Pandemi, UMP, dan Kebutuhan Hidup Layak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi, UMP, dan Kebutuhan Hidup Layak

Kamis, 18 Nov 2021 12:15 WIB
Dian Septi Trisnanti
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
UMP Artinya Upah Minimum Provinsi, Ini Penjelasannya
Ilustrasi: Infografis detikcom/Fuad Hasim
Jakarta -

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 telah menyebabkan banyak manusia terkorbankan. Baik secara medis, sosial, ekonomi, maupun politik. Alih-alih diiringi dengan kebijakan penanganan pandemi yang efektif, pemerintah justru secara simultan mengesahkan regulasi bermasalah di tengah keterbatasan gerak rakyat. Salah satu regulasi bermasalah ini, dalam pandangan kami sebagai serikat buruh, yaitu regulasi mengenai pengupahan melalui Undang-Undang Cipta Kerja beserta PP 36/2021 sebagai turunannya. Formula yang diatur dalam regulasi ini, secara pasti telah menggerus upah buruh.

Besaran UMP DKI Jakarta 2021 yang mengacu pada rumus baru naik dari Rp 4,27 juta menjadi Rp 4,36 juta. Padahal, bila dihitung dengan rumus lama, UMP Jakarta 2021 bisa naik lebih tinggi, yakni Rp 4,66 juta. Cerita upah murah ini berlanjut hingga sekarang. Besaran UMP Jakarta 2022 dengan mengacu rumus baru, diperkirakan hanya akan naik 0,85% atau Rp 37,749. Sementara, DI Yogyakarta yang merupakan daerah dengan UMP terendah, bila memakai rumus lama, UMP 2021 seharusnya naik dari Rp 1,57 juta menjadi Rp 1,71 juta. Namun, dengan rumus baru, kenaikan UMP DIY 2021 hanya menjadi Rp 1,67 juta. Sementara untuk UMP 2022, dengan rumus baru, hanya naik 4,04% atau Rp 75.673.

Dalam PP 36/2021, upah minimum tidak lagi ditetapkan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) yang kemudian dirundingkan dalam Dewan Pengupahan, tetapi Upah Minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan variabel tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga BPS memainkan peran kunci penentuan upah, menggantikan Dewan Pengupahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, tak jarang ditemui pengusaha yang membayar upah buruh di bawah UMP atau UMK. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2021, sebanyak 49,67% pekerja masih digaji di bawah upah minimum. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha mengupah buruh sesuai standar minimum hanya pada kisaran 49-57%. Artinya, jauh sebelum pandemi pun, pelanggaran upah sudah dilakukan oleh para pengusaha.

Tingginya pelanggaran pembayaran upah sesuai standar upah minimum berkaitan erat dengan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan akibat minimnya jumlah pengawas ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 1.568 orang. Itu pun terpusat di Jakarta atau ibu kota provinsi saja. Padahal, idealnya dibutuhkan 6.000 pengawas yang tersebar di semua kabupaten/kota. Meski mengetahui problem krusial ini, negara tidak melakukan perbaikan dan konsisten menerapkan politik upah murah.

ADVERTISEMENT

Tak Menikmati Pertumbuhan

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2021 dinyatakan meningkat sebesar 7,07%. Namun, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada sisi pengeluaran PDB kuartal II yang hanya sebesar 5,93%. Pertumbuhan ini lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi pemerintah sebesar 8,6%.

Merosotnya konsumsi rumah tangga, khususnya buruh, juga didukung oleh penelitian Asia Floor Wage Association (AFWA) pada 2021 yang menyatakan total konsumsi rumah tangga tahun 2020 berkurang lebih dari 10%. Sebelum pandemi, tingkat konsumsi buruh berkisar US$239 dan turun menjadi US$213 pada Juli 2020. Pada akhir 2020 terjadi peningkatan konsumsi sebesar US$231, namun angka itu masih jauh di bawah tingkat konsumsi sebelum pandemi.

Sementara itu, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah pada Maret 2021, akibat gelombang PHK selama pandemi, sekitar 2,56 juta orang menjadi pengangguran. Sekitar 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja; 1,77 juta orang penduduk sementara tidak bekerja; dan 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja. Seiring dengan hilangnya pekerjaan, penghasilan buruh turut menghilang.

Sebagian yang lain, upahnya semakin berkurang bersamaan dengan pengurangan jam kerja selama pandemi. Dari sekian dampak pandemi, buruh perempuan menjadi bagian yang paling rentan karena banyak terserap dalam sektor ekonomi yang paling terdampak pandemi seperti sektor akomodasi dan jasa makanan, manufaktur, perumahan, aktivitas bisnis dan administrasi, hingga sektor informal.

Fakta-fakta di atas menunjukkan kenyataan bahwa buruh dan masyarakat miskin lainnya sama sekali tidak menikmati pertumbuhan ekonomi melainkan hanya merupakan berkah bagi kelas menengah ke atas.

Upah Layak Nasional

Bila negara sudah mencoret kepentingan kaum buruh dalam agenda pemulihan ekonomi, maka sudah sepantasnya kaum buruh memaksa kehadiran negara untuk menjalankan kewajibannya menjamin penghidupan layak seluruh warga negara, tak terkecuali kaum buruh dan keluarganya. Hal ini sejalan dengan imperatif Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Di berbagai kota, buruh telah bergerak melakukan survei KHL dan mengeluarkan tuntutan nominal sesuai komponen kebutuhan hidup layak yang berubah seiring dengan situasi pandemi. Aliansi Buruh Jawa Tengah misalnya, menuntut kenaikan upah minimum dengan mengacu kebutuhan hidup selama pandemi dan menghasilkan prosentase kenaikan upah sebesar 16%. Hal ini dikarenakan selama ini tingkat upah di Jawa Tengah telah begitu rendah karena secara konsisten menerapkan politik upah murah demi menarik minat investor.

Kesenjangan upah antarkota/kabupaten dan provinsi semakin menjauhkan kesejahteraan yang merata, membuat antardaerah berlomba-lomba memperburuk pemenuhan hak buruh demi meningkatkan minat investor. Tak hanya upah rendah, namun tingginya angka pengangguran merupakan conditio sine qua non dalam mempertahankan rendahnya upah. Di samping itu, buruknya penegakan hukum ketenagakerjaan, pelemahan kekuatan serikat buruh melalui union busting, serta degradasi kualitas lingkungan juga akan menjadi kondisi ikutan dalam upaya memanjakan investor-investor yang sudah kelewat kaya.

Kesejahteraan yang merata tanpa diskriminasi dengan standar upah layak nasional merupakan jalan yang patut dilakukan oleh pemerintah. Upah layak nasional yang telah diusung oleh gerakan buruh sejak tahun 2006 dan terus menemukan pembenarnya untuk segera diwujudkan. Standar upah layak nasional semestinya mengacu pada kebutuhan riil buruh dan keluarganya secara nasional, dimana kebutuhan fisik dan mental buruh serta keluarganya bisa terpenuhi, terlebih di masa pandemi. Bukan standar kebutuhan yang sebelumnya selalu dibatas-batasi oleh negara dengan standar paling minim, bahkan cenderung tidak manusiawi.

Dian Septi Trisnanti Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads