Bisnis PCR dan "Social Entrepreneurship"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bisnis PCR dan "Social Entrepreneurship"

Kamis, 11 Nov 2021 11:30 WIB
Abdullah Sammy
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bisnis PCR
Ilustrasi: Fuad Hasim/tim infografis detikcom
Jakarta -

Hari-hari belakangan ini ramai berkembang diskusi publik soal isu bisnis PCR. Spekulasi berkembang pada isu bahwa bisnis PCR yang melibatkan sejumlah perusahaan besar sengaja mencari untung (profit). Nama pejabat yang terafiliasi perusahaan pun diseret-seret. Saya tertarik mengomentari benarkah perusahaan yang berbisnis PCR itu tak boleh mencari profit?

Sebelum jauh membahas seputar isu bisnis PCR, mari kita pahami terlebih dahulu konsep social entrepreneurship. Landasan teori soal social entrepreneurship atau kewirausahaan sosial ini jadi sangat krusial sebagai titik tolak sebelum kita membedah isu bisnis PCR.

Social entrepreneurship menjadi konsep yang semakin jamak dibahas dalam rumpun ilmu manajemen kontemporer. Dalam 20 tahun terakhir, bahasan soal social entrepreneurship berkembang pesat seiring dengan semakin didorongnya target pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development goals). Gupta, Chauhan, Paul, dan Jaiswal (2020) merangkum serangkaian penelitian terkait social entrepreneurship ini. Intinya, menurut mereka social entrepreneurship mengintegrasikan tiga konsep yakni konsep private, public, dan non-profit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga elemen tersebut sejatinya bertolak belakang. Private cenderung intensinya mencari profit bagi organisasi. Sedangkan sektor publik mencari keuntungan bagi sosial atau masyarakat. Sementara non-profit berlandaskan motif untuk alam maupun sosial dengan sumber pendapatan yang berasal dari donasi atau sumbangan member organisasi. Nah, konsep social entrepreneurship mencoba mensintesiskan ketiganya. Di era modern ini, konsep social entrepreneurship menjadi opsi yang banyak dipakai perusahaan bahkan organisasi sosial.

Sebab jika hanya berlandaskan prinsip non-profit atau publik, kegiatan organisasi akan sangat tergantung pada kapasitas donasi ataupun alokasi dana dari pihak lain. Oleh karenanya organisasi social entrepreneurship dituntut pula untuk dapat bergerak secara lebih private agar mampu menghasilkan keuntungan. Namun perbedaannya dengan perusahaan yang murni private adalah alokasi dari profitnya.

ADVERTISEMENT

Berbeda dengan organisasi private yang mana keuntungannya akan kembali pada shareholders, di organisasi social entrepreneurship keuntungan yang dihasilkan adalah sumber yang digunakan untuk memperbesar kontribusi sosialnya. Berangkat dari konsep akademis itu, saya memandang narasi yang menyebut organisasi social entrepreneurship tak boleh mencari profit adalah keliru dan perlu diluruskan.

Berangkat dari basis teori itu pula, kita dapat mengaitkannya pada isu bisnis PCR yang dikaitkan dengan sejumlah perusahaan besar di negeri ini. Polemik bermula dari tudingan soal aktivitas PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang sahamnya dimiliki sejumlah yayasan milik perusahaan-perusahaan raksasa nasional. Di satu sisi ada nama pejabat tinggi yang dirinya ataupun keluarganya terkait dengan perusahaan besar itu.

Mengutip dari laman resmi PT GSI, perusahaan ini mengaku berkonsep social entrepreneurship. Perusahaan ini berdiri dari patungan sejumlah pengusaha di awal pandemi untuk mendukung Satgas Covid yang saat itu sedang kesulitan dalam menyediakan alat PCR.

Setoran modal pun dilakukan sejumlah perusahaan besar untuk menunjang aktivitas PT GSI guna mengimpor alat kesehatan dan tes PCR yang saat itu sedang langka. Perusahaan ini kemudian mendirikan salah satu lokasi tes Covid pertama di Indonesia untuk publik.

Dari fase sejumlah perusahaan menyetor modal, PT GSI memasuki sisi non-profit. Sedangkan saat pusat tes berdiri, sisi publik dipenuhi PT GSI. Operasi laboratorium dan lokasi tes PCR milik PT GSI terus beroperasi untuk menghasilkan keuntungan finansial. Inilah yang membuat perusahaan ini memenuhi unsur private atau mencari profit. Jadi ketiga unsur itu sekaligus dijalankan PT GSI yang membuatnya memenuhi kriteria sebagai perusahaan social entrepreneurship.

Tanpa mencari untung (profit), operasi perusahaan social entrepreneurship seperti PT GSI akan bergantung pada pihak lain. Mesti menunggu donasi pemilik modal guna memberi disalurkan kepada masyarakat. Itulah yang membedakan institusi sosial tradisional dengan social entrepreneurship.

Konsep social entrepreneurship mendorong perusahaan untuk mencari profit guna mengakumulasi kemampuannya berkontribusi secara sosial. Keuntungan itu yang akan membuat perusahaan bisa berputar secara mandiri dan profesional.

Sebagai gambaran sederhana, institusi sosial sederhana menampung sumbangan dari perusahaan A dan B senilai Rp 1 miliar untuk semuanya dialokasikan guna kepentingan sosial. Sebaliknya dalam perusahaan social entrepreneurship, donasi Rp 1 miliar dari perusahaan A dan B mesti diolah untuk menghasilkan profit hingga nilainya bisa Rp 10 miliar. Namun profitnya bukan digunakan untuk kepentingan pemilik modal, melainkan demi memperbesar kontribusi sosialnya. Sehingga perusahaan social entrepreneurship bisa hidup profesional serta mandiri secara finansial dan tidak bergantung pada donasi pihak lain.

Berangkat pada basis tersebut, kini kita bisa mengaitkannya pada PT GSI. Apakah memang keuntungan yang dihasilkan kembali ke si pemegang saham atau memang murni berputar guna kepentingan sosial? Jawabannya tergambar dari laporan keuangan perusahaan.

Satu hal yang pasti, sebagai publik kita mesti tetap kritis. Mesti mengkritisi segala hal yang terkait dengan pelaksana negara agar tidak menyalahgunakan posisinya. Namun kekritisan itu mesti berlandaskan pada objektivitas ilmiah di atas subjektivitas apalagi sentimen politis. Karena pemikiran ataupun preferensi politik pasti bisa beda, namun standar ilmiah pasti tetap sama.

Abdullah Sammy peneliti strategi manajemen

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads