Usmar Ismail itu pesona. HB Jassin (1947) memuji Usmar Ismail dalam babak-babak bersastra dan bersandiwara, sebelum terhormat dalam film. "Tetapi terang pada Usmar Ismail, dan inilah jang membikin karangan-karangannja djadi lebih berharga, titik berat selalu djatuh pada sanubari perasaan kebangsaan jang mendjadikan peperangan djadi bermakna bagi bangsa Indonesia sendiri," penjelasan HB Jassin.
Pada masa pendudukan Jepang, Usmar Ismail rajin menggubah puisi. Ia terlibat dalam seruan-seruan perang dan tergoda menggunakan bahasa-bahasa menggetarkan. Bersastra dalam bujuk propaganda. Usmar Ismail perenung tapi mengerti situasi sastra sedang terperintah oleh politik dan kisruh dunia. Bahasa Indonesia sedang bertumbuh gara-gara mendapat "restu" Jepang. Bahasa tak mungkin lekas terucapkan untuk Indonesia. Kaum pengarang dan intelektual sedang mendapat perintah dan larangan, tak mudah suguhkan tulisan-tulisan gamblang.
Usmar Ismail mengerti dan bermain siasat. Di puisi, ia agak terlena dengan janji-janji besar Jepang, tapi perlahan menginsafi untuk Indonesia. Ia pun berlanjut menulis naskah-naskah sandiwara yang memungkinkan bisa membahasakan Indonesia dengan lincah ketimbang puisi. Pada masa lalu, orang-orang mengingat pesan-pesan bertaburan dalam lakon gubahan Usmar Ismail berjudul Tjitra, Api, dan Liboeran Seniman. Di pentas-pentas sandiwara, ia mengobarkan kemauan mewujudkan Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1945, Usmar Ismail berseru agak religius berlatar perang: "Dan selama manoesia masih pertjaja akan keadilan Toehan, tiadalah poela ia ragoe-ragoe bahwa perdjoeangan melawan jang kedji dan djahat itu adalah semata-mata oentoek memberi kesempatan djoega adanja, soepaja manoesia mereboet kembali Taman Bahagia disisi Toehan."
Situasi tak menentu dalam Perang Dunia II memberi pengaruh atas olahan religiositas, estetika, dan nasionalisme. Di pentas-pentas sandiwara, Usmar Ismail perlahan memilih bentuk-bentuk pengungkapan "baru" untuk pemuliaan Indonesia. Ia berbekal sastra dan pengalaman dalam sandiwara bergerak ke film.
Di Indonesia, ia berada dalam babak awal dalam mengucapkan dan mengisahkan keindonesiaan dalam film. Kesadaran atas hasrat penonton mengerti dan memiliki Indonesia terpenuhi dengan film-film berselera Indonesia, berbeda kesan dan misi dari kesejarahan film telah bergulir sejak masa kolonial. Film justru mencipta kesadaran sejarah atas babak-babak Indonesia terlalu lama terceritakan dengan pengaruh-pengaruh tatapan kolonial atau propaganda bermuslihat.
Di film, Usmar Ismail bertaruh atas pemaknaan Indonesia mengingatkan latar heroisme. Pada masa setelah Perang Dunia II dan masa 1950-an, Usmar Ismail dengan garapan sekian film berada dalam situasi pembentukan sejarah "berpijak" Indonesia setelah episode kolonial menjadikan sejarah "mengabur" dan "rancu". Pada babak sejarah, Usmar Ismail tegak melalui film-film beriringan dengan kemauan kaum terpelajar, pengarang, dan sejarawan menulis Indonesia.
Kini, kita agak mengerti dengan pengangkatan Usmar Ismail sebagai pahlwan nasional berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa 1950-an. Usmar Ismail dalam pengakuan perfilman, tapi kita membaca ada jalinan-jalinan kesejarahan dimengerti "bareng" saat masa 1950-an.
Melihat (lagi) film-film garapan Usmar Ismail berarti mengarahkan pandangan dan ingatan sejarah. Dulu, gagasan penulisan sejarah Indonesia diurusi serius dalam seminar sejarah di Jogjakarta, 14-15 Desember 1957. Muhammad Yamin berpendapat: "Falsafah sedjarah Indonesia sesudah Proklamasi adalah sangat perlu, supaja penulisan sedjarah Indonesia mempunjai sendi jang berdasarkan aliran fikiran untuk menjusun sedjarah Indonesia kembali, setelah kemerdekaan nasional tertjapai. Kebebasan berfikir dan menulis dilahirkan oleh kemerdekaan nasional."
Usmar Ismail mengerti ada kesadaran sejarah, tapi ia memilih di penggarapan film. Sejarah yang terbahasakan dalam film berbeda bentuk dari penulisan sejarah oleh para sejarawan. Kini, film-film itu memang terbukti dalam rangsang pembentukan sejarah (nasional) Indonesia, memantaskan Usmar Ismail sebagai pahlawan. Sejarah itu bisa ditonton dalam film berjudul Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan lain-lain.
Kita makin mengerti Usmar Ismail. Pada 20 Maret 2021, kita memperingati seabad Usmar Ismail. Ingatan atas sejarah peringatan Hari Film mengacu tanggal pengambilan gambar untuk film berjudul Darah dan Doa, 30 Maret 1950. Di situ, Usmar Ismail menjadi tokoh dan pokok. Pada 10 November 2012, kita dalam penghormatan dan pengakuan Usmar Ismail sebagai pahlawan. Warisan-warisan dalam perfilman makin terasa bagi kita mengenali Usmar Ismail dan film Indonesia melalui hajatan Festival Film Indonesia diumumkan 10 November 2021. Usmar Ismail dalam jalinan erat film dan sejarah.
Peran dalam perfilman Indonesia tak cuma menulis skenario, menjadi sutradara, dan menjadi produser. Usmar Ismail pun rajin menulis artikel-artikel bertema film. Ia mengajukan beragam gagasan membesarkan film di Indonesia meski sadar ada pihak-pihak menolak dan meremehkan. Perfilman di Indonesia masa awal berada dalam bimbang untuk memajukan Indonesia tapi mendapat tuduhan-tuduhan berdalih moral, politik, iman, identitas, dan lain-lain.
Artikel-artikel buatan Usmar Ismail menginginkan orang-orang menerima dan menilai film di arus sejarah dan perkembangan Indonesia. Usmar Ismail (1953) berpendapat:
Filem mempunjai sifat-sifat jang mudah dapat dipahamkan. Mudah diterima oleh mata dan kuping. Lekas meresap kedalam perasaan karena deretan gambar-gambar jang dengan ketjepatan 24 gambar satu sekon itu diputar didepan mata penonton tidak memerlukan ketjerdasan pikiran jang luar biasa. Segala-galanja disuguhkan hanja dengan 'ditelan', 'enak', atau 'tidak enak'.
Dalam hal ini si pembikin filem, terutama si penulis dan pengatur tjeritera, adalah diktator jang maha kuasa. Dia dapat membawa penonton bermimpi ke indrakila atau dapat menjeretnja ke neraka djahanam. Tetapi dia dapat djuga berputus asa dan patah hati. Dapat membuka pandangan baru terhadap kehidupan dan penghidupan kemanusiaan. Dan dutaannja jang paling mulia ialah dia dapat membawa pengertian jang lebih baik antara sesama makhluk jang ada didunia fana ini.
Usmar Ismail menjelaskan ,film itu perwujudan yang turut dalam membentuk pemaknaan Indonesia berlatar sejarah. Ia memberi pemahaman film melalui tulisan-tulisan untuk mengajak publik di keaksaraan-perfilman selain omong-omong. Kerja dan persembahan terberikan sejak masa pendudukan Jepang melalui sastra, sandiwara, dan film memungkinkan kita makin mengerti Usmar Ismail dalam pemuliaan Indonesia. Ia pun berharapan segala persembahan membawa kita ke "indrakila" dengan kegirangan dan kemuliaan.
Bandung Mawardi penulis buku Bersekutu: Film, Majalah, Buku (2021)
(mmu/mmu)