Terdapat tiga indikator yang menjadi ukuran WGI, yaitu: (1) Membantu orang asing atau tidak dikenal; (2) Memberi sumbangan uang; (3) Menjadi relawan. Seperti pada 2018, Indonesia berada di peringkat atas karena didorong oleh faktor "memberi sumbangan" yang tinggi, dengan skor 83 persen. Menurut laporan tersebut, 8 dari 10 orang di Indonesia menyumbangkan uangnya (berdonasi).
Dari hasil survei itu, saya tertarik untuk meninjau apakah prestasi kedermawanan masyarakat Indonesia itu berbanding lurus dengan optimalnya penghimpunan potensi (dana) filantropi? Dan, apakah terdapat problem penghimpunan dana yang dilakukan, khususnya yang digalakkan oleh lembaga sosial, lembaga zakat, atau suatu yayasan melalui media baru (platform) crowdfunding?
Merujuk hasil survei dari CAF di atas, bersyukurlah kita bahwa bangsa Indonesia masih senantiasa berderma, saling membantu, dan peduli terhadap sesama, meski di tengah kondisi pandemi. Dilansir Antara (15/6), Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin menyampaikan bahwa pandemi dan krisis ekonomi tidak menghalangi masyarakat Indonesia untuk berderma. Menurut Hamid, kondisi pandemi ini justru meningkatkan semangat masyarakat untuk saling membantu kepada sesama.
Hamid menjelaskan, predikat Indonesia sebagai negara dermawan didukung oleh beberapa faktor di antaranya yaitu kuatnya pengaruh ajaran agama dan tradisi (kearifan) lokal yang berkaitan dengan kegiatan berderma.
Dalam sebuah wawancara, Badan Pengarah Filantropi Indonesia Erna Witoelar mengungkapkan, dalam setahun potensi donasi masyarakat Indonesia jika dioptimalkan bisa mencapai Rp 200 triliun, namun baru terhimpun sekitar 3% (tiga persen) atau sekitar Rp 6 triliun. Erna juga mengatakan, penghimpunan dana secara digital dapat meningkatkan atau menggali potensi donasi di Indonesia.
Problem Etik
Crowdfunding merupakan sebuah kerja sama dari khalayak untuk mengumpulkan dana bersama-sama untuk semua tujuan dan biasanya menggunakan internet (Sullivan, 2006). Crowdfunding memungkinkan puluhan bahkan ratusan ribu orang urun dana untuk mewujudkan suatu proyek komersial maupun penggalangan dana untuk kepentingan sosial. Hemer mengutip Wojciechowski (2009) mengatakan bahwa lewat jejaring sosial, crowdfunding potensial untuk organisasi amal dan LSM.
Crowdfunding pertama kali dikenal di Amerika Serikat pada2003 lewat situs web bernama Artistshare. Crowdfunding sendiri sudah eksis di dunia internasional dan diperkirakan berhasil mengumpulkan $16,2 miliar dolar pada 2014. Di Indonesia, crowdfunding sudah cukup dikenal dan memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi instrumen pengumpulan dana investasi dan program charity.
Di Indonesia, situs crowdfunding pertama kali muncul pada 2012 dengan hadirnya website Patungan.net. Kemudian, muncul beberapa situs crowdfunding lain seperti Kitabisa.com, Wujudkan.com, Ayopeduli.id, Indves.com, Akseleran.co.id, Kolase.com, Gandengtangan.co.id, dan PeduliSehat.id.
Beberapa crowdfunding tersebut tidak bertahan lama dan akhirnya gulung tikar, seperti Patungan.net, Wujudkan.com, dan Indves.com. PeduliSehat.id juga kabarnya akan menghentikan sistem pada 27-28 Oktober 2021 ini. Crowdfunding tersebut pun menerapkan model yang berbeda-beda, salah satunya model donasi.
Hamid Abidin dalam sebuah wawancara yang saya lakukan mengungkapkan bahwa terdapat problem etik yang dilakukan oleh beberapa pengelola crowdfunding. Hal itu pula yang menjadi concern Filantropi Indonesia saat ini, yang ternyata mulai dipertanyakan dan diresahkan oleh masyarakat (warganet). Menurut Hamid, beberapa pengelola crowdfunding tidak dapat menyeleksi apakah sebuah kampanye sosial (campaign) sudah terverifikasi.
Contohnya, satu waktu di Kitabisa.com ada orang (akun) yang menggalang dana (donasi) untuk nikah. Tidak masalah. Yang menjadi masalah, orang itu menargetkan donasinya sampai Rp 200 juta. Tidak menjadi masalah jika dia menargetkan donasi hanya untuk biaya ke KUA, mendapatkan buku nikah dan syukuran di rumah, misalnya. Masalahnya, dengan target 200 juta itu, apakah dia mau nikah dengan menyewa gedung, mobil pengantin, dan tetek-bengek biaya sosial lainnya? Ya, itu persoalan privat, dan kenapa pula dilemparkan ke publik? Dan, kenapa pula publik mesti diajak menyumbang untuk kemehawan pernikahannya? Persoalan utamanya, kenapa Kitabisa.com bisa meloloskan campaign tersebut.
Sebelum campaign nikah itu, ada pula kasus campaign Cak Budi, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggalangan dananya. Menurut Hamid Abidin, kasus Cak Budi tidak sampai ke ranah hukum, dan dana yang terhimpun dialihkan ke Kitabisa.com dan disalurkan ke lembaga kemanusiaan ACT (Aksi Cepat Tanggap). Entah apa pula alasannya.
Dari kedua kasus di atas, bahwa betapa pentingnya proses seleksi, kurasi, atau verifikasi sebuah campaign; apakah campaign tersebut adalah persoalan privat atau publik; apakah campaign tersebut urgen atau tidak, dan; apakah proses implementasinya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Selain problem etik pada penggalangan dana, kebijakan perundang-undangan di Indonesia terkait transaksi elektronik, pun masih lemah. Salah satunya terkait keamanan data; itu masih menjadi masalah. Sejauh mana keamanan data agar kemudian tidak dibagikan atau dijual ke pihak yang tidak bertanggung jawab; bagaimana kita dapat menjamin data itu tidak disalahgunakan?
Dari problem-problem tersebut, lembaga amal atau pengelola crowdfunding perlu untuk memperhatikan proses verifikasi sebuah campaign. Juga terkait regulasi yang usang. Pemerintah perlu segera merevisi UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, karena undang-undang tersebut sama sekali belum mendukung terhadap pengelolaan crowdfunding.
(mmu/mmu)