Pelajaran Mengingat dan Ruang Belajar Mandiri
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Pelajaran Mengingat dan Ruang Belajar Mandiri

Rabu, 17 Nov 2021 14:05 WIB
Mohammad Lutfi Maula
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Shot of two young women using a laptop together in a college library
Foto ilustrasi: Getty Images/PeopleImages
Jakarta -

Satu dekade lalu, ketika saya duduk di bangku SD, orangtua saya memberikan tantangan. Kata mereka, seandainya saya memperoleh ranking satu di kelas, mereka akan membelikan konsol gim PlayStation 2 untuk saya. Tentu tantangan itu tak ujug-ujug mereka layangkan begitu saja. Selain karena secara beruntun tiga semester saya selalu berada di peringkat tiga besar dan tak pernah menduduki peringkat pertama, dugaan saya pada saat itu, mereka terlampau jenuh mendengar rengek anaknya yang melulu minta dibelikan PlayStation 2.

Saya dapat mengingat hal itu dengan jelas sampai saat ini, bahkan mampu merinci rentetan peristiwa yang melatarbelakangi orangtua saya tetap membelikan konsol gim tersebut kendati saya gagal dalam tantangan yang mereka berikan; terutama bagaimana saya begitu deg-degan ketika pembagian rapor, lalu menjadi murung dan pundung karena gagal dalam tantangan tersebut—pada saat itu saya memperoleh ranking dua.

Seperti kebanyakan orang, dengan atau tanpa alasan, saya senang menceritakan pengalaman masa kecil. Terlampau banyak kisah menarik—paling tidak bagi saya—yang terkadang di sela-sela obrolan, misal, terangsang oleh entah, melela begitu saja di kepala dan sekejap saya utarakan kepada lawan bicara untuk menghadirkan kesenangan belaka. Seperti pada suatu kesempatan, seorang teman bertanya pada saya bagaimana cara agar fasih melafalkan kalimat dan/atau parafrasa dalam bahasa Inggris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya ingat betul betapa kikuknya saya dalam menjawab pertanyaan seperti itu. Apa yang harus saya utarakan? Bagaimana mestinya saya menjelaskan metode pembelajaran saya? Dan akhirnya, dengan tergagap saya justru membalas pertanyaannya melalui serangkai cerita yang saya susun dengan berantakan.

Saya menceritakan bagaimana daily activity masa kecil saya padanya. Bahwa selepas subuh dan sesudah sarapan, ibu saya biasa menyetel tayangan English Education Video melalui VCD dan meminta saya fokus menyaksikan sekaligus melafalkan tiap noun, verb, sekaligus sentence yang melintas dalam layar.

ADVERTISEMENT

Juga, saya menceritakan pada teman saya yang khusyuk mendengarkan seraya sesekali mengangguk-angguk dan menyedot Teh Sisri itu, bahwa tiap pulang sekolah, ibu saya baru membolehkan saya naik ke boncengan sepeda seandainya saya tidak keliru melafalkan angka 1-100 dan keseluruhan abjad dalam bahasa Inggris di perjalanan menuju rumah.

Ya, begitulah. Saya tidak menjawab pertanyaan teman saya dengan serentetan teori tentang bagaimana cara melafalkan kalimat-kalimat bahasa Inggris dengan baik dan benar. Saya tidak tahu apakah kemudian dia akan mengerti bagaimana "cara" yang ia pertanyakan itu seusai mendengar cerita saya.

Tapi yang jelas, saya yakin bahwa ia mengerti "cerita saya". Sebab tak dapat dimungkiri, ingatan kita yang berjejalan terkadang terlampau sulit untuk kita utarakan secara runtut dan tandas. Tetapi sekalipun tak dapat menggambarkan, entah itu secara lisan atau tulisan, bagaimana misalnya, budaya kapitalisme dan konsumerisme telah merasuk di kehidupan kiwari, saya percaya setiap orang mampu berbicara dan menjelaskan hal itu dalam kepalanya masing-masing.

Terus terang saya tak mengerti tentang bagaimana cara kerja ingatan kita seturut penjelasan konvensional akademis oleh para saintis. Tetapi saya tahu bagaimana diri saya, sebagai manusia, mampu menangkap-serap pelbagai fenomena-tanda yang melintas sepanjang kehidupan saya, entah itu berupa "tayangan", "bacaan", "siaran", "sentuhan", yang kerap merangsang kinerja otak saya untuk selalu mengingat dan "mengarsipkannya". Dan saya percaya, hal ini pun "dirasakan" oleh kita semua.

Seperti hari ini, ketika mendengar/membaca "17 November", sekejap saja arsip sejarah pemberontakan mahasiswa pra-Perang Dunia II di Praha terhadap rezim fasisme, Nazi-Hitler, yang di kemudian hari diperingati sebagai Hari Pelajar Internasional melela di kepala saya.

Sebagaimana hari-hari monumental lainnya—dan pada titik tertentu kerap menjadi "sakral", Hari Pelajar Internasional pun, kita tahu, tak terlepas dari serangkaian peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya. Namun terlepas dari sejarahnya, segenap penanggalan yang diperingati jelas kerap, jika tidak selalu, membawa sebentuk asa yang mengendap akan hasrat hidup tenteram berkepanjangan demi kemaslahatan seluruh umat manusia di dunia yang teramat kompleks ini.

Dalam konteks Hari Pelajar Internasional, terang sudah bahwa saat memperingatinya kita berharap, tidak hanya akan selalu hadirnya ruang belajar yang "aman-nyaman", melainkan juga iklim pembelajaran yang "sehat", "cerdas", sekaligus mampu merangsang gairah belajar pada diri para pelajar secara khusus bagi pelajar yang bersekolah dan mahasiswa yang bergelut di kampus seantero dunia, untuk terus memperbanyak serta memperbaharui khazanah pengetahuan—dan tentu tak luput untuk tidak pernah "merasa cukup" sekaligus tetap merasa skeptis akan seluruh pengetahuan yang mereka peroleh dan olah.

Namun demikian, saya termasuk orang yang meyakini bahwa ruang dan iklim pembelajaran yang saya utarakan itu tidak hanya berlaku dan/atau dapat tercipta di ruang konvensional (sekolah dan kampus), melainkan juga dapat tercipta dalam "ruang mandiri" --jika saya boleh menyebutnya demikian-- yang dibangun-bentuk dalam diri perorangan. Untuk menjelaskan hal ini, saya menukil nasihat Umberto Eco kepada cucunya pada surat Natal, bertajuk Caro nipote, studia a memoria.

Dalam surat tersebut, Eco menasihati cucunya tentang bagaimana seharusnya sikap kita sebagai manusia menghadapi pelbagai kebaruan. Khususnya, di tengah melesatnya kemajuan teknologi, ia berkata bahwa semestinya kemajuan tersebut terus dibarengi dengan keinginan kita untuk terus mengingat dan/atau menggunakan otak kita.

"Lambat laun komputermu akan rusak, dan sebelum daya ingatmu menurun, maka ingatlah setiap informasi yang kau peroleh di pelbagai situs yang kau kunjungi, sebab jika kau membutuhkan informasi itu di kemudian hari kau tidak perlu membuka atau mengunjungi situs itu kembali," tulis filsuf cum ahli semiotik tersebut.

Secara gamblang, dalam surat tersebut Eco membabar terkait pentingnya "pelajaran mengingat" yang sejatinya mesti dilakukan secara mandiri melalui kinerja otak cucunya. Bahkan Eco berkata bahwa, "Otakmu sanggup bertahan untuk mengingat sampai 90 tahun. Dan jika kau terus mengasah dan memperkerjakannya ia akan lebih kaya ketimbang sekarang." Dan yang sangat menarik, kakek yang bijak ini menganjurkan cucunya untuk membuat kompetisi memori; buatlah daftar buku-buku beserta penulisnya, tokoh-tokoh dalam novel, nama pemain sepak bola, peristiwa-peristiwa penting, larik-larik puisi, dan banyak hal lainnya untuk dihafalkan.

Tak luput, Eco berkata di salah satu paragraf penutup surat tersebut, bahwa jangan menyia-nyiakan itu semua, sebab itu adalah "fitur gratis". Begitulah, saya kira "ruang belajar mandiri", ditambah pula dengan "fitur gratisnya", yang saat ini perlu kita kampanyekan pada peringatan Hari Pelajar Internasional, ketimbang kampanye pembangunan-pembelajaran beserta embel-embel revolusi literasi digital 5.0 yang kian ke sini tampak menjadi ungkapan pretensius nonsens belaka guna menutupi ketidakcakap-mampuan kita untuk mendaras sekaligus mempelajari hal-hal yang, sejatinya amatlah elementer.

Kita mampu mencerap pelbagai hal untuk kemudian mengingatnya, dan melalui ingatan itu kita bisa terus memperbaharui perbendaharaan pengetahuan kita guna menghindari kubang kejumudan berpikir; katakanlah, sedikit-dikitnya ketimbang tidak sama sekali.

Mohammad Lutfi Maula mahasiswa Filsafat UIN Banten

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads