Cuaca Ekstrem dan Antisipasi Bencana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Cuaca Ekstrem dan Antisipasi Bencana

Kamis, 11 Nov 2021 13:40 WIB
Pendi Tri Sutrisno
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pengendara menerobos banjir di Jalan Raya Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (25/10/2021). Banjir yang menggenangi jalan setinggi lutut orang dewasa itu disebabkan karena drainase buruk saat terjadi hujan deras. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/rwa.
Foto ilustrasi: Muhammad Iqbal/Antara
Jakarta -

Pemerintah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa menjelang akhir tahun ini curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami peningkatan. Cuaca ekstrem berpotensi terjadi pada awal November ini, yang semula hanya di wilayah Pulau Jawa bagian tengah dan barat, dapat meluas sampai Indonesia bagian tengah dan timur. Hal tersebut disinyalir sebagai bagian dari dampak La Nina yang menghasilkan curah hujan tinggi dan kini sudah mulai dirasakan.

Masyarakat diminta waspada dalam menghadapi potensi perubahan cuaca ekstrem akibat adanya perubahan suhu permukaan memasuki musim penghujan tahun ini. Kejadian ikutan seperti angin kencang, badai, dan gelombang laut yang tinggi sewaktu-waktu dapat terjadi. Hal tersebut merupakan peringatan dini sebagai upaya antisipasi terjadinya kerugian fisik maupun materiil. Seperti misalnya kejadian banjir.

Banjir mulai terjadi di berbagai wilayah seperti di sebagian Jakarta, Kabupaten Bandung, dan Medan (akibat drainase yang buruk), hingga banjir bandang di Alor NTT akibat curah hujan tinggi. Dimungkinkan beberapa wilayah lain juga berpotensi banjir jika tidak dilakukan antisipasi dan mitigasi oleh masyarakat bersama pemerintah daerah setempat. Kejadian banjir terjadi akibat dari air hujan yang turun dengan intensitas tinggi di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan juga di kawasan perkotaan dengan lahan resapan yang minim, sehingga terjadi luapan sungai utama di DAS menuju ke wilayah hilir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

DAS secara sederhana diartikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi yang dibatasi oleh bentukan topografi igir pegunungan yang menerima dan mengumpulkan air hujan serta mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju ke sungai utama yang selanjutnya menuju ke laut. Air hujan yang turun di dalam suatu wilayah DAS akan terakumulasi dan mengalir menuju ke tempat yang lebih rendah.

Dalam kasus banjir luapan sungai utama dalam sistem DAS ini, air hujan yang berada di hulu sungai dan wilayah di sekitarnya akan terakumulasi dan terkumpul menjadi satuan volume air yang lebih besar pada wilayah yang lebih rendah.

Kondisi permukiman di sebagian besar wilayah di Indonesia banyak dijumpai di wilayah sekitar sungai-sungai besar. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari local wisdom atau kearifan lokal di Indonesia, bahwa sumber kehidupan utama manusia untuk hidup adalah berada dekat dengan sumber air. Sehingga akan banyak dijumpai pusat permukiman penduduk berada di pinggir sungai-sungai besar. Selain hidup dengan sumber air yang berasal dari sungai besar, transportasi utama zaman dahulu juga berada di sungai besar dengan media kapal/perahu mulai ukuran kecil hingga besar.

ADVERTISEMENT

Tata Ruang

Amanat negara melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan juga Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana terutama merujuk pada Pasal 47 mengisyaratkan bahwa fondasi penting dalam sebuah mitigasi bencana suatu daerah adalah dengan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota yang memuat dimensi mitigasi bencana. Termasuk di dalamnya adalah suatu bentuk rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang sebagai ruang evakuasi bencana.

Pada dasarnya, proses mitigasi bencana dapat dilaksanakan melalui berbagai kebijakan dan bentuk tindakan. Di antaranya dengan tindakan konservasi lingkungan, konstruksi fisik, dan sekaligus penyediaan payung hukum berupa kebijakan peraturan perundang-undangan.

Tindakan konservasi yang dilakukan dalam lingkungan DAS menitikberatkan pada kegiatan yang berangsur dalam kurun waktu yang lama. Seperti halnya dengan tidak menebang pohon pada area kawasan resapan air hujan, dan tetap melestarikan fungsi lindung pada area hulu DAS.

Perubahan pemanfaatan lahan yang dilakukan secara ekstrem di kawasan hulu DAS akan mengubah fungsi dasar kawasan resapan air menjadi sebuah tempat yang tidak mampu lagi meresapkan dan mengelola air hujan, apalagi jika turun dalam intensitas dan frekuensi yang tinggi. Alhasil kawasan tersebut tidak mampu menahan laju debit aliran permukaan yang berlangsung cukup besar sehingga dengan cepat terakumulasi menuju ke sungai utama.

Selain itu, salah satu contoh tindakan konstruksi fisik dapat dilakukan dengan membangun talut sepanjang tepi sungai utama dan pembangunan bendungan penahan dan pengontrol air. Bahkan ke depan jika dimungkinkan, aliran air dalam jumlah yang besar dapat dimanfaatkan sebagai tenaga pembangkit listrik. Namun tentunya upaya konstruksi fisik tersebut membutuhkan sumberdaya tenaga, finansial, serta waktu yang cukup besar.

Terkait dengan berbagai hal tersebut, sangatlah penting jika setiap daerah untuk menyusun peraturan dan kebijakan yang terintegrasi dalam rangka pengurangan risiko bencana seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Peraturan tersebut berfungsi sebagai payung hukum dan landasan yuridis dalam bertindak bagi semua elemen masyarakat dan pemerintah.

Penerapan peraturan dan perundang-undangan tata ruang yang berbasis mitigasi bencana akan menjamin keselamatan dan kelangsungan hidup penduduk dalam jangka panjang. Tata ruang akan sangat berperan dalam pemilihan dan penyediaan ruang bagi penduduk untuk membangun rumah dalam satu kawasan permukiman yang layak, sehingga terhindar dari risiko bencana. Lebih jauh dari itu adalah dengan segera mengimplementasikan isi peraturan ke dalam langkah konkret di lapangan.

Salah satu langkah nyata di lapangan adalah dengan melakukan pemetaan wilayah. Informasi tematik di dalam peta memuat segala unsur permukaan bumi mulai kondisi penutup/penggunaan lahan, ketinggian permukaan tanah, dan juga kondisi aktual infrastruktur yang ada. Teknologi pemetaan dewasa ini mampu dilakukan dengan cepat menggunakan sumber daya pesawat tanpa awak (UAV/drone) yang cukup mudah dikendalikan.

Rapid assessment tersebut sangat penting kaitannya dengan berbagai bentuk tindakan antisipasi serta penanggulangan banjir sebagai bahan pertimbangan utama dalam relokasi penduduk ke tempat yang lebih aman. Baik secara sementara maupun permanen setelah adanya pembangunan kawasan permukiman baru di lokasi yang lebih aman.

Berbagai inovasi dalam rangka mitigasi bencana banjir hendaknya terus dilakukan. Salah satunya yang sangat mungkin diterapkan adalah dengan pemasangan alat Early Warning System (EWS) banjir di salah satu titik di Kawasan hulu sungai. Prinsip kerja EWS pada dasarnya memberi sinyal kepada user ketika debit aliran air mengalami peningkatan yang signifikan. Artinya, kondisi debit dan volume air yang berada di hulu sungai mengalami peningkatan secara cepat sehingga berpotensi memicu terjadinya luapan.

Ketika informasi mengenai volume dan debit aliran air di wilayah hulu sungai dapat diterima dengan cepat oleh masyarakat dan juga pemangku wilayah, selanjutnya upaya dini dalam evakuasi dapat dilakukan. Penyiapan jalur evakuasi efektif ditunjang dengan infrastruktur sarana dan prasarana memadai akan turut serta dalam meminimalisasi dampak kerugian akibat kejadian banjir.

Pendi Tri Sutrisno alumni Fakultas Geografi UGM, pegiat Pemetaan Wilayah dan Manajemen Lingkungan

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads