Beban Budaya Politik Demokrasi Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Beban Budaya Politik Demokrasi Kita

Senin, 15 Nov 2021 13:40 WIB
Juli Yusran
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Fokus Nasib Pilkada Langsung (Andhika Akbaransyah)
Ilustrasi: Andhika Akbaransyah/detikcom
Jakarta -

Calon anggota legislatif dan eksekutif, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi ataupun nasional, pasca ditetapkan sebagai calon terpilih biasanya langsung dihadapkan pada tuntutan dari para pendukungnya. Sayangnya tuntutan itu sering kali tidak berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai calon terpilih pada jenjang jenis pemilihan yang disandangnya. Ekspektasi para pendukung tersebut lebih bersifat sederhana, seremonial, dan personal. Seperti, tuntutan pengadaan acara "syukuran kemenangan", sikap keramah-tamahan selama menjabat, sekadar mentraktir makan dan minum di warung, pemberian hadiah dan fasilitas atau bantuan tertentu pada mereka yang sudah memilih dan "berjasa memenangkan pertarungan" mendapatkan kursi legislatif atau eksekutif.

Fenomena tuntutan di luar tugas pokok dan fungsi di atas sepintas lalu adalah hal yang biasa saja. Lumrah dan wajar. Tapi jika kita dalami lebih jauh lagi, jika terus berlanjut akan menjadi beban budaya dalam setiap perhelatan demokrasi dan dapat mengaburkan tugas dan fungsi utama anggota legislatif dan eksekutif yang sesungguhnya. Beban budaya ini juga berpotensi menjadi faktor yang mengganggu kinerja pilihan pemilih itu sendiri.

Tujuan Pemilu

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuan utama penyelenggaraan pemilu dalam sistem politik demokrasi adalah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk terlibat langsung dalam suksesi dan menentukan diskursus pembuatan kebijakan publik pada periode tertentu. Pemilih sebagai artikulasi dari rakyat secara keseluruhan adalah kata kunci dari demokrasi. Dari rakyat untuk rakyat. Kata "rakyat" tentu harus dipahami secara luas. Kurang tepat jika diterjemahkan secara perseorangan atau kelompok pendukung an-sich.

Ini pulalah yang menjadi pembeda sistem politik demokrasi dengan otoritarianisme, totalitarianisme, tirani, dan despotisme yang menempatkan penguasa dan kelompok penguasa di atas individu dan kelompok lainnya. Oleh sebab itu, fenomena empirik tuntutan pendukung yang tidak relevan dengan tugas dan fungsi utama dari yang dipilih harus menjadi bahan evaluasi.

Proses demokrasi tidak boleh berhenti pada dimensi empirik saja. Di samping dimensi empirik, demokrasi harus dipahami juga melalui dimensi normatif. Dimensi normatif mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara ideal dari demokrasi. Sehingga, dimensi empirik demokrasi yang menyimpang dalam kehidupan politik kita, harus diupayakan bergeser secara konsisten menuju bentuk normatif ideal demokrasi yang diwujudkan dalam sistem kehidupan politik berikutnya.

Penyelenggaraan pemilu secara berkala dalam sistem politik demokrasi modern sejatinya dimaknai sebagai proses menuju cita-cita ideal demokrasi. Pemilu adalah jalan untuk mendapatkan calon-calon pemimpin paling mumpuni menjalankan tugas dan kewenangannya masing-masing. Memilih orang-orang terbaik diantara calon, agar kelak calon yang dipilih mampu mengidentifikasi, memetakan dan memberikan argumentasi yang kuat dalam menyuarakan aspirasi dalam diskursur kebijakan pemerintah. Konsisten memperjuangkan rakyat yang diwakilinya dan mampu beradu argumentasi di tengah rekan-rekannya yang lain.

ADVERTISEMENT

Beban Budaya

Konsep beban budaya dalam demokrasi dalam tulisan ini adalah beban di luar tugas pokok dan fungsi yang harus dipikul oleh calon terpilih sebagai akibat dari tuntutan nilai yang datang dari masyarakat. Biasanya berupa ekspektasi dan bahkan semacam tuntutan kultural masing-masing individu dalam masyarakat agar mereka yang terpilih dalam pemilu dapat memenuhi keinginan-keinginan personal mereka. Harapan dan tuntutan kultural tersebut meskipun sering tidak berkaitan dengan tugas dan fungsi jabatan yang diemban, acap kali menjadi beban kultural bagi mereka yang berhasil menduduki jabatan politik.

Secara sederhana konsep beban kultural politik itu misalnya dapat dialamatkan kepada seorang yang mencalonkan diri sebagai bupati/wakil atau wali kota/wakil, gubernur/wakil, presiden/ wakil, anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR RI atau DPD, yang tiba-tiba terpilih pada saat pemilu. Begitu dinyatakan terpilih dan berstatus sebagai calon terpilih, maka mereka pun dianggap mengalami mobilitas sosial vertikal (perubahan derajat kedudukan sosial ke tingkat yang lebih tinggi). Status ini akan diiringi dengan tuntutan beban budaya lebih dari biasanya.

Di sisi lain, status barunya sebagai anggota legislatif atau eksekutif juga berdampak terhadap kehidupan sehari-hari. Gaya hidup dan kebutuhan personal yang baru terpilih di lingkungan status barunya akan mengalami perubahan. Tampilan, gaya berpakaian, kebutuhan konsumtif, dan lain sebagainya akan mengalami penyesuaian dengan status yang disandangnya.

Secara teoritis, perubahan sosial yang berlangsung dan diikuti oleh lompatan mobilitas sosial vertikal secara tiba-tiba akan membawa berbagai beban kultural. Victor Turner (1976) mengatakan bahwa komunitas yang mengalami proses perpindahan status tertentu akan berada pada suatu fase yang disebut liminality. Dalam fase seperti ini, komunitas yang mengalami perubahan itu sebenarnya belum beranjak dari status lamanya secara keseluruhan dan belum pula menginjak status barunya dengan seutuhnya.

Fenomena beban budaya ini berlaku juga pada perubahan status sosial lainnya. Misalnya, dalam perubahan status sosial dari Aparatur Sipil Negara (ASN) biasa,yang dilantik menjadi pejabat tertentu di lingkungan kerjanya, akan diikuti oleh lompatan mobilitas sosial vertikal. Tapi, kompleksitas dan tekanan sosialnya relatif lebih rendah dari apa yang dialami mereka yang berkecimpung di dunia politik.

Mengurangi Beban

Langkah paling awal dalam mengurangi beban budaya para pejabat publik yang dipilih dalam pemilu adalah menyebarluaskan informasi yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam upaya perbaikan kualitas demokrasi dengan cara meletakkan kepentingan yang lebih luas di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Tujuan pemilu dalam negara demokrasi adalah untuk mendapatkan figur-figur yang tepat untuk tugas dan fungsi yang tidak sederhana. Mereka adalah orang-orang yang akan diberikan mandat untuk menyelesaikan masalah-masalah, kemiskinan, ekonomi, keamanan, kesejahteraan, dan sebagainya yang dihadapi oleh masyarakat.

Upaya jangka panjang dan berkelanjutan adalah menanamkan nilai-nilai budaya dan moralitas kepada masyarakat, terutama generasi muda, untuk menyikapi penyelenggaraan pemilu secara benar. Jika pemilu sudah dimanfaatkan untuk memilih orang-orang terbaik untuk menjalankan tugas dan fungsinya, maka akan berdampak pada kehidupan nyata seluruh warga negara. Sebaliknya, jika pilihan hanya didasarkan pada hubungan emosional, maka hasil pemilu tidak akan berdampak signifikan, bahkan bisa berdampak buruk terhadap perbaikan bangsa dan negara ke depan.

Dengan ketulusan niat dan semangat rasionalitas dalam menjatuhkan pilihan pada saat pemilu, jika dilakukan secara konsisten, maka segala bentuk beban budaya yang membebani calon terpilih di luar tugas dan fungsinya sebagai pejabat publik akan hilang dengan sendirinya. Fokus kita setelah penetapan calon terpilih adalah mengawal mereka agar menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal di bidangnya masing-masing, sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Dr. Juli Yusran, S.Ag, M.Si komisioner KPU Kabupaten Pasaman

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads