Catatan Agus Pambagio

Berkendara Aman di Jalan Tol

Agus Pambagio - detikNews
Senin, 08 Nov 2021 11:08 WIB
Agus Pambagio (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Mengendarai kendaraan di jalan tol atau jalan bebas hambatan (JBH), khususnya jarak jauh, kondisi pengemudi dan kendaraan harus prima. Ancaman terbesar saat mengemudi di JBH dalam kecepatan tinggi adalah mengantuk karena pemandangannya monoton, tergelincir karena genangan air hujan (hydro planning), atau ban gundul, pecah ban, dan tabrak belakang. Dari isi kendaraan ada dua hal yang kondisinya harus prima, yaitu ban dan rem. Tekanan angin ban harus sesuai petunjuk pabrikan dan menggunakan ban standar begitu pula tapak bannya juga harus masih di atas 50% dan usia ban kurang dari 5 tahun. Kalau rem, kanvas remnya harus bagus.

Tidak banyak pengemudi kendaraan yang taat pada rambu dan peringatan ketika berkendara jarak jauh di JBH, termasuk kecepatan minimum dan maksimum. Berkendara di jalan tol sangat berbeda dengan di jalan arteri. Revolusi berkendara di JBH dengan kecepatan tinggi diawali ketika Jalan Tol Jagorawi (total 56 Km) mulai dioperasikan pada 9 Maret 1978. Saat itu banyak sekali kecelakaan terjadi karena pengguna euforia "ngebut" tanpa punya pengetahuan yang baik, bagaimana mengemudi di JBH. Edukasi dan informasi tentang berkendara di JBH dari pengelola atau Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) pun kurang kala itu.

Empat puluh tahun kemudian panjang tol yang dibangun bertambah signifikan dengan selesainya jaringan jalan Tol Trans Jawa sepanjang 1.167Km dari Merak ke Surabaya pada 2018, Trans Sumatera, dan lainnya. Euforia "ngebut" kembali muncul di JBH, kecelakaan fatal terus bermunculan, khususnya di Tol Cipali. Meskipun kecepatan sudah dibatasi antara 60 km - 100 km, kendaraan kelas I (kendaraan pribadi) melaju dengan kecepatan di atas 100 km per jam bahkan hingga 160 km per jam atau lebih. Sementara truk yang umumnya Over Dimension Over Load (ODOL) berjalan sangat pelan, tidak lebih dari 50 km per jam.

Berkendara di JBH yang panjang, seperti Trans Jawa maupun Trans Sumatera diperlukan pemahaman yang baik tentang tata cara berkendara di JBH. Tidak hanya sekadar injak gas pol dan susul kiri-kanan bahkan melalui bahu jalan karena kecelakaan fatal mengintai di sepanjang jalan. Sabuk pengaman bagi pengemudi dan penumpang wajib dikenakan. Sekali lagi berkendara di jalan tol memerlukan konsentrasi tinggi pengemudi dan kendaraan laik jalan di JBH jarak jauh, karena kalau tidak bisa fatal akibatnya.

Bukan Jalan Tikus

Tingginya kecelakaan yang terjadi di JBH, 90% disebabkan karena sopir mengantuk, pecah ban sebagai akibat tidak terbiasa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, dan lama pada kondisi permukaan jalan yang tidak rata atau kadang berlubang. Sodomi atau tabrak belakang umumnya melibatkan truk ODOL dengan kendaraan pribadi dan biasanya fatal. Pecah ban, tergelincir karena efek hydro planing karena genangan air hujan sebagai akibat buruknya saluran air buangan di sisi kiri kanan lajur.

Kecelakaan tunggal dan tabrak belakang yang terjadi dalam tiga hari di JTB Trans Jawa dengan korban meninggal, patut diduga sopir mengantuk dan lelah setelah mengemudi ratusan kilometer dengan kecepatan tinggi dan kondisi JBH yang tidak rata dan nyaman.

Jalan tol adalah jalan bebas hambatan bukan jalan bebas macet, khususnya di sistem jalan tol urban atau aglomerasi. Jalan tol di Indonesia yang dibangun setelah Jagorawi, kualitas dan kenyamanannya rendah. Buruknya kualitas konstruksi sangat mengganggu kenyamanan berkendara di JBH, tentunya keselamatan berkendara dengan kualitas konstruksi jalan yang buruk dapat membahayakan keselamatan pengguna.

Proses tambal sulam yang tidak pernah berhenti di hampir semua ruas JBH membuktikan bahwa proses saat konstruksinya bermasalah. Kondisi ini merugikan operator atau BUJT dan penggunanya. Misalnya kualitas Tol Jakarta - Merak pernah sangat amburadul, sehingga BPJT-nya harus memperbaiki total. Begitu pula Kanci Pejagan; jalan itu sempat lama tidak diminati pengguna karena sangat buruk kualitasnya, tapi mahal. Meskipun sekarang sudah diperbaiki, namun masih tidak nyaman dilalui.

Menurut data kecelakaan di tol dari KNKT, kecelakaan terbanyak terjadi di antara pukul 00.00 06.00 dan jam 10.00 - 13.00. Kecelakaan didominasi karena fatigue atau lelah dan mengantuk. Penyebab lain yang juga cukup menonjol adalah pecah ban atau selip akibat hydro planning ketika hujan.

Menurut salah satu profesor ahli konstruksi jalan menjelaskan pada saya, jalan tol kita belum memenuhi kriteria sebagai jalan berkeselamatan --"tidak forgiving road" Artinya, jalan tol tidak mengampuni nyawa pengguna ketika pengguna berbuat salah, lengah dan tidak patuh di jalan. Jalan tol terlalu memburu minimalis geometrik, manajemen rekayasa lalu lintas dan perlengkapan jalan.

Salah satunya misalnya tidak memiliki median yang sesuai untuk jalan bebas hambatan. Yang dipikirkan faktor bisnis lebih dominan daripada pemenuhan keselamatan. Selain itu juga tidak ada upaya pembelajaran publik mengemudikan kendaraan di jalan tol, terutama manajemen kecepatan ketika terjadi gap kecepatan yang tinggi antara kendaraan angkutan barang (kecepatan rata-rata 50 km per jam) dan mobil pribadi (kecepatan rata-rata 100 km per jam atau lebih). Sehingga kecelakaan fatal sulit dihindari.

Jalan tol yang sudah beroperasi cukup panjang di seluruh Indonesia. Pengendalian keselamatan di lapangan melalui peringatan batas kecepatan tidak cukup ditulis dalam bahasa rambu, tetapi harus dituliskan juga dalam bentuk papan peringatan yang lebih banyak (dinamis dan statis). Selanjutnya perlu segera diterapkan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik bagi pelanggar lalu lintas, seperti berkendara di JBH dengan kecepatan di bawah batas minimum (60 km/jam), umumnya truk ODOL. Juga untuk kendaraan yang menyalip menggunakan bahu jalan dan melaju dengan kecepatan jauh di atas 100 km per jam serta pelanggaran lainnya.

Penilangan harus dilakukan agar ada kesan kepastian hukum yang serius. Aturan mengenai kecepatan berkendara diatur pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 23 ayat 4. Kemudian diperkuat Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kendaraan pasal 3 ayat 4, disebutkan bahwa batas kecepatan di jalan bebas hambatan 60 hingga 100 kilometer per jam, sesuai dengan rambu lalu lintas yang terpasang.

Pencegahan Kecelakaan

Berbagai upaya sudah dilakukan juga oleh operator tol (BUJT), seperti penghilangan penyangga jalan yang berupa tiang jembatan penyeberangan orang (JPO). Tiang JPO jika ditabrak kendaraan karena pecah ban atau pengemudi mengantuk, akan fatal akibatnya. Beberapa tol baru di Trans Jawa sudah tidak menggunakan tetapi tol lama, JBH Cipali masih menggunakan sehingga pengemudi harus hati-hati.

BUJT harus melengkapi seluruh jalur dengan pagar pengaman atau guard rail, rambu-rambu, rumble strip, Variable Message Sign (VMS), lampu flip flop, memasang kamera pengawas, melarang truk ODOL masuk JBH (dilakukan oleh ruas Pakanbaru-Dumai), memberikan edukasi publik tentang berkendara yang baik dan aman di JBH dan sebagainya. Ini diharapkan dapat menjadi salah satu cara pencegahan atau pengurangan kecelakaan di JBH.

Guna menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna JBH sesuai dengan pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM), Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) selaku pengelola jalan tol harus terus didorong untuk mewujudkan pelayanan Jalan Tol yang optimal, jangan hanya dilakukan menjelang akan ada kenaikan tarif tol saja. Akhir kata penegakan hukum harus ketat terhadap pelanggar lalulintas dan peraturan yang ada.

Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork