Judul: Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, Cara Mengompromikan Perasaan dengan Kenyataan; Penulis: Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda; Alih Bahasa: Faizal; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2021): Tebal: xvi + 154 halaman
Dengan though experiment sederhana, kita akan segera mengetahui bahwa puncak pencarian hampir semua manusia, baik dalam satuan individu, keluarga, masyarakat, maupun bangs, ternyata sesuatu yang sama, yakni kebahagiaan. Siapa pun yang diminta untuk menyebutkan satu hal yang paling diinginkan untuk dicapai dalam kehidupan di dunia ini, niscaya hal yang paling umum disebutkan adalah kebahagiaan. Hidup harus bahagia.
Benarkah demikian? Apakah memang harus demikian? Buku Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan: Cara Mengompromikan Perasaan dengan Kenyataan karya duo psikiater asal Jepang Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda,mempunyai pendekatan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan cara berpikir di atas. Kata "harus ini", "harus itu", termasuk "harus bahagia", atau tuntutan-tuntutan lainnya di dalam hidup seringkali membuat kita kewalahan, dan tidak jarang malah menjadi beban karena berpikir yang berlebihan (overthinking). Kita harus meletakkan beban-beban tersebut agar bisa hidup damai dan kembali merasakan kebahagiaan. Akan lebih bahagia jika kita tidak berpikir "harus bahagia".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalaman hidup Tsuneko Nakamura, dalam buku ini dituturkan oleh Hiromi Okuda dengan ringan, lugas, serta tidak ndakiK-ndakiK , apalagi menggunakan teori-teori ilmiah yang berat. Orang awam sekalipun akan senang membacanya sambil menikmati isi dan pesan-pesan yang tetap berbobot dari buku ini.
Banyak hal sederhana dalam hidup ini seolah menjadi rumit hanya karena kita yang menjadikannya demikian. Tsuneko mengajak kita menjalani hidup dengan lebih membumi, hadir dalam setiap kejadian. Kita juga diajak untuk mengompromikan antara perasaan kita dengan kenyataan hidup, dengan cara bersikap lebih rasional, punya keyakinan bahwa tidak akan pernah dijumpai keadaan yang 100% bisa memuaskan keinginan kita. Termasuk saat kita menikah dan hidup bersama dengan orang yang sangat kita cintai dan sayangi sekalipun. Berpikir sederhana namun tetap rasional justru sanggup menghadirkan lebih banyak kebahagiaan.
Zona Waktumu Sendiri
Tidak ada lagi batas, jika bahagia diukur dengan semua hal yang sifatnya materi atau sesuatu yang kasatmata. Yang terjadi justru, semakin bertambah semakin terasa kurang. Sehingga umumnya akan berujung pada apa yang disebut sebagai hedonic treadmill, sebuah metafora di mana bertambahnya harta benda, pangkat, jabatan, dan seterusnya tidak mampu lagi membawa kita kepada tingkat kebahagiaan yang lebih jauh, mirip dengan jalan di tempat.
Biasanya keadaan akan bertambah parah pada saat kita mulai membandingkan keadaan diri kita dengan orang lain, selalu yang terlihat sisi kekurangannya saja, sehingga akhirnya lelah dan frustasi sendiri. Ibarat kita sedang mengikuti lomba lari namun tidak ada garis akhir, no finish line, pasti akan sangat kepayahan dan membuat kecewa.
Padahal sejatinya tiap orang punya "zona waktu sendiri", tidak ada yang lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan orang lain.
Tsuneko mengajak kita untuk selalu fokus dengan raihan diri sendiri, bergembira dengan yang ada di depan mata kita, sekaligus menghargai dan mensyukurinya. Para pemenang kehidupan menjalani hidup seperti sedang menjalani lomba marathon. Agar memenangkan perlombaan, maka hanya perlu terus fokus pada diri sendiri, tidak perlu mengurusi pelari lain, apalagi mengurusi orang yang bahkan tidak ikut lomba lari.
Untuk memperkaya renungan yang sudah diberikan di dalam buku Tsuneko dan Hiromi, ada baiknya kita tambahkan sebuah renungan lain di beberapa paragraf di bawah ini yang mendukung dengan frasa "zona waktumu sendiri". Tujuannya tetap, yaitu agar hidup kita damai tanpa berpikir berlebihan, dan mampu mengompromikan perasaan dan kenyataan.
New York 3 jam lebih awal dari California, Tapi tidak berarti California lambat, atau New York cepat. Keduanya bekerja sesuai "zona waktu"-nya masing-masing. Seseorang masih sendiri. Seseorang menikah lalu harus menunggu 10 tahun untuk memiliki momongan. Ada juga yang memiliki momongan dalam setahun usia pernikahannya.
Seseorang lulus kuliah di usia 22 tahun, tapi menunggu 5 tahun untuk mendapatkan pekerjaan tetap, sementara yang lainnya lulus di usia 27 tahun dan langsung bekerja. Seseorang menjadi CEO di usia 25 tahun dan meninggal di usia ke-50. Di saat yang lain, seseorang baru menjadi CEO di usia ke-50 namun hidup hingga usia 90 tahun.
Setiap orang bekerja sesuai "zona waktu"-nya mereka masing-masing. Bekerjalah sesuai "zona waktu"-mu. Kamu tidak terlambat. Kamu tidak lebih cepat. Kamu sangat sangat tepat waktu!. Yang terpenting, tetaplah kejar keberkahan Allah SWT, agar sampai pada muara kebahagiaan di surga-Nya.
Waktu yang Akan Menyembuhkan
Masa lalu yang meninggalkan kenangan rasa kecewa, sakit di hati ataupun trauma, tidaklah bisa diubah atau dihapus. Yang bisa dilakukan adalah memaafkan agar beban berkurang. Tsuneko juga menyarankan untuk menyibukkan diri dengan berolahraga, mempelajari sesuatu yang baru, berkenalan dengan orang baru dan melihat dunia yang berbeda, agar kenangan tersebut semakin lama semakin memudar dan kita menuju "kesembuhan" dan hidup damai. Waktu juga yang akan membantu menyembuhkan.
Kepada para pasiennya, yang rata-rata membutuhkan pengobatan dan konsultasi, Tsuneko membuka diri untuk selalu mendengarkan keluh-kesah mereka, bahkan termasuk soal suami-suami mereka sedang bermasalah. Tampaknya para pasien menemukan tempat yang aman untuk mengungkapkan segala penderitaan dan kegundahan dengan jujur. Yang menarik dan jenaka, Tsuneko bukannya memberikan saran atau ide cemerlang, namun malah mengatakan dia juga mengalami hal yang sama dengan mereka, para pasien.
Tsuneko bukanlah manusia sempurna, juga mengalami masalah dalam keluarga seperti keluarga lain pada umumnya. Kejadian ini rupanya mampu membuat mereka, dokter Tsuneko dan para pasiennya, merasa lebih baik. Puncak "nasihat" yang ada di bagian akhir buku ini adalah tentang mencukupkan diri dengan kebutuhan minimal yang telah terpenuhi.
Dokter Tsuneko adalah tipe orang yang mampu mengontrol keinginan, termasuk tidak ingin (dan memang tidak) memiliki barang-barang bermerek yang mahal meskipun ia mampu membelinya. Dia tidak menuntut dirinya harus menjadi seperti orang lain yang mungkin dianggap lebih baik atau lebih sukses. Dia menjadi dirinya sendiri, hidup damai tanpa berpikir berlebihan, mengompromikan keinginan, perasaan, dan kenyataan. Hidupnya sederhana, mengalir, dan dinikimati dengan enak; orang Jawa bilang uripe sumeleh. Itulah barangkali kunci umur panjang Tsuneko yang sudah 89 tahun masih sehat serta produktif, tetap migunani tumraping liyan.
Sunardi Siswodiharjo food engineer dan penulis, tinggal di Kota Malang