisa dianggap prestasi. Juga tidak setiap orang memiliki intelegensi tinggi. Sementara ada kebutuhan akan pengakuan dan rasa hormat dari teman dan juniornya. Mungkin kekerasan yang dilakukan para mahasiswa senir merupakan salah satu cara mereka menjaga mengaktualisasi diri. Melestarikan status senior-junior adalah cara agar hegemoninya tidak terancam.