"Pembangunan besar-besaran di era Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon dan deforestasi." Seperti mantra sang "penyihir", pernyataan ibu menteri itu pun terbukti. Meski tak berlaku umum di semua tempat, namun paling tidak banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur berserta meluapnya aliran Sungai Brantas yang menghubungkan dua daerah di sekiranya (Kota Malang dan Kabupaten Malang) dapat menjadi contoh kemanjuran ucapan sang menteri.
Terbukti, pada Kamis (4/11), Kota Batu diguyuri hujan dengan intensitas tinggi selama kurang lebih 3 jam dan mengakibatkan banjir bandang sedemikian parah. Berdasarkan data BPBD per 5 November, terdapat 7 orang meninggal, 35 rumah rusak parah, dan 33 rumah lainnya terendam lumpur. Sementara, untuk kendaraan terdapat 7 mobil dan 73 motor mengalami kerusakan. Tidak hanya itu, terdapat 10 kandang ternak dengan jumlah hewan ternak sebanyak 107 ekor ludes dihantam banjir.
Terbukti, pada Kamis (4/11), Kota Batu diguyuri hujan dengan intensitas tinggi selama kurang lebih 3 jam dan mengakibatkan banjir bandang sedemikian parah. Berdasarkan data BPBD per 5 November, terdapat 7 orang meninggal, 35 rumah rusak parah, dan 33 rumah lainnya terendam lumpur. Sementara, untuk kendaraan terdapat 7 mobil dan 73 motor mengalami kerusakan. Tidak hanya itu, terdapat 10 kandang ternak dengan jumlah hewan ternak sebanyak 107 ekor ludes dihantam banjir.
Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup itu bukan tanpa dasar, bukan juga sekadar kelakar. Atau, seperti ucapan peramal oplosan. Sebaliknya, pernyataan itu mewakili seluruh program pembangunan yang digencarkan hampir di seluruh sektor. Terlebih proyek pembangunan infrastruktur dan pariwisata yang membentang hampir di seluruh daerah di Tanah Air, tidak terlewatkan di Kota Batu. Hal ini mengharuskan pemerintah daerah setempat menyediakan sejumlah lahan untuk keberlangsungan proyek strategis nasional dan daerah. Di Kota Batu terdapat beberapa proyek strategis yang syarat kerusakan seperti Proyek Geotermal di kawasan lereng Arjuno dan infrastruktur kereta gantung yang melingkar di tiga wilayah kecamatan (Batu, Junrejo, dan Bumiaji).
Alih Fungsi
Tentu tidak semua orang sepakat bahwa alih fungsi lahan adalah penyebab banjir, terutama bagi pemerintah dan kalangan teknokrat-profesional. BPBD Kota Batu berpendapat bahwa curah hujan tinggi menjadi penyebab banjir. Namun, benarkah demikian?
Berdasarkan data ProFauna, 90% kawasan tutupan hutan lindung di area lereng Gunung Arjuno telah habis akibat alih fungsi. Walhi Jatim menyebut, 150 hektar kawasan hutan di hulu Brantas berubah menjadi pertanian. Hal ini mengakibatkan wilayah resapan dan tangkapan air menurun sehingga berdampak pada meluapnya aliran sungai dan berakhir banjir.
Tetapi, alih fungsi hutan skala masif itu tidak serta merta terjadi, terutama bagi warga setempat untuk keperluan pertanian. Sebaliknya, hal ini dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Sebab, lahan pertanian telah menyusut dan berubah fungsi menjadi perumahan, tempat wisata, hotel, dan bangunan lainnya.
Data BPS Kota Batu 2020 menyebut, alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau bangunan lain menyebabkan penyusutan. Dari luas lahan 2.681 hektar pada 2003 menjadi 2.373 hektar pada 2013. Hingga pada 2020, lahan pertanian di Kota Batu hanya tersisa 1.998 hektar.
Polemik tata ruang di Kota Batu telah lama berlangsung. Data Walhi Jatim menyebut, kerusakan di Kota Batu telah terjadi selama 20 tahun terakhir. Sebanyak 348 hektar hutan primer di Kota Batu hilang dan eksistensi lahan hijau menyusut dari 2012 seluas 6.034 hektar menjadi 5.279 hektar pada 2019. Tidak berhenti di situ, ruang terbuka (RTH) hijau hanya 12-15 persen. Padahal standar minimal dari luas RTH adalah 20 persen dari luas wilayah kota. Artinya, Kota Batu masih kekurangan RTH sebesar 6,5 persen.
Percepatan Pembangunan
Perlu diketahui bahwa kerusakan lingkungan di Kota Batu juga dipengaruhi oleh percepatan pembangunan selama 20 tahun terakhir. Secara khusus, intensifikasi pembangunan didominasi oleh sektor wisata hiburan, jasa, dan akomodasi seperti hotel, vila, perumahan, dan jenis infrastruktur penunjang lainnya. Semua itu telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber mata air.
Soal mata air, terdapat dugaan privatisasi dan monopoli oleh sejumlah pengusaha yang mengakibatkan kebutuhan air warga semakin minim. Kajian MCW menyebut, terdapat 122 Wajib Pajak (WP) yang terdiri dari 67 sektor niaga dan 55 non-niaga belum membayar kewajiban pajaknya. Bahkan, dari 116 WP, 54 WP di sektor niaga dan 62 WP non-niaga belum memasang meter air sebagai syarat penggunaan air tanah.
Penggunaan air secara dominan oleh Hotel Basuki sebagaimana diwartakan oleh media lokal beberapa waktu lalu adalah salah satu contoh praktik privatisasi air. Sementara degradasi sumber mata air, data terbaru dari Walhi jatim dan IMPALA Universitas Brawijaya menyebut, dari total 111 sumber mata air pada 2010, kini hanya tersisa 52 mata air. Hal ini terjadi karena buruknya penataan ruang, seperti tidak adanya perlindungan kawasan, baik pada zona hijau maupun zona tangkapan dan resapan.
Kondisi tersebut diperparah dengan temuan LHP BPK Jatim 2020 yang menyebut, terdapat 76 objek bangunan berdiri tanpa izin dan tidak perda tata ruang dan didominasi oleh sektor jasa dan usaha. Dari jumlah ini, 58 bangunan belum proses pengajuan izin, 17 bangunan di antaranya berdiri tidak sesuai peruntukan seperti perumahan di kawasan pertanian dan wisata buatan di kawasan ruang terbuka hujau.
Sementara, 18 bangunan lainnya baru mengajukan proses perizinan setelah beberapa tahun berdiri dan beroperasi. Sebagai contoh, pembangunan objek wisata Predator Fun Park yang tak mengantongi izin dan syarat kolutif, bahkan hingga kini belum memiliki izin usaha menunjukkan lemahnya kapabilitas pemkot Batu di hadapan pemilik modal.
Bukan Salah Hujan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat pahami bersama bahwa peristiwa banjir bandang di Kota Batu bukan disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, melainkan buruknya tata kelola ruang yang didesak oleh tuntutan pembangunan skala masif tanpa mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Terlebih, tuntutan pertumbuhan ekonomi di segala lini dan sektor mengharuskan adanya alih fungsi skala masif. Lahan pertanian berubah menjadi perumahan dan wisata hiburan, dan kawasan hutan menjadi lahan pertanian baru dan wisata. Hubungan paralel seperti ini hanya dapat dihentikan melalui kebijakan tata ruang yang pro terhadap lingkungan, reforestasi kawasan hutan, membatasi aktivitas pembangunan di kawasan pertanian dan area konservasi, serta berbagai upaya pencegahan lainnya.
Berhenti menyalahkan hujan, dan mulai berbenah untuk masa depan keadilan sosial ekologis di Batu.
Tonton juga Video: Banjir di Sukabumi, Relawan PMI Selamatkan 3 Anak Terjebak Banjir
(mmu/mmu)