Peningkatan komitmen perusahaan dalam penerapan ESG dapat mendorong investasi yang berkelanjutan yang dapat menjadi katalis positif dalam pertumbuhan ekonomi hijau. Lebih dari seperlima perusahaan terbesar di dunia berkomitmen dalam penerapan ESG, seperti pencapaian net zero emission. Saat ini, kebanyakan investor lebih mempertajam fokus mereka kepada dampak lingkungan, sosial dan tata kelola dalam berinvestasi.
Pemahaman akan ESG yang semakin baik menjadikan investor semakin menerapkan faktor non-keuangan tersebut sebagai bagian dari proses analisis mereka untuk mengidentifikasi risiko material dan peluang pertumbuhan. Investasi ESG dalam mendukung ekonomi hijau, dikenal juga dalam berbagai istilah seperti investasi berkelanjutan (sustainable investing), investasi yang bertanggung jawab secara sosial (socially responsible investing), dan investasi berdampak (impact investing).
Definisi Investasi ESG
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ESG atau Environmental, Social and Governance yang berarti Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola, menggambarkan bidang-bidang yang menjadi ciri investasi yang berkelanjutan serta bertanggung jawab. Menurut The Financial Times, ESG merupakan istilah umum yang digunakan di pasar modal yang digunakan oleh investor untuk mengevaluasi perilaku dan kebijakan perusahaan dalam hal kinerja lingkungan, dampak sosial, dan masalah tata kelola. Dalam investasi berkelanjutan, para investor dapat mencari return yang positif dengan dampak jangka panjang yang lebih baik pada masyarakat, lingkungan, dan kinerja bisnis.
Faktor- Faktor yang Terdapat pada ESG
ESG adalah tiga faktor utama dalam mengukur keberlanjutan dan dampak etika suatu perusahaan. Faktor-faktor ESG, meskipun nonkeuangan, memiliki dampak material pada risiko jangka panjang dan return dalam investasi.
Selain itu, ESG dapat menjadi acuan dalam mitigasi risiko, kepatuhan, dan strategi dalam mengambil keputusan saat berinvestasi. Perusahaan yang menggunakan standar ESG yang lebih teliti, memiliki mitigasi risiko yang lebih baik, dan berpotensi memiliki kinerja yang lebih baik dalam jangka panjang. Ada 3 faktor yang terdapat dalam ESG yaitu:
1. Faktor lingkungan yang menentukan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, seperti fokus pada limbah dan polusi, penipisan sumber daya, emisi gas rumah kaca, deforestasi, dan perubahan iklim.
2. Faktor sosial yang melihat bagaimana perusahaan fokus pada hubungan dan keragaman karyawan, kondisi kerja, komunitas lokal, kesehatan dan keselamatan, dan konflik.
3. Faktor tata kelola yang melihat kebijakan perusahaan, serta bagaimana perusahaan mengelola. Mereka fokus pada strategi pajak, remunerasi eksekutif, donasi dan lobi politik, korupsi dan penyuapan, serta keragaman dan struktur dewan.
Praktik Investasi ESG di Indonesia
Praktik ESG dapat mencakup strategi yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan komitmen terhadap satu atau lebih faktor ESG, seperti kebijakan perusahaan dalam mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan atau perusahaan yang berfokus pada prinsip-prinsip tata kelola dan transparansi. Di pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia resmi meluncurkan indeks IDX ESG Leaders pada akhir tahun 2020. Indeks ini mengukur kinerja harga dari saham-saham yang memiliki penilaian ESG yang baik dan tidak terlibat pada kontroversi, serta memiliki likuiditas transaksi dan kinerja keuangan yang baik.
Penilaian ESG dan analisis kontroversi dilakukan oleh Sustainalytics. Indeks ini berisi 30 saham yang memiliki penilaian ESG yang baik, seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR) masuk ke dalam IDXESG ini. Porsi terbesar dicatatkan oleh sektor keuangan sebesar 29,1% dan diikuti oleh sektor infrastruktur sejumlah 25,1%. Selain indeks tersebut bertambah secara signifikan, jumlah investasi ESG juga semakin meningkat.
Berdasarkan grafik 1, pola pergerakan nilai IDXESG sejalan dengan pola pergerakan IHSG. Walaupun pada bulan Juni 2021 pergerakan IDXESG turun lebih dalam dibanding penurunan pergerakan IHSG, namun pola pergerakan IDXESG tetap tumbuh positif. Turunnya IDXESG pada periode tersebut dipicu oleh saham-saham big caps yang melemah akibat lonjakan kasus COVID-19.
Lebih detail lagi, grafik 2 menunjukkan pertumbuhan IDXESG secara bulanan lebih tinggi dibanding pertumbuhan IHSG. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan IDXESG pada Agustus 2021 naik 5,54% MoM, sedangkan IHSG hanya tumbuh 1,32% MoM. Pada akhir Oktober 2021, IDXESG naik 8,3% MoM, sedangkan IHSG naik 4,84% MoM. Kedua grafik tersebut menunjukkan bahwa IDXESG memiliki kinerja yang baik pada jangka panjang.
![]() |
Meski penerapannya di Indonesia masih tergolong minim, investasi dengan fokus ESG diprediksi akan terus berkembang. Semakin menguatnya kesadaran akan pentingnya investasi dengan fokus ESG, dapat semakin memicu pergeseran struktur ekspor dalam jangka panjang. Ekspor nasional yang saat ini bergantung pada Crude Palm Oil (CPO) dan batubara, ke depan akan lebih terdiversifikasi atau beralih ke produk-produk yang lebih sustain.
Selain itu, perubahan consumer behavior, serta pandemi COVID-19 mendorong masyarakat semakin mempertimbangkan aspek sosial. Diharapkan peluang penerapan ESG ke depannya semakin tinggi, dengan investor domestik maupun investor asing lebih memperhatikan aspek ESG dalam keputusan investasinya.
Peran Serta Pemerintah
Sebagai bentuk fokus pemerintah dalam penerapan ekonomi hijau, OJK telah menyusun Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015 - 2019) yang bertujuan meningkatkan pemahaman serta kapasitas pelaku sektor jasa keuangan untuk beralih menuju ekonomi rendah karbon. Kemudian, OJK juga telah menyelesaikan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025), dengan fokus penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan secara komprehensif.
Salah satu fokus pada Roadmap II ini adalah pengembangan Taksonomi Hijau yang bertujuan pengklasifikasian aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan. Salah satu action plan pada fokus ini adalah integrasi ESG, yang akan berlangsung pada 2021 - 2023. Oleh karena itu di tahun 2023, diharapkan implementasi aspek ESG dapat terealisasikan, yang meliputi pelaporan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola, pengembangan key performance indicators oleh industri keuangan, termasuk produk-produk investasi.
Pajak Karbon
Selain integrasi ESG dalam mendukung ekonomi hijau, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pajak untuk memerangi perubahan iklim dengan menetapkan harga pada emisi karbon. Kebijakan pajak karbon ini dituangkan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan oleh DPR pada 7 Oktober 2021. Pada kebijakan ini, terdapat tarif minimum Rp30.000 atau USD2,10 per ton setara karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dengan skema cap-and-trade yang dikenakan perusahaan yang melebihi ambang batas emisi mereka, kecuali perusahaan yang telah membeli kredit karbon.
Kredit karbon berupa SIE atau Surat Izin Emisi, dapat diperdagangkan untuk mendapatkan emisi hingga batas tertentu dari perusahaan dengan emisi di bawah batas yang bersedia memberikan sebagian dari tunjangan mereka yang tidak terpakai dengan menggunakan SPE atau Sertifikat Penurunan Emisi/Carbon Offset. Kebijakan ini akan diberlakukan hanya pada PLTU batu bara mulai April 2022 dan diterapkan pada sektor lain dalam skema perdagangan karbon skala penuh baru pada 2025.
Skema kedua pada ketentuan pajak ini adalah skema cap-and-tax atau pembatasan emisi dan pengenaan pajak jika emisi yang dikeluarkan melebihi batasan yang ditentukan. Maksudnya, suatu perusahaan tersebut tidak dapat membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) atau Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya, maka sisa emisi yang masih melebihi batasan (cap) tersebut akan dikenakan pajak karbon. Berikut adalah skema implementasi pajak karbon dengan basis cap and tax dan cap and trade.
![]() |
UU HPP ini telah disahkan beberapa minggu sebelum Conference of Parties (COP) ke-26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow yang dihadiri Bapak Presiden Joko Widodo pada tanggal 1-2 November 2021 lalu. Pengesahan UU ini mendorong kesiapan Indonesia dalam berkomitmen mengenai isu perubahan iklim ke depannya.
Pajak karbon yang diperkenalkan Indonesia bertujuan untuk meminimalisir emisi karbon, dengan menerapkan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon. Kebijakan ini juga mendukung keselarasan pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain dari aspek lingkungan, target penerimaan dari pajak karbon ini, dapat meningkatkan pendapatan negara guna mengembalikan defisit fiskal sebesar 3% dari PDB pada tahun 2023.
Astari Adityawati Asset Allocation and Research Specialist Bank Mandiri
(ads/ads)