Kebahagiaan seringkali menjadi komoditas yang sanggup menyedot antusiasme publik, terutama anak-anak muda yang sedang mengalami quarter life crisis. Saat anak-anak muda hidup berkalang pertanyaan, mau apa setelah lulus kuliah, apakah karier yang digeluti sudah sesuai, mampukah meraih impian besar, apakah dirinya cukup bernilai, cukup religius, punya cukup bekal menjelang hari-hari di masa depan, di situlah bisnis kebahagiaan tumbuh pesat.
Film A World Without (2021) yang disutradarai Nia Dinata merangkum pengalaman anak muda bergabung dengan komunitas eksklusif berkedok lembaga pendidikan pemuda pemberi kebahagiaan. Film bergenre fiksi ilmiah itu mengambil latar waktu sepuluh tahun setelah pandemi, tepatnya tahun 2030. Kehidupan saat itu digambarkan berubah drastis. Anak-anak muda mengalami kehidupan serba tak pasti dengan ruang gerak terbatas.
Keterbatasan ruang gerak dibersamai dengan kondisi lingkungan yang makin buruk. Dunia kewalahan menampung sampah yang dihasilkan manusia. Pandemi membuat produksi sampah medis dan sampah plastik meningkat drastis, menimbulkan pencemaran di daratan dan lautan. Ekosistem laut terganggu, ikan-ikan tercemar mikroplastik, bahkan ada ancaman laut mati. Pemanasan global mencapai titik puncak. Buntut kerusakan lingkungan itu mengancam eksistensi manusia. Angka kelahiran sangat rendah, berbanding dengan angka kematian yang naik drastis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah kehidupan serba tak pasti, lembaga pendidikan eksklusif bernama The Light hadir dengan klaim mewadahi antusiasme anak-anak muda yang berambisi menjadi agen perubahan. Yang Istimewa βsebutan untuk pimpinan The Lightβ mengatakan bahwa untuk menjadi agen perubahan, setiap orang perlu pasangan. Maka, misi utama The Light adalah menikahkan anggotanya saat usia mereka menginjak 17 tahun. Usia minimal pernikahan yang banyak ditentang aktivis perempuan.
Ketidakpuasan Hidup
Para anggota The Light tahu mereka akan dinikahkan saat usianya genap 17 tahun, dengan sosok yang baru bisa diketahuinya pada hari pernikahan berlangsung. Impian memperoleh pasangan menjadi salah satu alasan anak-anak muda bergabung dengan komunitas eksklusif ini. Mereka berasal dari keluarga kurang sejahtera hingga kaya yang tidak puas dengan kehidupan saat ini dan menaruh harapan hidup bahagia di masa depan.
Selain mempertemukan dengan pasangan hidup, lembaga pendidikan yang digawangi pasangan suami-istri muda dan kharismatik itu memfasilitasi minat dan bakat setiap anggotanya, menyediakan asrama gratis, menjamin kebutuhan makanan bergizi, hingga menyediakan apartemen gratis setelah mereka menikah. Harus diakui, iming-iming hidup berkecukupan dan memiliki aset berupa tempat tinggal itu menggiurkan bagi anak muda, di tengah kenyataan sulitnya mewujudkan keinginan memiliki hunian dengan hasil kerja sendiri.
Tawaran-tawaran itu seharusnya mudah dicurigai dan jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan ulang, namun hal ini tak berlaku bagi para anggota yang telanjur terbuai dengan kata-kata magis pimpinan komunitas. Pimpinan komunitas itu berulangkali menampilkan sisi-sisi terbaik kehidupannya, dipertemukan dengan sang istri berkat aplikasi pendeteksi kecocokan rancangannya hingga sukses membangun lembaga pendidikan pemuda tersohor seantero negeri. Gambaran rumah tangga mereka dengan cepat jadi dambaan anak-anak muda yang bergabung dengan komunitasnya.
Anak-anak muda ini tak mengetahui fakta bahwa di balik kata-kata positif dan senyum yang terus mengembang, pimpinan komunitas tetaplah pasangan suami-istri yang mengalami kesulitan hidup sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka berjuang melakukan program kehamilan dan berulang kali gagal, tidak puas terhadap diri sendiri, dan lain sebagainya. Sisi suram kehidupan yang tak ditampakkan ini menjadikan pimpinan komunitas bak dewa yang sempurna, yang kehidupannya diinginkan semua orang padahal jelas-jelas mustahil terjadi.
Lebih jauh, di balik citra positifnya, pimpinan komunitas eksklusif itu justru dalang langgengnya praktik perkawinan anak, pelaku pelecehan seksual, kekerasan fisik, hingga pembunuhan. Citranya sebagai sosok sempurna menenggelamkan kenyataan-kenyataan tersebut. Gambaran ini mengingatkan kita pada maraknya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak di institusi-institusi pendidikan bahkan keagamaan yang melibatkan tokoh-tokoh berkuasa.
Mayoritas korban bungkam lantaran merasa terintimidasi. Alih-alih didengar pengakuannya dan pelaku mendapat hukuman setimpal, risiko yang akan mereka terima seringkali lebih berat. Dicap pembohong, pemicu utama pelecehan terjadi, dan lain sebagainya. Bahkan jika kasus itu diproses oleh pihak berwajib, pelaksanaan penyidikan justru sering menimbulkan trauma berkelanjutan bagi korban. Belakangan kita disuguhkan kenyataan menggeramkan terkait penghentian penyelidikan kasus pemerkosaan yang dilakukan ayah kepada ketiga putrinya di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan oleh pihak kepolisian.
Celah Kebobrokan
Gambaran hidup sempurna yang dipromosikan komunitas-komunitas eksklusif seperti The Light atau yang kita jumpai dalam kehidupan nyata sebenarnya mudah dicari celah kebobrokannya. Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa kawan digegerkan dengan pengakuan perempuan pegiat lingkungan terkait pengalamannya menjadi istri kedua dalam rumah tangga toksik.
Suaminya bukan orang sembarangan; tampilannya mencolok sebagai muslim saleh sekaligus tokoh terkemuka di bidang lingkungan. Namun, ia menggunakan dalih agama untuk memenuhi hasratnya terhadap banyak perempuan melalui jalur legal pernikahan. Ia selalu meminta istri terdahulunya mencarikan madu dengan dalih itulah salah satu bentuk pelayanan istri kepada suami sebagaimana ajaran agama.
Perempuan pegiat lingkungan itu mengaku mengalami banyak pengalaman buruk selama pernikahan. Tidak memiliki cukup waktu istirahat saat hamil, stres, dibiarkan melakukan pekerjaan berat saat hamil tua yang ujungnya berdampak buruk pada kelahiran sang buah hati. Saat terjebak dalam pernikahan itu, ia berasumsi bahwa segala permintaan sang suami harus ia penuhi sebagai bentuk bakti. Meskipun sebenarnya sadar konsep keluarga yang dijalani keliru dan bertentangan dengan hak asasi manusia, ia mengaku terperangkap dan merasa tak punya kekuatan untuk melawan.
Di waktu kemudian, ia akhirnya memiliki keberanian mengajukan cerai. Pasca-perceraian, waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari trauma akibat terjebak pernikahan toksik jelas tak sebentar. Saat menuliskan pengalaman pahitnya di media sosial beberapa waktu silam, ia mengaku kejadian buruk itu sudah berlangsung bertahun-tahun lalu.
Kini, ia telah berdamai dengan dirinya dan membagikan pengalaman pahitnya di media sosial diharapkan membuat perempuan mana pun yang membaca lebih mawas diri. Apalagi, hingga kini mantan suaminya itu masih melangsungkan praktik poligami dengan cara yang sama persis sebagaimana yang ia alami dulu. Poligami berkedok agama dan menjanjikan kebahagiaan kehidupan setelah di dunia, yang pelaksanaannya justru menanggalkan hak-hak perempuan.
Tiga perempuan muda yang menjadi tokoh utama di film A World Without pun melakukan hal sebagaimana yang dilakukan perempuan pegiat lingkungan yang saya ceritakan di atas. Tiga tokoh yang bersahabat itu berhasil membongkar bahwa di balik iming-iming ragam fasilitas gratis untuk anggota komunitas, ada sosok donor pemilik kekuasaan yang berpengaruh, yang jelas tak menginvestasikan uangnya secara cuma-cuma. Ada banyak kepentingan politis yang diharapkan sang donor. Di tengah rasa frustrasi sebagai korban, mereka mendokumentasikan bukti-bukti kebiadaban pemimpin komunitas, lalu membongkarnya di hadapan publik agar tak ada korban berikutnya.
Lebih lanjut, keberanian para korban βsebagaimana dikisahkan dalam film maupun yang dilakukan perempuan pegiat lingkungan yang saya kenalβ untuk bersuara bisa menjadi resonansi yang menggema, menimbulkan keberanian korban lain untuk bersuara, menarik atensi dan keberpihakan publik, hingga desakan merevisi regulasi agar berpihak pada korban. Sebelum itu, keberanian korban untuk bersuara kiranya hanya terjadi apabila ia memiliki akses pengetahuan mengenai hak-hak esensialnya sebagai manusia.
Rizka Nur Laily Muallifa menulis esai dan puisi
Simak juga 'Ini Dia Daftar Lengkap Pemenang Piala Citra Festival Film Indonesia 2021':
(mmu/mmu)