Yang jelas, waktu itu saya memanjat naik ke ketinggian empat meter, dengan tangga bambu yang tua dan sudah diikat dengan kawat pada beberapa bagiannya. Sementara itu, hari-hari ini Jogja terus diguyur hujan, sehingga lantai paving di halaman belakang rumah saya tempat berpijak kaki-kaki tangga itu pun jadi licin sekali. Nah, tanpa siapa pun yang bertugas memegangi tangga itu, dalam kondisi lantai selicin itu, saya naik sendirian ke atas atap dengan penuh keyakinan.
Ketika beberapa detik kemudian salah satu anak tangga bambu reyot itu patah, dan karena hentakan patah itu keseluruhan tangga meluncur jatuh disusul tubuh saya yang berdebam menghajar bumi, saya tahu bahwa saya jenis manusia yang bodoh sekali.
Sebodoh apa?
Pertama, saya naik sendirian tanpa siapa pun yang membantu. Kedua, jelas-jelas lantai sedang licin, tapi saya tetap saja naik dengan pede-nya. Ketiga, saya tahu tangga bambu itu sudah tidak cukup layak, dan saya menggunakannya untuk sebuah tugas yang sebenarnya berpotensi bahaya.
Keempat, saat itu sebenarnya saya sedang berada di tengah sesi jeda sebuah webinar, saya di situ menjadi pembicara tunggalnya, dan dengan sangat santai saya meninggalkan layar Zoom untuk berurusan dengan tangga bambu yang sudah sedemikian memprihatinkan keadaannya. Kelima, empat meter itu tinggi, konsekuensinya kalau jatuh bisa fatal sekali, padahal dua anak saya masih kecil dan kira-kira ibunya akan terlalu berat kalau harus membesarkan mereka seorang diri.
Saya memang lumayan selamat. Maksudnya, tidak ada tulang patah, tidak ada luka serius, dan setelah saya ke rumah sakit untuk minta di-rontgen pun tak ada masalah apa-apa di dalam rongga dada saya dan sekitarnya. Namun diam-diam ada perasaan lain selain sakit yang menghantui saya, yaitu saya betul-betul merasa bodoh. Semua yang terjadi itu murni karena ketololan saya, yang berbuat tanpa perhitungan cukup layaknya manusia yang sehat nalarnya.
Rasa sakit badan dapat ditunggu untuk dikeringkan. Luka hati bisa ditahan, dan karena biasanya sakit hati itu terkait dengan orang lain, kita hanya bisa menjalani waktu untuk penyembuhan. Tapi perasaan bodoh?
Bodoh itu urusan kita sendiri, melekat dalam diri kita sendiri, muncul dari kualitas rendah diri kita sendiri. Kita tak bisa menunggunya kering, kita tak bisa hanya menjalani waktu untuk menghilangkan kesebalan karena rasa tak berguna itu. Asal tahu, bahkan sampai detik ini pun saya masih menyimpan gemas ketika mengenang kebodohan-kebodohan saya jauh di masa lalu. Merasa diri bodoh itu sangat menyiksa.
Tapi puji Tuhan, tiga hari selepas saya terjun dari tangga, saya mendapatkan penyembuh untuk perasaan bodoh itu. Penyembuh itu adalah cerita hantu.
Jadi, istri saya menceritakan kisah saya yang jatuh konyol itu kepada adik ipar saya. Adik ipar saya pernah dua tahun mendiami rumah kami, saat kami sekeluarga berkelana ke seberang laut empat tahun lamanya. Mendengar cerita jatuhnya saya, adik ipar segera bilang, "Lhooo, memang di belakang rumahmu itu sering ada yang ganggu, Mbak!"
Segeralah meluncur beberapa kisah ganjil selama dia dan suaminya tinggal di rumah kami. Mulai perasaan ada sesuatu yang berkelebat, hingga suami adik ipar saya sendiri yang mengalami kecelakaan kecil yang aneh di belakang rumah kami.
Mungkin Anda mengira saya sedang mengarahkan cerita ini untuk menertawakan adik ipar saya. Tidak, sama sekali tidak. Saya bukan seorang materialis-fanatik. Bahwa saya sangat suka uang dan harta dunia, dan karena itu layak disebut materialistis, itu benar sekali. Tapi saya bukan orang yang mengukur kebenaran melulu dengan materi. Saya percaya spirit itu ada. Saya percaya dunia material kita hanyalah salah satu dimensi dari realitas. Saya pun percaya alam batin, dan saya juga menjalani agama.
Sudah, tak usah dibikin rumit: saya juga percaya keberadaan hantu-hantu dan makhluk gaib lainnya. Dan sebenarnya memang bukan cuma sekali dua kali kawan-kawan saya yang bertandang ke rumah bilang bahwa ada "sesuatu" di halaman belakang saya.
Artinya, apa yang diceritakan adik ipar saya itu relate dengan banyak fakta lain yang mampir ke pengetahuan saya. Dan saya jadi manggut-manggut, lalu menemukan satu sensasi melegakan: ternyata saya tidak sedungu yang saya kira. Saya bukan dungu. Saya cuma "diganggu".
Perasaan lega semacam itu lumayan sukses untuk membuat saya tenang selama beberapa menit. Saya jadi punya kesempatan untuk memaafkan diri sendiri dari siksaan merasa-diri-bodoh. Saya pun punya satu sasaran eksternal untuk disalahkan. Ya, muasal dari semua ini sama sekali bukan kualitas diri yang rendah, melainkan hantu-hantu! Hantu-hantu itulah biang keroknya!
Enak sekali. Nyaman sekali. Indah sekali. Sampai tiba-tiba saya sadar, dari situlah saya jadi malas melakukan evaluasi.
Sejak awal, ketika saya merasakan kebodohan itu, saya sudah bisa membuat kalkulasi. Dengan hitungan sangat rasional, dengan fakta-fakta kasat mata, sebenarnya masuk akal sekali kenapa saya jatuh. Artinya, tanpa ada unsur hantu pun, sesungguhnya saya sudah menemukan duduk perkara kejadian tersebut.
Tetapi, kemunculan wacana hantu itu menyelesaikan satu persoalan psikologis saya, yaitu perasaan bodoh dan perasaan bersalah.
Saya kira, seperti inilah pola yang terjadi pada kelahiran banyak mitos. Ada sebagian peristiwa dalam sejarah manusia yang belum berhasil dijelaskan hubungan sebab-akibatnya, lalu dari situ mitos-mitos diciptakan sebagai jalan keluarnya. Meski demikian, tak jarang ada banyak perkara yang terang benderang, jelas dari A sampai Z-nya, tapi si pelaku membutuhkan sesuatu untuk dilempari dengan batu, sehingga ia bisa tenang dan melupakan sendiri kesalahan-kesalahannya.
Maka mitos-mitos pun muncul, wilayah abu-abu yang tak bisa diverifikasi dengan ukuran-ukuran. Realitas dalam mitos itu sendiri mungkin "nyata", sebagaimana saya juga percaya bahwa hantu-hantu itu ada. Tetapi hubungan kausalitas yang melibatkan hantu-hantu itulah yang akhirnya dirangkai dengan paksa.
Menyadari pola seperti itu, kepercayaan saya kepada hantu ternyata tetap gagal menghapus rasa-bodoh dalam diri saya. Sialan.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)