Quo Vadis Humanitas Polri?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Quo Vadis Humanitas Polri?

Senin, 08 Nov 2021 15:25 WIB
Fany Hakim
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuka Bhayangkara Mural Festival 2021. Dia mengapresiasi dan ikut mengecat salah satu mural berisi kritik untuk polisi.
Kapolri membuka Bhayangkara Mural Festival 2021 (Foto ilustrasi: Adhyasta/detikcom)
Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Listyo Sigit melakukan langkah pencopotan jabatan kepada beberapa pejabat kepolisian (31/10). Hal tersebut dilakukan dalam rangka merespons aspirasi masyarakat yang melihat Polri tidak sesuai dengan citra humanisnya. Ditambah dengan pernyataan tegas menggunakan analogi 'ikan busuk mulai dari kepala', Polri berusaha menunjukkan komitmennya untuk menegakkan hukum secara berkeadilan dan transparan. Sebelumnya, pada September juga Polri mengeluarkan Surat Telegram (STR) yang berisi beberapa poin arahan kepada jajaran untuk bersikap humanis dalam menerima aspirasi masyarakat.

Belakangan, kita banyak melihat kasus yang umumnya viral melalui media sosial mengenai tindakan anggota kepolisianβ€”yang kerap disebut sebagai 'oknum'β€” melanggar baik kode etik kepolisian maupun pelanggaran moral seraca umum. Masih hangat dalam ingatan kita, polisi yang mencap hoaks artikel yang dipublikasikan oleh Project Multatuli tentang ayah yang memperkosa tiga anak kandungnya. Belum lama, ada pula anggota polisi yang melakukan kekerasan fisik dengan cara membanting tubuh seorang mahasiswa yang sedang melakukan aksi. Selain itu, tercatat beberapa kasus mengenai anggota polisi yang melakukan kekerasan seksual baik terhadap narapidana maupun anggota keluarga dari narapidana, kemudian kekerasan fisik, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya.

Dengan banyaknya kasus yang tampak memunculkan sisi buruk Polri, saat ini respons masyarakat menunjukkan bahwa mereka sudah telanjur skeptis akan hal-hal yang berkaitan dengan institusi kepolisian. Kepercayaan masyarakan kepada institusi kepolisian kini sangatlah rendah. Berdasarkan data yang dihimpun oleh SMRC per 31 Juli – 2 Agustus 2021 melalui survei kepada 1000 responden, institusi kepolisian adalah lembaga penegak hukum yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kejaksaan, KPK, dan pengadilan. Hanya sebanyak 58% masyarakat yang sangat/cukup percaya pada Kepolisian, 38% kurang/tidak percaya.

Selain berdasarkan data tersebut, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada kepolisian juga tercermin melalui beredarnya tagar #PercumaLaporPolisi. Tagar yang viral dan menjadi trending topic di Twitter tersebut menandakan adanya peningkatan sikap kritis masyarakat akan pentingnya melakukan pembenahan di institusi kepolisian.

Fenomena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada kepolisian sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Secara umum, banyak negara yang juga menyuarakan kritik terhadap institusi kepolisiannya. Di Amerika, Kanada, dan beberapa negara Barat lainnya baru-baru ini muncul gerakan Abolish the Police dan Defund the Police. Pada dasarnya, gerakan-gerakan tersebut tentu dapat dikatakan sebagai gerakan yang sangat ekstrem dan tidak realistis mengingat tujuannya adalah untuk melemahkan hingga membubarkan institusi kepolisian. Amplifikasi gerakan yang cukup masif ke berbagai negara tidaklah disebabkan karena Amerika sebagai negara adidaya, melainkan di tiap negara memiliki persoalan tersendiri pada institusi kepolisiannya.

Gerakan-gerakan yang mengkritik kepolisian tentu tidak akan sama di tiap negara karena selalu ada faktor sosio-historis dan kultural yang mempengaruhinya. Namun, apabila fenomena tersebut hampir terjadi di tiap negara, maka perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana itu bisa terjadi?

Salah satu disiplin ilmu yang dapat menjawab permasalahan tersebut adalah kriminologi, atau ilmu mengenai kejahatan. Memang di Indonesia ilmu kriminologi tidak begitu populer karena tidak banyak universitas yang memiliki jurusan tersebut dan juga belum banyak ahli yang mendedikasikan dirinya sebagai kriminolog. Sehingga masyarakat awam pun masih banyak yang belum familiar dengan kriminologi.

Sama halnya dengan disiplin ilmu humaniora lainnya, kriminologi juga banyak memiliki cabang mazhab. Salah satu yang paling muda adalah kriminologi kritis. Dalam kriminologi kritis, cukup banyak pula kajian mengenai institusi penegakan hukum, yang salah satunya adalah kepolisian.

Mazhab kriminologi kritis di Barat cukup diterima oleh banyak ahli kriminologi meskipun dengan sikapnya yang cukup radikal dalam gerakan Police Abolition banyak pula menerima kritik. Beberapa hal menjadi alasan mengapa kriminologi kritis ini layak dilirik untuk menjadi kerangka teoretis dalam mengkaji isu-isu terkini yang berkaitan dengan penegakan hukum.

Pertama, kriminologi kritis lebih fokus terhadap kerugian yang dialami dari sebuah kejahatan ketimbang kejahatan sebagai sebuah pelanggaran hukum. Kedua, kriminologi kritis memperhatikan relasi kuasa, yaitu bagaimana sesuatu dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan dan bagaimana penegak hukum meresponsnya. Ketiga, kriminologi kritis sangat mengutamakan keadilan (justice) dengan mempertimbangkan ketidaksetaraan ekonomi-politik sebagai salah satu sebab kejahatan yang mana hal ini diabaikan oleh mazhab-mazhab terdahulu.

Dilihat dari karakteristiknya, kriminologi kritis ini tampak sangat relevan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Masyarakat yang terus mengkritisi Polri baik kepada institusinya maupun kepada anggotanya sebagai individu menunjukkan bahwa polisi belum benar-benar mampu untuk melakukan penegakan hukum secara memadai dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan humanisme.

Namun demikian, terkesan berlebihan pula apabila di Indonesia ikut-ikutan gerakan Abolish the Police dan Defund the Police karena konteks sosio-historis yang berbeda dengan di Barat. Kriminolog Barat pun bahkan ada yang mengkritisi gerakan tersebut. Justin Nix and Scott Wolfe melalui Washington Post berpendapat bahwa melakukan abolisi terhadap institusi kepolisian berpotensi menyebabkan masyarakat untuk mempersenjatai dirinya agar mereka merasa aman dan terhindar dari target kejahatan. Maka dari itu, mereka merekomendasikan bahwa yang lebih mungkin adalah untuk melakukan reformasi di institusi kepolisian.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Kriminolog Indonesia Adrianus Meliala juga berpendapat mengenai pentingnya reformasi di tubuh Polri. Dikutip dari Kompas, menurut dia yang paling sulit untuk dilakukan adalah reformasi pada aspek kultural dibanding dengan aspek struktural dan instrumental. Apabila Polri dapat melakukan perubahan kultural secara perlahan, bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat terhadap Polri dapat meningkat kembali. Dengan demikian, reformasi dapat diwujudkan sebagai bentuk manifestasi dari citra Polri yang humanis.

Fany N. R. Hakim alumnus Kriminologi Universitas Indonesia

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads