Angin Segar bagi Koruptor

Kolom

Angin Segar bagi Koruptor

Ibnu Syamsu Hidayat - detikNews
Kamis, 18 Nov 2021 11:06 WIB
Poster
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -
Pelemahan pemberantasan korupsi seakan perjalanan yang telah disiapkan rutenya dengan sistematis. Beberapa tahun terakhir ini pemberantasan korupsi di Indonesia satu per satu mulai dilemahkan. Dari segi yuridis, dapat dilihat dari ngototnya revisi UU KPK yang melemahkan upaya KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Dari segi internal pelaksana pemberantasan korupsi, proses alih status pegawai KPK yang cacat prosedural dan diindikasikan hanya untuk membuang pegawai-pegawai KPK yang memiliki integritas dan kemampuan yang tidak diragukan lagi.

Dan, yang terbaru adalah perlawanan dari narapidana korupsi yang melakukan uji materi kepada MK dan MA untuk membatalkan ketentuan pemberian remisi sebagaimana tertuang dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

Advokat senior OC Kaligis, terpidana tindak pidana korupsi suap hakim dan panitera PTUN Medan mengajukan uji materiil ke MK atas ketentuan Pasal 34A, Pasal 34A, Pasal 36A, Pasal 43A dan Pasal 43B Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam permohonannya, OC Kaligis mendalilkan bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut telah mengakibatkan kerugian konstitusional, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa uji materiil yang berkaitan dengan ketentuan remisi ini pernah diajukan. Pertama, pengujian konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 bertanggal 7 November 2017 dengan amar menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, permohonan pengujian kembali norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XVI/2018, bertanggal 30 Januari 2019 dengan amar menolak permohonan Pemohon karena dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah tidak menemukan adanya alasan konstitusional baru untuk menguji kembali norma pasal tersebut.

Walaupun secara substansi permohonan tersebut pernah diajukan, MK tidak menganggap ne bis in idem. Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas.

Selain itu, terdapat perbedaan substansi permohonan, yaitu Pemohon dalam permohonan a quo menyertakan pengujian Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995, di samping adanya perbedaan alasan permohonan Pemohon dengan permohonan sebelumnya karena dalam permohonan a quo Pemohon lebih menitikberatkan pada akibat dari Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 yang menurut Pemohon bersifat multitafsir sehingga memungkinkan adanya campur tangan pihak lain dalam persyaratan pemberian remisi bagi narapidana dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.

Membuka Ruang

Putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 memberikan pesan kepada pemerintah untuk mengubah syarat atau ketentuan pemberian remisi bagi narapidana. Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa setiap narapidana memiliki hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, MK menyatakan bahwa pemberian remisi berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

Menurut Mahkamah, penahanan atas diri pelaku tindak pidana, menempatkan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan, pada dasarnya merupakan perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karenanya, selama menjalani penahanan seseorang tersebut harus tetap diberikan hak-hak yang bersifat mendasar dengan prinsip satu-satunya hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas sebagaimana halnya orang lain yang tidak sedang menjalani pidana.

Selain itu, pembuka pintu untuk mengubah ketentuan remisi ini terdapat dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 41/PUU-XIX/2021 yang menyatakan bahwa walaupun ketentuan remisi harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, karena hal tersebut merupakan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights), tetapi MK tetap memberikan angin segar untuk koruptor.

MK memberikan ketentuan bahwa persyaratan yang ditentukan tidak boleh bersifat membeda-bedakan, karena dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan. Selain juga harus mempertimbangkan dampak over crowded di Lapas yang juga menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Padahal, adanya ketentuan atau syarat yang berbeda dalam pemberian remisi untuk narapidana umum dengan narapidana khusus sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan suatu terobosan yang sangat progresif, sangat sesuai dengan permasalahan bangsa, yakni menjamurnya tindak pidana korupsi yang merugikan warga negara Indonesia.

Selain itu, hal tersebut merupakan pengejawantahan dari konsep korupsi sebagai bagian kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), bahkan di dalam United Nations Convention Against Corruption mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

MA Mengubah Ketentuan Remisi

Selain OC Kaligis, permohonan uji materi juga diajukan di MA oleh narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat. Pemohon mendalilkan bahwa mereka dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), Pasal 43A ayat (1), dan Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon tersebut mengatur syarat bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal. Yakni, bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti.

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Uji Materi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. MA menilai bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pertimbangan hakim MA Persis dengan penggalan pertimbangan hakim MK yang menyatakan bahwa pemberian remisi adalah hak setiap narapidana, dan persyaratan atau ketentuan pemberian remisi tidak boleh dibeda-bedakan.

Hakim MA dalam putusan uji materiil PP Nomor 99 Tahun 2012 menyatakan bahwa norma hukum pasal a quo bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 1995; artinya MA menyatakan bahwa ketentuan Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34 A ayat (3), Pasal 43 A ayat (1), dan Pasal 43 A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mempersulit pemberian remisi untuk pelaku koruptor dan tindak pidana khusus lainnya tidak berlaku.

Hakim MA menilai bahwa fungsi pemidanaan tidak hanya soal memenjarakan pelaku dengan tujuan agar ada efek jera, tetapi merupakan usaha untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sesuai dengan model restorative justice. Sama dengan pertimbangan MK, hakim MA menilai bahwa hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa kecuali dan berlaku bagi semua narapidana dan syarat pemberian remisi tidak boleh dibeda-bedakan.

Sejatinya, menghukum koruptor dengan pidana yang seberat-beratnya bukan hanya pembelajaran bagi terpidana tindak pidana korupsi, tetapi juga memberikan peringatan kepada ribuan bahkan jutaan penyelenggara negara untuk tidak melakukan praktik tindak pidana korupsi dalam menjalankan pekerjaan mereka. Hukuman ringan bagi pelaku koruptor cenderung akan dianggap sepele oleh penyelenggara negara lainnya, yang akhirnya berujung pada korupsi bukan lagi perbuatan yang ditakuti.

Apalagi secara sosiologis, perilaku koruptor bertentangan dengan norma di masyarakat. Kerugian dari tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan satu individu saja, melainkan merugikan jutaan umat warga negara Indonesia, sehingga cara-cara pemidanaan yang berat patut diterapkan bagi koruptor, salah satunya adalah tidak memberikan remisi bagi koruptor.

Selain itu, saya menilai bahwa pemberian remisi untuk narapidana korupsi dengan alasan karena di dalam penjara telah berkelakuan baik bukan alasan yang sepenuhnya benar. Saya menganggap perilaku baik yang ditunjukkan tersebut adalah semata-mata motif untuk mendapatkan remisi.

Dan, yang paling penting belajar dari pengalaman Kementerian Hukum dan HAM yang kecolongan dengan pulangnya buronan kasus korupsi Harun Masiku masuk Indonesia melalui Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta. Sehingga jika dikaitkan dengan ketentuan pemberian remisi adalah hak setiap narapidana tanpa dibeda-bedakan jenis kejahatannya, siapakah yang akan mengawasi pemberian remisi ? hal ini akan rentan untuk melukai rasa keadilan dalam masyarakat.

Pemberian remisi akan rentan dimainkan oleh para mafia hukum. Perlu diketahui, akibat mafia hukum, negara sering kecolongan dan keadilan bisa diotak-atik. Pemberian remisi memang hak pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tetapi apakah ada jaminan jika pemberian remisi tersebut tidak disalahgunakan?

Ibnu Syamsu Hidayat advokat di Themis Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads