"Ayo, sekalian ke Lombok, Om! Tinggal dikit lagi tuh!" kata sahabat saya di Mataram, begitu dia tahu kami menyeberang dari Pelabuhan Padang Bai ke Nusa Penida. Dia juga tahu saya menyetir mobil sendiri dari Jogja, sehingga mobilitas lebih mudah. Maksud dia, selepas dari Nusa Penida, kami bisa kembali ke Padang Bai, lalu langsung naik feri meluncur ke Lombok.
"Duh, belum sekarang, Pakde. Tahun depan kami mau road trip lagi, sampai NTT. Sekalian nanti mampir Mataram deh," jawab saya.
"Heh, ngawur!" sambar istri saya. "Tahun depan aku sudah ngajar offline. Anakmu sekolahnya juga sudah offline!"
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiba-tiba, bayangan indah menginjak pedal gas menyusuri jalanan berdebu dari Sumbawa sampai Lembata itu punah seketika. Offline! Luring! Kata itu mendadak jadi menyebalkan. Seolah segala kemewahan yang kami nikmati akan segera dicabut hingga ke akar-akarnya.
Selama hampir sebulan terakhir, kami sekeluarga muter-muter di sekujur Bali, berpindah-pindah titik sesuka hati. Banyak orang menuduh kami liburan sambil menghamburkan uang, padahal bukan itu yang terjadi. Kami juga bekerja dengan sangat sibuk. Ada banyak hari ketika kami sepenuhnya mendekam saja di penginapan. Anak saya harus sekolah daring, istri saya mengajar daring untuk para mahasiswanya, saya sendiri pun belasan kali mengisi acara webinar dan kelas-kelas online.
Jenis pekerjaan kami memang sangat dimudahkan oleh pandemi yang disusul dengan ledakan budaya daring ini. Hingga pada satu titik, diam-diam kami membenci keterikatan kepada ruang. Ruang fisik bukan lagi sesuatu yang penting untuk memapankan hati. Andai tidak ingat wajah emak di kampung, ingin rasanya saya menjalani sisa hidup sebagai nomad yang tak merasa perlu punya domisili fisik bernama tanah dan rumah hahaha.
Istri saya punya cerita lucu terkait lepasnya keterikatan kepada ruang itu. Suatu siang, dia sedang menjalani ritual di altar Zoom-nya. Dalam sebuah dialog, seorang mahasiswanya memperkenalkan diri. "Saya Anu, Mbak. Rumah saya di Surabaya, tapi sekarang sedang ngekos di Bali."
"Lho! Kok ngekos di Bali? Orang Surabaya, kuliah di UGM Jogja, tapi ngekos di Bali? Itu gimana maksudnya?" tanya istri saya.
"Ya kepingin aja sih, Mbak, hehehe," sahut si mahasiswa.
Saya sebenarnya ingin protes kenapa istri saya masih saja dipanggil "Mbak" oleh seorang mahasiswa yang sudah sangat pantas memanggilnya "Tante". Tapi itu kita bahas saja kapan-kapan. Yang lebih mendesak untuk dibicarakan adalah betapa absurdnya kelakuan si mahasiswa itu. Sekali lagi: orang Surabaya, kuliah di sebuah kampus di Jogja, tapi indekos di Bali!
Lihat, betapa ruang-ruang fisik tak lagi sepenting dulu. Si mahasiswa meninggalkan rumahnya yang di Surabaya itu untuk ngekos di Bali, agar lebih konsentrasi dalam menjalani kuliah "di" Jogja (kata "di" tentu harus saya beri tanda petik, bukan?).
Saya jadi membayangkan, kenangan masa kuliah seperti apa yang akan terbentuk dalam samudra nostalgia si mahasiswa itu kelak, andai situasi ini berjalan hingga dia lulus?
Dia akan jadi alumnus UGM yang tak punya kenangan akan Lembah Hitam di Kampus Biru, tak punya kenangan makan nasi rames di kantin Bonbin Fakultas Ilmu Budaya (yang memang sudah hilang itu), tak akan pula bisa mengenang tengah malam kelaparan lalu nongkrong sambil ngemil nasi sambal teri di angkringan. Dia akan jauh sekali dari kenangan sebagai mahasiswa UGM sebagaimana generasi kami merasakannya.
Kenapa saya menekankan tentang kenangan? Jangan salah, ini bukan semata perkara sentimental. Ini ada kaitannya dengan harga properti.
Para penghuni Jogja baik yang asli maupun pendatang pasti tahu, betapa mahalnya harga tanah di sekitar UGM. Bahkan dalam radius sekian kilometer di sekelilingnya pun konon banyak lokasi yang harga tanahnya lebih mahal daripada pinggiran Jakarta sekalipun. Bahkan, mahalnya tanah di area itu menyebar juga sampai spektrum yang lebih luas lagi, sampai ke sudut Jogja yang lebih pelosok lagi.
Kenapa bisa begitu? Jawabannya: karena kenangan.
Ya, kenangan ternyata menciptakan pergerakan harga tanah. Ini saya dengar dari seorang petapa yang nyambi jadi pengamat tentara. Saya menjumpainya pagi itu di Kuta, di sebuah rumah besar dengan pepohon rimbun yang kadang jadi sarang ular sanca. Dia bilang, "Mau aku carikan tanah di Bali, Mas? Murah lho. Ada yang lebih murah daripada di Bantul, malahan."
Tentu saya kaget. Tanah di sebuah pulau yang setiap ceruknya bisa jadi vila itu lebih murah ketimbang di ketiak Jogja? Sulit dipercaya. Tapi ternyata memang demikian adanya.
Gara-garanya, kata sang petapa itu, banyak orang yang sukses di Jakarta itu alumni Jogja, khususnya UGM. Mereka jadi kaya raya di Ibu Kota, kebanyakan mereka muslim, dan di masa pensiun mereka kepingin tetirah menikmati senja di kota yang tak banyak anjingnya tapi juga membawa setrum-setrum kenangan masa muda. Kota manakah itu? Tentu saja bukan Bali, tapi Jogja!
Akibatnya, permintaan tanah di Jogja dari para borjuis Jakarta itu meledak. Agen dan mafia properti bertepuk tangan. Harga stabil merayap dalam grafik menanjak, terus menanjak, sampai-sampai pernah ada hitungan logis bahwa anak-anak muda Jogja selain anak Sultan Hamengkubuwono mustahil bisa punya rumah di kota kelahiran mereka.
Nah, sampai di sini mulai jelas, betapa kenangan adalah amunisi pemasaran yang bagus untuk bisnis properti. Maka, apa yang akan terjadi nanti ketika potensi munculnya kenangan itu terus berkurang, seiring berlanjutnya kuliah daring yang menyebabkan satu keajaiban dunia semacam "anak Surabaya yang jadi mahasiswa UGM tapi ngekos di Bali"? Para orang sukses baru di Jakarta tak akan punya kenangan tentang Jogja, tak punya nostalgia apa pun tentang Jogja, sebab romantisme masa kuliah mereka tersebar di banyak kota dan desa tempat mereka bisa ngekos semau-maunya.
Sama dengan Anda, saya pun ingin wabah ini segera berakhir. Tapi jujur saja saya berdoa agar tradisi daring terus berlanjut, membuat kita lepas dari romantisme atas ruang-ruang fisik. Agar harga tanah di Jogja kembali wajar, agar anak-anak muda seumuran keponakan saya bisa punya rumah di kota kelahiran mereka, dan jujur saja agar saya bisa terus jalan-jalan sebagai pengelana yang sebenarnya tak pernah berhenti bekerja.
Tapi ngomong-ngomong, anu, saya menuliskan ocehan ini di kamar saya yang berdebu di sudut Bantul. Malam tadi akhirnya kami "pulang". Kata "pulang" saya beri tanda petik, sebab saya mulai merasa bahwa saya kembali ke Bantul bukan karena kecintaan kepada rumah saya, bukan karena keterikatan sentimental kepada ruang fisik atau bidang tanah tempat tinggal saya, tetapi semata karena kangen emak saya dan khawatir dengan nasib kelinci-kelinci saya.
Sembari melepas rindu kepada emak saya, saya menata rencana untuk pulang ke jalanan lagi. Mungkin bulan depan. Mungkin tahun depan.
Iqbal Aji Daryono penulis
(mmu/mmu)